Biografi PERMULAAN Seorang Sahabat di Madrid Di pagi yang sangat terik di Madrid di tahun 1930, seorang imam muda yang baru saja mengunjungi seorang teman yang sakit pulang dengan berjalan kaki, karena dia tidak mempunyai uang untuk naik bis. Sebenarnya tidak ada alasan yang membuatnya mengambil jalan yang lain dari yang biasanya dia lalui. Tiba-tiba dia mendengar namanya dipanggil, “Josemaria!” Dia menengadah. “Isidoro! Luar biasa dapat bertemu denganmu!” “Saya baru saja mencari engkau,” seru Isidoro. “Ketika tidak kutemukan engkau di rumah, saya merencanakan untuk pergi makan siang, dan kemudian naik kereta. Saya akan ke utara; keluargaku sudah di sana untuk liburan musim panas. Anehnya, saya mempunyai firasat bahwa saya akan bertemu denganmu kalau saya ambil jalan ini.” Pertemuan itu ternyata adalah rencana Tuhan untuk mereka berdua. Isidoro Zorzano bekerja sebagai insinyur rel kereta api di Malaga, Spanyol selatan. “Saya merasa resah,” katanya. Saya yakin Tuhan menghendaki sesuatu dari diriku, saya harus ‘melakukan sesuatu’. Tetapi saya tidak tahu apa. Saya berpikir bahwa mungkin Tuhan memanggilku untuk menjadi biarawan, tetapi tidak jelas. Saya mempunyai pekerjaan sebagai insinyur, dan saya sangat menyukai pekerjaan itu. Saya tidak tahu apa yang harus saya lakukan. Saya perlu bimbingan darimu.” Pater Josemaria Escriva memandang sahabatnya dengan terpesona. “Apakah kamu ingat suratku?” tanyanya. “Sebenarnya itulah yang ingin kubicarakan denganmu, mengenai suatu karya yang baru kumulai.” Pater Josemaria telah pindah dari Saragosa ke Madrid tiga tahun yang lalu untuk mengambil gelar doktor dalam bidang hukum. 1 Di sanalah Allah telah memperlihatkan kepadanya apa yang telah dia doakan dan dia cari sejak dia berumur lima belas tahun. Sekarang dia tahu bahwa Allah ingin agar dia membantu orang-orang awam untuk menemukan Tuhan dalam kehidupan sehari-hari mereka, menjadi kudus dalam dan melalui pekerjaan atau studi harian mereka. Tetapi sampai sekarang, sukar baginya menemukan orang-orang yang dapat mengerti dengan penuh apa artinya semua ini, dan mengkomit diri mereka untuk bekerja bersamanya. Dia telah menulis kepada Isidoro, “Kalau kamu datang ke Madrid, janganlah lupa mencariku. Saya mempunyai sesuatu yang menarik untukmu.” Sekarang kata-kata Isidoro menyatakan bahwa dia sedang mencari sesuatu yang sangat serupa dengan cara melayani Tuhan yang sedang digalang oleh Pater Josemaria. Pater Josemaria menjadi ragu-ragu, karena menyadari bahwa jika Isidoro menerima panggilan itu, dia akan mengikat dirinya seumur hidup pada karya yang baru saja diperkenalkan padanya. Pater Josemaria memerlukan waktu untuk memikirkan dan mendoakan kalau-kalau hal ini adalah benar-benar keputusan yang tepat untuk Isidoro. Oleh sebab itu dia menganjurkan agar mereka berpisah terlebih dahulu untuk makan siang dan bertemu kembali sore itu. Lalu Pater Josemaria berdoa memohon penerangan Tuhan. Terlihat oleh Pater Josemaria bahwa di satu sisi, Isidoro tidak dapat pindah ke Madrid, sehingga dia harus mempelajari jalan baru menuju Tuhan ini dari jarak jauh; di sisi yang lain, kenyataan bahwa mereka bertemu di tengah jalan pada saat keduanya saling memerlukan, adalah suatu rencana ilahi yang nyata. Setelah berdoa dan merenungkannya dengan sepenuh hati, Pater Josemaria mengambil keputusan. Ketika mereka bertemu lagi sore itu, Pater Josemaria menguraikan garis besar dari karyanya itu pada Isidoro, yang tidak lain adalah panorama pengudusan pekerjaan dalam kehidupan harian—dalam kasusnya adalah pekerjaan dari seorang insinyur rel kereta api. Sambil mendengar, Isidoro menyadari bahwa tempat di mana dia bekerja dapat menjadi tempat di mana dia bertemu dengan Kristus, pekerjaannya adalah jalan yang membawanya 2 langsung menuju ke kekudusan. Keinginannya untuk menyerahkan diri pada Tuhan dan panggilan profesinya tidak lagi merupakan suatu konflik. Dia dapat menyerahkan diri secara tuntas pada Tuhan dengan jalan melakukan pekerjaannya dengan baik dan penuh tanggung jawab, dan menjadikannya sesuatu yang kudus. “Saya dapat melihat campur tangan Tuhan dalam kebetulan ini,” kata Isidoro dengan penuh entusiasme. “Engkau dapat mengandalkan diriku. Dari pihakku, saya sudah mengambil keputusan.” Sejak hari itu sampai akhir hayatnya, Isidoro menganggap dirinya terikat pada Allah Tuhan kita untuk melayaniNya dalam Karya Tuhan ini—dalam Bahasa Latin “Opus Dei”. Masa kecil Josemaria Escriva dilahirkan di Spanyol bagian utara pada tahun 1902. Dia adalah anak kedua dalam keluarga itu. Orang tuanya, Jose dan Dolores, walau tidak kaya, hidup berkecukupan. Mereka mempunyai empat anak perempuan disamping Josemaria: Carmen, tiga tahun lebih tua dari padanya, dan Asuncion, Dolores dan Rosario lebih muda dari dia. Ketika dia berumur dua tahun, dia sakit keras hingga berada di ambang kematian. Orang tuanya memohon pada Bunda Maria untuk menjadi perantaranya dan mempersembahkannya pada Bunda Maria agar dia dapat disembuhkan. Dengan seketika dia menjadi sehat kembali. Untuk memperlihatkan rasa terimakasihnya pada Bunda Maria, orang tuanya membawanya berziarah ke gua Bunda Maria dari Torreciudad, gua kuno di pegunungan Pyrenees yang tinggi. Kedua orang tuanya adalah Katolik yang saleh. Devosi mereka terhadap Sakramen Mahakudus sangat kuat dan mereka mempunyai kebiasaan berdoa Rosario bersama dalam keluarga. Sampai akhir hayatnya Josemaria masih ingat akan doa-doa yang diajarkan oleh ibunya sejak dia mulai belajar berjalan. Ketika dia berumur enam atau tujuh tahun, dia membuat Pengakuan dosa yang pertama, dan ketika dia berumur sepuluh tahun dia menerima Komuni Pertama. 3 Namun, tidak lama kemudian petaka melanda keluarga yang berbahagia itu. Itu adalah saat dimana angka kematian anak-anak sangat tinggi, dan Rosario, si bungsu dari keluarga itu meninggal ketika dia baru berumur sembilan bulan, di tahun 1910. Tahun 1912, Dolores meninggal dalam usia lima tahun, dan dua tahun kemudian Asuncion juga meninggal ketika berumur delapan tahun. Tidak lama sebelum itu Asuncion jatuh sakit, dan pada suatu hari sekembalinya Josemaria dari bermain, dia bertanya pada ibunya bagaimana keadaan adiknya itu. Nyonya Escriva menjawabnya dengan tabah, “Dia sangat baik—dia sudah di surga.” Ibunya mendapatkan kekuatan untuk menghiburnya dan membantunya melihat bahwa manusia adalah milik Tuhan, dan Tuhan mengambil mereka dan membawanya ke surga karena Dia ingin mereka berbahagia bersama-Nya. Setelah itu, mengenang ketiga adiknya itu, Josemaria, yang pada saat itu berumur sebelas tahun, mulai mengulangi katakata bahwa kini adalah gilirannya untuk meninggal karena sesudah Asuncion, menurut susunan usia, selanjutnya adalah dirinya. Ibunya dengan sederhana mengingatkan dia bahwa Bunda Maria telah menyelamatkan dia ketika dia masih balita dan dia telah dipersembahkan secara khusus kepada Bunda Maria, oleh sebab itu Bunda Maria pasti melindunginya. Menyadari kebenaran hal ini dan juga kata-katanya itu menambah penderitaan ibunya, Josemaria segera berhenti mengulangi kata-kata itu. Ketika Josemaria berumur dua belas tahun, usaha ayahnya runtuh. Keruntuhan ini bukan karena kesalahannya, tetapi dia bersikeras untuk membayar semua utang-utangnya, hal inilah yang menyebabkan dia menjadi bangkrut. Keluarga Escriva meninggalkan Barbastro, kota asal mereka dan pindah ke Logronyo, yang tidak begitu jauh, disana Tuan Escriva mendapatkan pekerjaan di sebuah toko kain. Sejak itu keuangan keluarga Escriva menjadi sangat ketat dan Josemaria belajar dari orang tuanya untuk tetap ceria dan tidak mengeluh pada waktu kekurangan sesuatu. Josemaria masuk ke sekolah negri di Logronyo. Dia adalah seorang anak yang cerdas, giat bekerja dan mempunyai bakat dalam 4 menjalin persahabatan. Disanalah dia bertemu dengan Isidoro Zorzano. Jejak kaki di atas salju Enam bulan sebelum lulus, pada usia enam belas tahun, terjadi satu hal yang mempengaruhinya dengan amat sangat. Pada suatu pagi yang bersalju, Josemaria ke luar rumah ketika hari masih subuh. Di atas salju yang putih bersih, dia melihat sesuatu yang membuatnya termangu. Sebaris jejak kaki telanjang di atas salju yang ditinggalkan oleh seorang biarawan Karmelit yang baru saja melewati jalan itu dengan tidak berkasut. Melihat pengurbanan yang dilakukan oleh orang suci ini, Josemaria merasakan Roh Kudus menyentuh hatinya dan membuat dia bertanya pada dirinya sendiri: pengurbanan apa yang dia bersedia lakukan demi cintanya pada Allah. Sampai pada saat itu, dia telah bercita-cita untuk menjadi seorang arsitek, karena dia suka menggambar dan matematika. Namun sekarang dia merasa perlu menyerahkan diri secara tuntas pada Tuhan, dan dia memutuskan untuk menjadi seorang imam, hal yang belum pernah terpikirkan olehnya. Oleh sebab itu dia mulai meningkatkan devosi-devosinya, dengan menghadiri Misa Kudus dan menerima Komuni setiap hari untuk mempersatukan dirinya dengan Yesus Kristus dan dia juga mulai sering menerima Sakramen Pengakuan Dosa untuk menyingkirkan segala sesuatu yang mungkin menjadi halangan bagi Roh Kudus untuk bersemayam dalam jiwanya. Dia membicarakan keinginannya untuk melayani Tuhan dengan biarawan Karmelit yang jejak kakinya dia lihat di atas salju. Biarawan itu menganjurkan agar dia bergabung dengan ordo Karmelit. Josemaria dengan cukup jelas merasa bahwa Tuhan tidak memanggilnya untuk menjadi seorang biarawan, melainkan Tuhan mempunyai rencana lain baginya, walau sekarang dia masih tidak tahu apa itu sebenarnya. Namun, sejak saat itu, dia yakin bahwa rencana Tuhan ini mencakup imamat baginya. 5 Ketika dia merasa sudah tiba saatnya, dia juga membicarakan hal ini dengan ayahnya. Untuk pertama kali dalam hidupnya, dia melihat ayahnya menitikkan air mata. Kata ayahnya: “Anakku, pikirkanlah lagi baik-baik. Seorang imam harus adalah seorang yang kudus. Karena sangatlah sukar tidak mempunyai rumah dan tidak mempunyai cinta di dunia ini. Pikirkanlah lagi, tetapi saya tidak akan menghalangi jalanmu.” Josemaria menyimpan kata-kata ayahnya dalam hatinya, dan dia menyadari ada hal yang tidak dikatakan oleh ayahnya—yaitu, keputusannya untuk menjadi imam akan menyebabkan orang tuanya dan kakaknya masuk ke dalam kesukaran yang meningkat, karena mereka mengharapkan dia mengambil alih dari ayahnya, pada saatnya, beban menunjang keluarganya. Oleh karena itu, dia memutuskan untuk mendoakan agar orang tuanya dikaruniakan seorang putra lagi. Dia selalu merasa bahwa kelahiran Santiago setahun kemudian adalah jawaban dari doa-doanya itu. Atas nasihat ayahnya, Josemaria membicarakan imamatnya dengan dua orang imam yang terkenal karena kesucian dan kebijaksanaan mereka. Namun, masa depan yang mereka lihat baginya tidaklah sesuai dengan dorongan hatinya untuk membaktikan diri kepada Tuhan secara tuntas. Kedua imam itu menjelaskan bahwa setelah melayani sebagai pastor paroki di suatu desa selama beberapa tahun, dia dapat naik dengan mantap melalui sistim administrasi Gereja, menjadi seorang kanon, anggota kuria keuskupan, dan seterusnya. Josemaria merasa yakin dia tidak dipanggil untuk menjadi biarawan, tetapi dia juga merasa bahwa suatu kesuksesan karir dalam hirarki gereja bukanlah apa yang direncanakan oleh Tuhan baginya. Panggilan untuk imamat Walaupun demikian, dia tetap yakin bahwa Tuhan memanggilnya menjadi imam, dan dia mempunyai keberanian untuk melaksanakannya walaupun dia tidak mempunyai gambaran yang 6 nyata apa yang akan terjadi pada dirinya. Dibulan September tahun yang sama, 1918, dia mulai menghadiri kelas-kelas di seminari Logronyo sebagai seorang murid harian (yang berarti tidak tinggal di seminari). Dua tahun sesudahnya dia pindah ke Universitas Pontifikal di Saragosa, dan tinggal di asrama seminari Santo Fransiskus dari Paula. Selama masa-masa pembinaan untuk imamat ini, dia terus menerus mendaraskan kalimat-kalimat dari Perjanjian Baru dan Lama yang biasanya dia gunakan sebagai doa-doa dan aspirasiaspirasi: “Tuhan, supaya aku dapat melihat!” (Mrk 10:51); “Tuhan, apakah yang harus kuperbuat?” seperti St. Paulus dalam perjalanannya ke Damsyik (Kis 22:10); “Berbicaralah, sebab hambaMu ini mendengar!” (1 Sam 3:9). Dia memohon agar dapat melihat secara keseluruhan rencana-rencana Tuhan baginya, supaya dia dapat melaksanakannya. Sejak itu dan sepanjang hayatnya, dia berpaling pada ceritacerita kehidupan Tuhan dalam Injil untuk memupuk doa-doanya dan mencari inspirasi bagi tindakan-tindakannya. Dia gemar mengkontemplasikan kejadian-kejadian dalam Injil dengan cara mengambil peran sebagai salah satu tokohnya dalam kejadiankejadian itu. Dengan demikian, dia dapat menggunakan banyak ungkapan-ungkapan dari Injil sebagai doa-doa singkat untuk membantunya selalu berada dihadirat Tuhan sepanjang hari. Dia cukup akrab dengan teman-temannya di seminari walaupun, karena perbedaan latar belakang, kadang-kadang timbul kesukaran dan konflik yang berguna dalam pembinaan dan penguatan wataknya. Teman-temannya mengenangnya sebagai seorang pelajar yang sangat baik dengan kepribadian yang hangat, siap dengan humor dan memiliki tata krama pribadi dan sosial yang sangat tinggi. Dia menghabiskan banyak waktu untuk berdoa di hadapan Sakramen Mahakudus mencari jawaban akan apa yang dikehendaki oleh Tuhan dari padanya sebagai seorang imam. Sambil menyelesaikan studinya untuk imamat, Josemaria, atas nasihat ayahnya, juga memulai studinya dibidang hukum di Universitas Saragosa. Pada waktu itu di Spanyol, di saat-saat dimana banyak panggilan imamat, tidaklah mustahil bagi para imam juga 7 menerima pembinaan dalam suatu profesi yang tidak secara langsung berhubungan dengan Gereja, asalkan kompatibel dengan pelayanan imamatnya. Josemaria tidak pernah takut menangani lebih dari satu hal dalam saat yang bersamaan. Dia meneruskan studi hukumnya sampai mendapat gelar sarjananya, tetapi dia selalu memastikan bahwa studi hukumnya tidak membuat dia melalaikan studi-studi teologinya, atau, dikemudian hari, karyanya sebagai seorang imam. Pentahbisan Keberaniannya dan kemurahan hatinya dalam melaksanakan kehendak Allah tidaklah berarti bahwa jalannya bebas dari kesulitankesulitan atau duka nestapa. Ayahnya meninggal dengan mendadak pada usia lima-puluh-tujuh tahun, di bulan Nopember 1924, tiga minggu sebelum Josemaria menerima pentahbisan sebagai seorang diakon. Awal tahun berikutnya ibunya mengajak Carmen dan Santiago tinggal di Saragosa, tidak jauh dari seminari, karena sekarang hidup mereka semua tergantung pada Josemaria. 28 Maret 1925, Josemaria ditahbiskan sebagai seorang imam. Cintanya akan Misa Kudus, yang selalu merupakan pusat dari kehidupan rohaninya, sekarang menemui dimensi baru, yaitu suaranyalah dan tangannyalah, yang telah diurapi, yang menghadirkan Yesus di altar. Tiga hari kemudian dia diutus ke sebuah desa yang bernama Perdiguera untuk menggantikan pastor paroki yang sakit. Di sana dia berkarya selama tujuh minggu: menyelenggarakan Misa, mendengarkan Pengakuan dosa, membawakan Komuni kepada orang sakit, dan mengajarkan katekismus untuk anak-anak. Jangka waktu yang pendek ini mempengaruhi seluruh hidupnya. Dia berhadapan muka secara langsung dengan kemelaratan para petani dan kehidupan seorang pastor desa yang susah dan kesepian. Dengan mata kepalanya sendiri dia melihat betapa orang-orang desa itu memerlukan bantuan. Hal ini menjadi awal dari keprihatinannya yang sepenuh hati bagi para imam projo dan yang diperlihatkannya 8 dalam kesetiaan persahabatannya dengan mereka yang mengenal dia secara pribadi, dan kesediaannya untuk melaksanakan apapun juga yang dapat dia lakukan untuk membantu sesamanya—para imam di seluruh dunia, dan dalam segala cara. Pengalamannya di Perdiguera adalah salah satu unsur yang bertahun-tahun kemudian, menyebabkan berdirinya sekolah-sekolah di pedesaan dan pusatpusat pembinaan pertanian di seluruh dunia, atas inspirasinya itu, demi membantu orang-orang di pedesaan dalam kehidupan berkarya mereka, disamping itu, juga memperhatikan kebutuhan kebudayaan dan rohani mereka. Melanjutkan studi Pada tanggal 18 Mei Pater Josemaria kembali ke Saragosa dan melanjutkan studi hukumnya. Sambil melaksanakan pelayanan imamatnya dan studinya, dia memohon terang Tuhan agar dapat melihat kehendak Allah baginya. Di sepanjang hidupnya sampai pada hari wafatnya, dia selalu memupuk hubungannya dengan Tuhan dengan jalan memusatkan hidupnya pada Misa hariannya, dan dengan berjuang dalam hal-hal kecil demi perbaikan dirinya. Setiap akhir hari, dia selalu memeriksa batinnya untuk melihat dimana dia telah melalaikan Tuhan atau kehilangan kesempatan untuk lebih mencintai-Nya. Dia selalu memulai pemeriksaan batinnya dengan mendaraskan doa kerendahan hati di hadirat Tuhan, dan menyelesaikannya dengan doa sesal yang tulus, dan membuat resolusi untuk pertempuran keesokan harinya. Dia tidak pernah menyerah dalam perjuangannya melawan kesalahan-kesalahan atau kelemahan-kelemahannya. Seperti yang diutarakannya pada suatu kali: “Inilah buah masak dari jiwa yang bermatiraga: toleransi dan pengertian akan kekurangankekurangan orang lain; tidak mentoleransi kekurangan-kekurangan sendiri” (Jalan, 198). Pada saat dia menyadari bahwa dia telah gagal dalam salah satu segi perjuangannya, dia tidak menjadi kecil hati dan 9 menyerah, melainkan dia selalu siap sedia untuk mencoba berjuang lagi dan lagi sesering yang diperlukan. Dia lulus ujian-ujian hukumnya di 1927. Dia menunjang ibu, kakak dan adiknya dengan mengajar hukum di akademi privat. Dia meminta izin dari Uskupnya untuk pindah ke Madrid untuk mengambil gelar doctor dalam hukum sipil di universitas di sana, dan dia diizinkan untuk pindah ke Madrid untuk jangka waktu dua tahun. Melayani orang sakit Di Madrid, selain melanjutkan studi hukumnya, dia bekerja sebagai kapelan dari Yayasan Orang Sakit, suatu badan sosial yang dikelola oleh para biarawati. Pekerjaan ini membawanya berdekatan dengan orang-orang termiskin di gubuk-gubuk di dalam kota. Dia mengajar katekismus pada anak-anak, mempersiapkan mereka untuk Pengakuan pertama dan Komuni pertama, dan mengunjungi orang sakit di rumah-rumah sakit dan di rumah-rumah mereka. Dalam satu hari, dia dapat berjalan kaki berjam-jam, pergi dari satu tempat ke tempat yang lain di Madrid, dan dia selalu siap jika dipanggil oleh para suster tidak peduli apa alasannya atau sebagaimana lelahnya dia. Dia sering pergi melayani pasien yang sekarat di rumah-rumah sakit untuk orang miskin yang selalu penuh sesak. Disana dia menjumpai para penderita TBC yang dirawat sampai ajalnya karena pada waktu itu belum ditemukan obat untuk penyembuhannya. Para penderita dikucilkan dari keluarga mereka karena takut menular. Hal ini menyebabkan para penyandang penyakit itu menjadi sangat menderita, kesepian, kesakitan dan ketakutan. Pater Josemaria memberikan kepada mereka bantuan dan hiburan dengan iman dan kehangatan hati yang amat besar, membantu mereka melihat tangan Allah yang penuh kasih dalam segala hal yang terjadi atas diri mereka. Ketika dia melayani orang sakit, dia meminta agar mereka mendoakan dan mempersembahkan penderitaan mereka untuk intensi khususnya. Intensi ini adalah agar “sesuatu” yang Tuhan inginkan dari padanya itu menjadi kenyataan. 10 Tidak selalu kunjungannya diterima dengan baik. Perasaan anti keagamaan menguat pada saat-saat itu, dan kadang-kadang, pada waktu dia melewati daerah gubuk-gubuk itu dengan mengenakan jubah imamnya, orang-orang di sana akan mencaci makinya dan melempar batu padanya; atau dia dipanggil ke satu rumah dan pada saat dia tiba, pintu rumah itu dibanting tertutup di depan mukanya. Namun dia tidak berkecil hati atau takut, melainkan mendoakan agar orang-orang ini menemukan kebenaran. 11 BERDIRINYA OPUS DEI 2 Oktober 1928, hari itu Pater Josemaria yang sedang melakukan retret, sedang berdoa sendirian di dalam kamarnya setelah selesai Misa Kudus. Dia sedang membaca catatan-catatan yang telah dibuatnya atas inspirasi-inspirasi dan terang yang telah dianugerahkan oleh Tuhan kepadanya di tahun-tahun sebelumnya. Seperti biasanya, dia berdoa agar dia dapat melihat kehendak Tuhan dengan lebih jelas. Dia merasa bahwa ada sesuatu yang sangat istimewa yang Tuhan inginkan darinya, tetapi dia masih belum dapat menangkap apa itu. Tiba-tiba, seperti yang digambarkan olehnya dikemudian hari, dia “melihat” dengan jelas apa yang diminta oleh Tuhan untuk dilakukannya. Perasaan mencari sesuatu dalam kegelapan berubah menjadi gambaran atau pesan yang jelas dan pasti dalam jiwanya. Apa yang telah didoakan olehnya dan oleh banyak orang tanpa mengetahui apa itu, akhirnya telah menjadi jelas. Dia telah menemukan panggilannya dengan sepenuhnya; dia tahu jalan apa yang harus ditempuhnya. Walau masih belum bernama, Opus Dei lahir pada saat itu. Kekudusan dalam pekerjaan sehari-hari Segala sesuatu dalam kehidupannya sampai pada saat itu, tiba-tiba dan secara drastis jatuh ke tempatnya. Dia mengerti bahwa semua umat Kristiani, karena Permandian, telah dipanggil oleh Tuhan untuk menjadi orang-orang suci yang sesungguhnya, yang dapat dikanonisasikan. Dan dia melihat sekumpulan besar orang awam Kristiani biasa yang akan mendedikasikan diri mereka untuk mencapai kesucian dan persatuan dengan Tuhan dalam karya harian mereka dengan melakukan segala sesuatu secara baik dan 12 mempersembahkannya dengan sepenuh hati kepada Tuhan. Karena kesucian berarti identifikasi yang sejati dengan Kristus, hal ini adalah suatu pandangan yang amat luas. Sebagai pengikut Kristus yang akrab, mereka harus membantu orang-orang di sekeliling mereka untuk mencari Kristus, menemukan Dia dalam pekerjaan mereka, dan juga jatuh cinta dengan Dia, merubah karya mereka menjadi doa. Karena ini semua akan dilakukan oleh kaum awam yang berkarya di berbagai bidang pekerjaan, dari tukang sepatu sampai astronot dan dari dosen sampai pembuat kapal, kerasulan ini tidak ada batasnya—akan menjadi, seperti yang dikemudian hari dikatakannya, lautan yang tidak bertepian. Pater Josemaria melihat bahwa tugasnya adalah mengajar orang-orang, bagaimana menemukan Tuhan dalam pekerjaan mereka. Gagasan yang sekarang memenuhi dirinya itu adalah sesuatu yang tidak terbayangkan di awal abad ke dua puluh. Hampir empat puluh tahun kemudian, Konsili Vatikan II akan merumuskan dengan terperinci di dalam Kostitusi Dogmatic mengenai Gereja (Lumen Gentium), “Kaum awam, dengan panggilannya, mencari kerajaan Allah dengan melakukan hal-hal duniawi dan menjalankannya menurut rencana Allah. Mereka hidup di dalam dunia ini, yaitu, dalam setiap dan seluruh profesi dan pekerjaan sekulir. Mereka hidup di dalam situasi kehidupan keluarga dan sosial yang biasa, yang daripadanya jaringan keberadaan mereka dirajut. Mereka dipanggil oleh Tuhan untuk berada disana agar supaya dengan mempraktekan fungsi mereka masing-masing dan dibimbing dengan semangat injil, mereka dapat bekerja demi pensucian dunia dari dalam dunia seperti ragi” (no. 31). “Semua pengikut Kristus apapun kedudukan atau status mereka, dipanggil untuk menghayati sepenuhnya kehidupan Kristiani dan kesempurnaan cinta kasih” (no. 40). 13 Misi orang awam Seperti yang dikatakan oleh Pater Josemaria dikemudian hari, karya adalah engsel dimana kesucian dari orang awam berputar. Seluruh pesannya dapat dirangkum dalam tiga ungkapan ini, “Mensucikan dirimu sendiri dalam karyamu, mensucikan karyamu, dan mensucikan orang lain melalui karyamu.” Dia berbicara mengenai “mencintai dunia dengan penuh gairah”, karena dunia diciptakan oleh Allah, telah ditebus olehNya, dan perlu dikembalikan kepadaNya. Ini termasuk hak dan kewajiban, karena orang-orang yang berusaha menemukan Tuhan di dalam dunia perlu bertanggung jawab dengan sepenuhnya dalam masyarakat sipil. Inti kosepnya adalah “sekularitas”, yang berarti para awam bertanggung jawab atas tindakan-tindakannya sendiri dan secara aktif berusaha mencari jalan atau cara untuk merasul, dalam kesatuan dan ketaatan kepada Gereja dan hirarkinya. Ini berarti bahwa, sama seperti para klerus yang seharusnya memandu anggota-anggota Gereja lainnya dalam hal litugi dan Sakramen-sakramen, dan para biarawan/wati melalui praktek kaul kesempurnaan kemurnian, kemiskinan dan kepatuhan, kaum awam harus memandu dalam mempersembahkan dunia kepada Tuhan dengan menemukan cara untuk mensucikan dunia bisnis, ekonomi, perusahaan, industry pelayanan, pendidikan, perkembangan dan riset, dan semua segi-segi lainnya dimana mereka hidup dan berkarya. Bagi Pater Josemaria, kesekuliran juga berarti mencintai kebebasan dan keuniversalan: dia tidak pernah mengesampingkan siapapun dari rasa hormat dan doa-doanya, karena, katanya: “setiap jiwa bernilai seluruh Darah Kristus”. Lakukan segalanya dengan sepenuh hati Pater Josemaria membantu orang-orang untuk melihat bahwa, untuk mensucikan pekerjaan yang mereka lakukan, mereka perlu berusaha untuk mempraktekan semua kebajikan—baik kebajikan-kebajikan adikodrati: iman dan harapan dan cinta kasih terhadap Allah dan orang-orang di sekitar mereka; maupun kebajikan-kebajikan yang dia 14 sebut “manusiawi” seperti: kerajinan, keteraturan, ketepatan, kesetiaan, profesionalisme, keceriaan dan kekukuhan. Dia telah menulis: “Apakah engkau benar-benar ingin menjadi suci? Laksanakanlah kewajiban-kewajiban kecil di setiap saat: lakukan apa yang harus kau lakukan, dan lakukan semuanya itu dengan sepenuh hati” (Jalan, 815). Dia sering menggaris bawahi nilai yang tak terhingga dari hal-hal yang kecil, dan menyelesaikan tugas-tugas sampai pernik-pernik terakhir. Pekerjaan yang dilakukan dengan kasih menjadi doa, hubungan sungguhan dengan Tuhan. Biasanya orang-orang bertemu di tempat kerja, oleh sebab itu disana adalah tempat yang penting bagi kerasulan Kristiani. Pater Josemaria selalu menekankan bahwa teladan yang baik harus didahulukan, karena orang-orang lebih cenderung untuk mendengarkan mereka yang sungguh-sungguh mempraktekan apa yang dikhotbahkannya, dan oarng-orang dapat menjadi menonjol karena mereka bekerja dengan keras dan baik. Pater Josemaria tahu bahwa menyebar ide baru ini bukanlah sesuatu yang hanya menuntut energi dan komitmen dari dirinya sendiri, tetapi juga dari banyak orang yang penuh dedikasi. Pada awal mulanya, dia tidak memikirkannya dalam bentuk suatu organisasi dengan nama; dalam pikirannya dan ketika dia membicarakannya dengan orang lain, dia hanya berkata “apa yang Tuhan inginkan daripadaku”, “tugas kerasulan itu”, atau “karya kerasulan”. Tetapi pada suatu hari di awal 1930, imam bapa pengakuannya bertanya: “Dan apa kabarnya dengan Karya Tuhan itu?” Pater Josemaria terkesima dengan kecocokan dari ungkapan itu sebagai nama dari proyek usahanya. “Karya Tuhan”, atau dalam Bahasa Latin “Opus Dei”: sungguh ini menyatakan dengan tepat apa yang dia sedang berusaha melakukannya. Sejak saat itu, dia mengadopsinya sebagai nama dari proyek usahanya, dan sering disingkat hanya dengan “Karya itu”. 15 Terbentuknya Opus Dei Dari luar, kehidupannya terus berlangsung seperti sebelumnya. Opus Dei berkembang dan terbentuk dengan perlahan-lahan dan tanpa suara di dalam jiwanya, sementara dia melanjutkan keprihatinannya terhadap yang miskin dan merawat yang sakit, disamping mempersiapkan tesis doktornya, dan juga mengajar Hukum Romawi dan Hukum Kanonik di suatu perguruan privat demi untuk membiayai keluarganya. Pater Josemaria mengunjungi banyak orang yang sakit keras dan pasien-pasien yang sekarat di rumah-rumah sakit bagi orang miskin di Madrid. Dia tidak hanya pergi sebagai seorang imam yang membawa Sakramen untuk mereka dan membantu mereka mempersembahkan semua penderitaan mereka kepada Allah, tetapi juga melakukan banyak hal yang praktis yang tidak dapat mereka lakukan bagi diri mereka sendiri—memandikan mereka, mengguntingkan kuku mereka, menyisirkan rambut mereka, dan bahkan membersihkan tempat kotoran mereka. Dia melakukannya dengan ceria dan penuh kasih. Dan hal ini dikatakannya di dalam buku yang sedang disusunnya pada waktu itu, “Segala sesuatu yang dilakukan demi Cinta menghasilkan keagungan dan keindahan” (Jalan, 429). Bahkan ketika tugas-tugas ini membuatnya mual, tidak pernah dia perlihatkan, melainkan dia selalu membuat pasien-pasien itu merasa dikasihi, dan tidak terlupakan atau terlalaikan. Dia membantu mereka melihat apa yang dia sendiri telah yakini: bahwa penyakit mereka adalah suatu karunia, jika mereka mempersatukan penderitaan mereka dengan penderitaan Kristus di atas Salib, ini dapat menjadi pembangkit rahmat untuk seluruh Gereja. Dia sendiri mengandalkan bantuan doa-doa mereka untuk rahmat dalam pembentukan Karya itu dan kerasulan-kerasulannya Pada hari Minggu sore dia mengundang para pemuda yang telah dikenalnya melalui kerasulannya, mengunjungi rumah-rumah sakit dengan dia dan bekerja dengan dia disana, dan dia mengajar mereka melakukannya dengan kasih yang sama dalam perawatan orang sakit. Kunjungan-kunjungan kepada pasien-pasien yang sangat 16 miskin di rumah-rumah sakit ini meninggalkan tanda yang mendalam di hati pemuda-pemuda itu, karena mereka melihat dengan mata kepala sendiri perbedaan antara kehidupan mereka sendiri dengan orang-orang yang dirawat disana; dan juga, bahwa cinta kasih Allah juga hadir di tengah-tengah segala macam penderitaan. Pater Josemaria dibantu oleh seorang imam muda yang bersemangat yang bernama Pater Jose Maria Somoano, untuk waktu yang singkat, hingga meninggalnya dengan tiba-tiba di bulan Juli 1932. Kemungkinan besar karena diracuni oleh seorang anti agama yang fanatik. Seumur hidupnya Pater Josemaria mengenang Pater Somoano dengan penuh rasa syukur. Di tahun yang sama, Luis Gordon, salah satu dari orang awam yang bergabung dengannya di Opus Dei juga meninggal, dan sepuluh bulan kemudian wanita pertama yang mengkomit dirinya pada Opus Dei, yang bernama Maria Ignacia Garcia, meninggal karena penyakit TBC. Dia bergabung dengan Opus Dei pada waktu dia telah sakit, dan mempersembahkan semua penderitaannya yang amat sangat demi masa depan kerasulan Opus Dei. Banyak lagi pasien lainnya di rumah-rumah sakit yang juga mempersembahkan penderitaan mereka untuk intensi yang sama, dan bagi Pater Josemaria, hal ini adalah kekayaan yang sesungguhnya. Allah sebagai Bapa Tahun 1931, ketika Pater Josemaria berada dalam masa-masa kesulitan yang lebih mendalam, dia menerima anugerah khusus dari Tuhan—suatu kesadaran yang sangat baru bagi umat Kristiani akan apa artinya mempunyai Allah sebagai Bapa. Suatu hari, ketika dia sedang berada di dalam sebuah trem di Madrid, tiba-tiba dia merasakan kenyataan dari keputraan ilahinya dengan sepenuhnya, dan untuk beberapa saat dia tenggelam dalam penemuan ini sehingga apa yang dapat dia lakukan hanyalah mengulangi terus menerus kata-kata “Abba, Pater!”, yaitu kata-kata dalam Bahasa Aram dan Latin dari “Bapa” yang didapatkan dalam Injil, pada waktu 17 Yesus berdoa kepada Allah Bapa dalam sakratul maut, dan yang St Paulus gunakan dalam suratnya kepada jemaat di Galatia (4:4-6) “Karena engkau adalah putra, Allah telah mengutus Semangat PutraNya ke dalam hati kita, berseru ‘Abba! Bapa!’” Sejak itu, perasaan menjadi seorang anak Allah menjadi landasan dari seluruh kehidupan rohani Pater Josemaria, dan ini yang diteruskan sebagai sesuatu yang mendasar kepada para anggota Opus Dei. Seperti setiap Kristiani, dia tahu bahwa Kristus adalah Putra Tunggal Allah, dan mereka yang dipersatukan dengan Kristus melalui permandian menjadi anak-anak angkat Allah, tetapi apa yang mereka lakukan dengan pengangkatan ini tergantung dari kebebasan mereka sendiri dalam menggunakan pemberian Tuhan. Sekarang Pater Josemaria mengerti bahwa penderitaan apapun dapat menjadi suatu jalan bukan saja hanya membagi dengan Salib Kristus, melainkan juga menjadi sedemikian bersatu dengan Kristus sehingga menjadi satu dengan Dia. Dia begitu mencintai Kristus sehingga membagi dalam sengsara Kristus adalah sumber kebahagiaan yang sungguh bagi dia, dan dia menggunakan suatu ungkapan yang adalah ciri khasnya untuk mengekspresikan paradox ini: “kebahagiaan kita mempunyai akar dalam bentuk Salib”. Bersatu dengan Kristus juga berarti mempunyai kepercayaan mutlak seperti anak kecil terhadap Allah sebagai seorang Bapa yang penuh perhatian, dalam hal-hal besar maupun hal-hal kecil. Dia menulis: “Setiap hari, oh! Allahku, aku semakin kurang yakin akan diriku dan semakin yakin akan Dikau!” (Jalan, 729). Sampai akhir tahun itu (dan sesungguhnya, sampai akhir hayatnya) dia menggunakan waktu-waktu berdoanya memperkembangkan dan memperdalam kesadarannya menjadi seorang anak Allah yang “sangat kecil”. Di suatu pagi di bulan Desember, setelah Misa, cinta Pater Josemaria bagi Yesus dan BundaNya meluap menjadi sebuah buku kecil yang berjudul “Rosario Kudus”, yang ditulis langsung olehnya pada saat itu juga. Buku itu adalah sebuah buku renungan atas setiap misteri Rosario yang dilihat dari pandangan seorang anak terkasih, yang sedang menyaksikan dan turut ambil bagian dalam kejadian-kejadian misteri itu. Pater 18 Josemaria sangat gembira pada saat buku itu diterbitkan karena dia merasa buku itu dapat membantu banyak orang untuk mengenal dengan lebih baik Yesus dan Bunda Maria, melalui Rosarionya. Belajar mengenai kerasulan Pater Josemaria memberikan bimbingan rohani kepada para pemuda yang jumlahnya meningkat. Sebagian merasa terpanggil untuk mendedikasikan hidup mereka kepada Tuhan dalam Opus Dei, dan mereka menanggapinya dengan ya. Pater Josemaria meluangkan banyak waktu bagi mereka dengan berjalan-jalan bersama mereka atau berkumpul di café kecil yang banyak dikunjungi oleh para mahasiswa. Dia memastikan bahwa mereka mengerti dengan tuntas apa artinya mencari kekudusan di dalam dunia, dan membimbing mereka ke dalam perjalanan kehidupan rohani, memperlihatkan kepada mereka bagaimana dapat terus menerus berhubungan dengan Tuhan sepanjang hari: pada saat mereka belajar, bekerja, bepergian, bersantai di rumah atau dengan teman-teman, atau berbicara dengan Tuhan dengan penuh kasih dalam percakapan pribadi. Dia mengajar mereka melakukan pemeriksaan batin setiap hari dalam hal-hal tertentu, seperti yang dilakukannya sendiri, dan membuat resolusi untuk memperjuangkannya pada keesokan harinya. Dia juga mengajak mereka kerumah ibunya, dimana mereka belajar dari keluarga Escriva suasana kekeluargaan yang menjadi ciri khas Opus Dei. Dan selanjutnya, dia mengajar mereka bagaimana membawa teman-teman mereka berhubungan dengan Tuhan. Bertahun-tahun kemudian, dalam suatu homilinya yang kemudian diterbitkan, dia berkata: “Kerasulan adalah cinta bagi Allah yang meluap dan mengkomunikasikannya kepada orang lain. Kehidupan rohani berarti pertumbuhan dalam persatuan dengan Kristus, dalam roti dan dalam sabda. Dan kerasulan adalah ungkapan yang tepat dan diperlukan dari kehidupan rohani itu. Pada saat seseorang mengecap Cinta Allah, dia merasakan beban jiwa-jiwa … Bagi seorang Kristiani, kerasulan adalah sesuatu yang naruliah. Kerasulan bukanlah sesuatu yang ditambahkan dari luar ke dalam kegiatan-kegiatan 19 harian dan profesinya. Saya sudah mengatakan hal ini terus menerus, sejak dari hari yang dipilih oleh Tuhan untuk berdirinya Opus Dei! Kita harus mensucikan pekerjaan harian kita, dan kita harus mensucikan orang lain melalui pekerjaan harian kita” (Christ is Passing By, 122). Peran Wanita Di tahun 1930 Pater Josemaria menjadi mengerti, karena inspirasi dari Allah, bahwa wanitapun termasuk dalam karya Opus Dei— hingga saat itu dia hanya berpikir untuk berkarya dengan kaun pria saja. Dia lalu mulai membicarakan semangat Opus Dei dengan beberapa wanita muda yang mengaku dosa kepadanya dan mendapatkan bimbingan rohani darinya. Sejak awal mula Pater Josemaria mengerti dengan jelas bahwa di Opus Dei bagian pria dan bagian wanita sama sekali terpisah dan berdiri sendiri-sendiri dalam kehidupan dan kerasulan mereka. Oleh sebab itu, dia tidak pernah mengikutsertakan para wanita dalam proyek-proyek dan kegiatankegiatan yang diselenggarakannya bagi kaum pria. Pada awalnya, kerasulannya dengan para wanita berjalan dengan sangat lambat. Walaupun wajar bahwa dia merasa tidak sabar ingin melihat Opus Dei berkembang, dia tidak mau memaksa, karena dia yakin jika dia melakukan segalanya yang dapat dilakukannya dan didukung dengan banyak doa dan matiraga, Tuhan akan melakukan KaryaNya seirama langkahNya. Banyak diantara wanita muda yang mengetahui Opus Dei pada awalnya, dikenalkan oleh saudara-saudara atau sepupusepupu mereka yang telah menjadi sahabat Pater Josemaria. Diantara mereka yang mengerti semangat Opus Dei adalah Lola Fisac, Encarnacion Ortega dan Nisa Gonzales. Merekalah yang kemudian membantu menyebarkan Karya Tuhan ini ke negaranegara baru, termasuk Inggris. Walaupun hanya beberapa tahun lebih tua dari orang-orang yang bergabung dengan Karya Tuhan ini, Pater Josemaria menjadi bagaikan bapa mereka yang sesungguhnya. Dia tidak hanya peduli 20 dengan kehidupan rohani mereka, menghayati imamatnya dengan penuh, namun dia juga mencintai mereka dengan mendalam dan berkeprihatinan dengan segala sesuatu yang terjadi atas diri mereka. Ketika Isidoro Zorzano bergabung dengan Opus Dei di tahun 1930, dia menyapa Pater Josemaria sebagai seorang teman sebayanya. Namun, dia segera melihat Pater Josemaria sebagai seorang bapa, sehingga dia berbicara dan menulis kepadanya dengan kepercayaan, kasih dan hormat dari seorang putra. Dia membiasakan diri memanggil Pater Josemaria dengan sebutan “Bapa”, bukan hanya karena Pater Josemaria adalah seorang imam, tetapi juga untuk mengungkapkan apa yang semua anggota Opus Dei rasakan: Pater Josemaria benar-benar adalah bapa mereka dalam kehidupan rohani, dan Opus Dei benar-benar adalah sebuah keluarga. Dalam waktu singkat, mereka semua memanggilnya “Bapa” dan menyebutnya “sang Bapa” ketika mereka membicarakan tentang dia. Center Opus Dei yang pertama Awal tahun 1930an adalah masa permusuhan agama yang kejam di Spanyol, dan banyak orang Katolik mengalihkan perhatiannya pada politik sebagai suatu jalan untuk menahan kekuatan ateisme dan anarki yang semakin berkembang. Pater Josemaria, disamping menghormati pilihan pribadi setiap orang, selalu membuat jelas bahwa dia tidak ada pendapat dalam hal politik, karena sebagai seorang imam perannya adalah membawa Kristus kepada setiap orang. Salah satu cara yang terbaik yang dapat dipikirkan olehnya untuk memenuhi tujuan ini adalah menyediakan tempat dimana anak-anak muda dapat belajar dan bekerja dengan serius, dan dalam waktu yang bersamaan belajar mengenai iman Katolik dan membuat iman itu dihayati dalam kehidupan sehari-hari. Desember 1933, dia mendirikan “Akademi DYA”, di sebuah flat yang disewanya, dimana para mahasiswa dapat menerima bimbingan dalam mata pelajaran tertentu, atau dapat belajar dalam suasana yang mendukung. Walaupun dia hanya mempunyai sedikit uang, dia bekerja dengan 21 keras dan dengan bantuan dari beberapa pemuda anggota Opus Dei pada waktu itu, dia memastikan bahwa suasananya sedapat mungkin mengundang dan seperti rumah keluarga, dan juga setiap orang yang datang ke “Akademi” menyadari bahwa belajar adalah sesuatu yang harus dilakukan dengan serius, dan yang mana, bila dilakukan dengan baik dan sungguh-sungguh, dapat dipersembahkan kepada Allah. Seperti yang dikatakannya: “Satu jam belajar, bagi seorang rasul modern, adalah satu jam berdoa” (Jalan, 335). Tuntutan atas waktunya sangat besar sehingga sepertinya tidak mungkin dia akan dapat menyelesaikan semua yang harus dikerjakannya pada hari itu juga, dan walaupun demikian dia tidak pernah kehilangan pandangan akan perlunya mendahulukan hubungannya dengan Tuhan. Jika dia melihat bahwa hari itu akan sukar baginya untuk berdoa pada waktu yang telah dia jadwalkan, dia selalu berusaha untuk tidak menunda melainkan mendahulukan waktu untuk berdoa. Di pagi hari pada saat bangun tidur, sering kali dia masih merasakan keletihan dari hari sebelumnya, dan kadang dia berjanji pada dirinya: “Saya akan beristirahat sebentar sebelum makan siang” sebagai dorongan bagi dirinya untuk maju terus. Tetapi pada waktu dia melihat pekerjaan yang menggunung sedang menantikannya, dia akan berkata: “Josemaria, saya telah mengelabui engkau lagi!” Karena dia tahu bahwa dia tidak akan mempunyai kesempatan untuk beristirahat. 22 PERKEMBANGAN KERASULAN ‘Jalan’ diterbitkan Di tengah-tengah kesibukan pekerjaannya, Pater Josemaria mengumpulkan serantaian poin-poin untuk doa dan renungan yang diambil dari pengalamannya sendiri. Tidak berapa lama kemudian, terkumpul cukup bahan untuk diterbitkan dalam buku, dan di tahun 1934 edisi pertama dari Jalan diterbitkan dengan judul “Spiritual Considerations”. Buku itu ditulis dengan sedemikian rupa sehingga siapa saja dapat menggunakannya sebagai panduan dalam doa dan menemukan kehadiran Allah dalam kehidupan harian mereka. Buku itu ditulis dalam paragraf-paragraf yang ringkas, yang ditujukan kepada pembaca atau Tuhan, disusun dalam bab-bab dengan tema yang beragam – Misa Kudus, doa, karya, matiraga, kerasulan, kehidupan rohani, Bunda Maria, hal-hal kecil, dan sebagainya. Buku itu memperkenalkan semangat Opus Dei dengan baik, dengan memperlihatkan bagaimana orang awam biasa dapat berhubungan dengan Tuhan dan melakukan kerasulan di berbagai keadaan dalam kehidupan mereka. Buku itu ditujukan terutama bagi anak muda dan mengandung usul dan petunjuk yang sangat praktis dalam membentuk watak (“Biasakan untuk mengatakan Tidak,” 5), dan untuk menangani segala macam situasi dalam kehidupan harian dengan pandangan Kristiani. “Banyak hal yang agung tergantung pada –janganlah lupa—apakah engkau dan aku hidup sesuai dengan kehendak Allah” (755), adalah salah satunya, dan yang satu ini lebih sederhana, “Suatu perbuatan kecil, yang dilakukan demi cinta kasih, sangat besar nilainya!” (814). Benang yang menyatukan buku itu adalah cinta bagi Allah, yang diungkapkan dalam pelaksanaan dan meluap untuk orang lain: “Tuhan, semoga aku memiliki keseimbangan dan ukuran dalam setiap hal – kecuali dalam Cinta” (427). 23 Sementara itu, flat pertama yang disewa oleh Pater Josemaria untuk Akademi DYA telah menjadi terlalu kecil untuk semua kegiatan yang diadakan disitu. Di musim gugur 1934, Pater Josemaria memindahkannya ke tempat yang lebih besar, dan menyediakan bukan saja fasilitas untuk mengajar dan belajar tetapi juga tempat tinggal untuk beberapa mahasiswa. Pater Josemaria sendiri yang melakukan pekerjaan rumah tangga, dibantu oleh beberapa anak muda yang telah memahami semangat Opus Dei dan telah mengkomit diri mereka pada Opus Dei. Sejak dari awal, Pater Josemaria mengikutsertakan mereka dalam pekerjaan ini dan dalam kerasulan. Namun, dia selalu memastikan bahwa mereka menyadari bahwa pekerjaan dan kerasulan harus adalah hasil dari hubungan yang hidup dengan Allah dalam doa. Demikianlah dia menjaga mereka dari bahaya jatuh ke dalam “aktifisme” – yaitu, melaksanakan banyak proyek yang bagus tetapi melalaikan usaha untuk memperdalam hubungan dengan Allah, memberantas kelemahan mereka, dan memupuk kebajikan-kebajikan. Salah satu dari mereka yang bergabung dengan Opus Dei diawal mula ini adalah seorang mahasiswa tehnik yang bernama Alvaro del Portillo. Dengan cepat dia mengerti dan menyerap semangat Opus Dei, dan dialah yang nantinya akan menjadi penolong dan pendukung Pater Josemaria sepanjang hidupnya. Pater Josemaria bertumpu padanya sebagai batu karang. Membantu dalam petualangan baru Selama ini, Isidoro Zorzano yang telah bekerja di Malaga, Spanyol Selatan, datang ke Madrid untuk bertemu dengan Pater Josemaria bilamana dia dapat. Dengan sepenuh hati dia mempelajari semangat Opus Dei dan mempraktekannya dalam kehidupan hariannya, dan dengan bantuan Pater Josemaria, dengan yakin dia membangun hubungan yang kukuh dengan Tuhan yang dipusatkan pada Kehadiran SejatiNya dalam Sakramen Mahakudus. Isidoro berusaha dengan sungguh-sungguh belajar mempersembahkan setiap segi dari 24 pekerjaannya untuk Allah, berdoa dan merenung setiap hari pada waktu tertentu, melakukan pemeriksaan batin setiap hari dan menentukan target-target perjuangan batinnya, dan memperlakukan murid-muridnya dan orang-orang yang bekerja baginya dengan keadilan, keramahan dan penuh perhatian. Disamping kunjungan-kunjungannya ke Madrid yang tidak sering, Isidoro juga menulis surat kepada Pater Josemaria secara teratur untuk mengikuti perkembangan Opus Dei dan juga untuk mendapatkan nasihat-nasihat bagi kehidupan rohaninya sendiri. Ketika dia mendengar usaha setiap orang yang membantu dalam mempersiapkan asrama mahasiswa yang baru dan ingin membuatnya berhasil, Isidoro dengan tanpa ragu-ragu dan dengan murah hati mengirim sebagian dari penghasilannya kepada Pater Josemaria untuk digunakan oleh beliau. Pater Josemaria menghargai bantuan ini, karena sejauh ini, orang-orang yang bergabung dengan Opus Dei kebanyakan adalah para mahasiswa yang masih kuliah, dan mereka belum dapat memberikan bantuan keuangan, walaupun mereka semua bersedia bekerja keras dan melakukan apapun yang diperlukan. Tetapi menyewa dua flat untuk tempat tinggal dan Akademi, dan melengkapinya dengan mebel dan perabot, sangat memerlukan uang. Ibu Pater Josemaria dan kakaknya melihat kesukaran yang dihadapi olehnya, dan dengan murah hati mereka memutuskan untuk menjual lahan warisan yang baru mereka terima, dan menggunakan uang hasil penjualan lahan tersebut untuk membeli apa yang diperlukan. Pater Josemaria memulai sesuatu dengan tidak cukup uang bukan karena dia ceroboh atau tanpa perhitungan. Dia melakukannya dengan penuh iman. Dia tahu bahwa Allah ingin jalan baru dari dedikasi penuh di tengah-tengah dunia ini dibuka untuk orang banyak dan dia merasa bahwa hal ini adalah sesuatu yang mendesak; dan diapun yakin bahwa jika dia melakukan segalanya yang dapat dia lakukan, Allah tidak akan mengecewakan dia. Dia melihat dirinya sebagai alat yang dapat digunakan oleh Allah demi kebaikan jiwa-jiwa jika dia setia dan percaya akan Allah sepenuhnya. 25 Seperti flat pertama yang disewanya, flat-flat yang ditempati oleh para mahasiswa juga menjadi terlalu kecil untuk kegiatankegiatan yang dilakukan disana. Bersama dengan para anggota Opus Dei lainnya, Pater Josemaria berhasil menemukan tempat yang lebih besar lagi dan berencana untuk pindah ke tempat baru pada akhir tahun ajaran, Juli 1936. Pada bulan Juni tahun itu, Isidoro yang akhirnya berhenti bekerja di Malaga, pindah ke Madrid, sehingga dia dapat membantu proyek-proyek Pater Josemaria. Karena telah ada beberapa anggota Opus Dei yang telah dibina dengan baik dalam semangat dan tujuan Opus Dei, Pater Josemaria merencanakan untuk mengirim beberapa anggota ke Valencia dan kota-kota lain di Spanyol, dan setelah itu ke Paris, untuk melanjutkan kerasulan di antara orang-orang muda dan para pekerja disana. Isidoro mengambil alih pengurusan asrama mahasiswa di Madrid, dan dia melakukannya dengan sepenuh hati. Isidoro menyesuaikan diri dengan cepat dan membantu perpindahan ke tempat baru yang lebih besar. Namun, semua rencana ini terputus dengan tiba-tiba karena pecahnya Perang Saudara Spanyol pada 18 Juli 1936. Perang di Spanyol Spanyol terbagi dua. Di satu pihak, partai Republik yang setia pada Pemerintah Popular Front yang sangat anti Katolik. Kabinetnya terdiri dari sejumlah anarkis komunis yang ingin melenyapkan pemerintahan konstitusional. Di lain pihak adalah partai Nasionalis yang setia pada Gereja Katolik dan berharap untuk mengembalikan posisi Gereja, yang telah ditekan dengan hukum-hukum di tahuntahun sebelumnya, pada kedudukannya yang semula. Situasi saat itu telah mencapai titik dimana kedua pihak tidak dapat lagi bernegosiasi, dan hasilnya adalah perang saudara. Mayoritas dari Tentara mendukung partai Nasionalis dan mereka bangkit melawan Pemerintah. Madrid berada di bagian Republik, dan sebagai seorang imam, jiwa Pater Josemaria terancam. Para militia (militia adalah kekuatan 26 militer yang dibentuk dari orang-orang biasa untuk membantu tentara dalam keadaan darurat) di jalan-jalan, dengan senjata tertuju pada orang-orang awam, memeriksa KTP mereka; siapa saja yang adalah seorang imam atau biarawan/wati biasanya ditembak atau digantung di tempat, demikian juga nasib orang-orang yang tak terhitung jumlahnya hanya karena mereka mempraktekan iman mereka. Pada hari ketika Tentara memberontak, Pater Josemaria harus meninggalkan asrama mahasiswa yang baru dengan mengenakan pakaian pekerja, dan dia tidak dapat kembali kesitu karena, cepat atau lambat para militia akan datang mencarinya. Tidak juga dia dapat tinggal bersama ibunya, karena takut membahayakan jiwa ibunya. Di Madrid, selama hampir tiga bulan lamanya dia berpindah dari satu tempat ke tempat yang lain, tidak pernah tinggal di manapun dengan cukup lama, dan terus menerus dalam ancaman bahaya. Ancaman bahaya yang terus menerus Pada suatu saat, ketika dia berada di sebuah flat dengan beberapa orang pengungsi lainnya, salah satu diantaranya, Juan Sainz, tidak tahu bahwa dia adalah seorang imam. Tiba-tiba datang para Militia dan mulai memeriksa seluruh bangunan itu secara sistimatis, mulai dari lantai dasar menuju ke atas, untuk mencari imam atau orangorang yang “mencurigakan”. Pater Josemaria dan mereka yang bersama dengannya naik ke atas dan masuk ke dalam atik (loteng teratas, biasanya ruangan tambahan yang tidak tinggi). Mereka mendengar pemeriksaan semakin mendekat dan tahu bahwa mereka mungkin dibunuh jika tertangkap. Pater Josemaria tidak mau orangorang yang bersama dengannya mati dengan tanpa menerima absolusi (pengampunan dosa), dan dia berbisik, “saya adalah seorang imam. Keadaan kita sangat gawat. Jika engkau mau, daraskan doa tobat dan saya akan memberikan absolusi.” Juan kemudian berkata, “Memberitahu saya bahwa dia adalah seorang imam beresiko sangat besar. Bisa saja saya menyerahkan dia demi menyelamatkan diri saya 27 sendiri.” Bagi Pater Josemaria, jiwa orang lain lebih penting daripada jiwanya sendiri. Untungnya pencarian itu tidak sampai ke atik dimana mereka bersembunyi. Pada kesempatan lain, Pater Josemaria memperlihatkan keberanian yang serupa demi untuk melindungi panggilannya sendiri. Salah seorang anggota Opus Dei, seorang yang genius tetapi agak linglung, menemuinya dengan nada kemenangan, mengabarkan bahwa dia telah menemukan tempat dimana Pater Josemaria dapat tinggal dengan aman. Dia memberikan kepada Pater Josemaria kunci flat itu. Kelihatannya seperti mukjizat – sebuah surga yang aman, tidak perlu lagi berpindah dari satu tempat persembunyian ke tempat persembunyian yang lain. Namun, setelah mengajukan beberapa pertanyaan, Pater Josemaria mengetahui bahwa flat itu diurus oleh seorang wanita muda yang berumur duapuluhan. Pater Josemaria menolak untuk membahayakan panggilannya sebagai seorang imam dengan tinggal serumah hanya dengan seorang wanita muda, dan membiarkan dirinya terbuka terhadap godaan. Dia membuang kunci itu ke dalam selokan di jalan. Selama ini, sikap Pater Josemaria selalu tenang dan ceria, dengan iman kepercayaan bahwa segalanya dan setiap orang berada di tangan Tuhan. Beberapa anggota Opus Dei telah meninggalkan Madrid untuk liburan musim panas bersama dengan keluarga mereka di bagian lain dari Spanyol sebelum pecah Perang Saudara. Dan walaupun mereka masih berada di daerah kaum Republik, setidaknya bagi mereka ancaman bahayanya tidak terlalu dekat sehingga Pater Josemaria tidak terlalu mengkhawatirkan keadaan mereka. Anak-anak rohaninya di Opus Dei yang masih berada di Madridlah yang menjadi keprihatinannya yang terus menerus. Ada yang bersembunyi; ada yang direkrut menjadi tentara kaum Republik; dan ada yang dipenjarakan. Isidoro melewatkan dua bulan tanpa meninggalkan rumah ibunya, karena dia diburu oleh kaum komunis dari Malaga yang mengetahui bahwa dia adalah seorang Katolik yang saleh dan dia telah pindah ke Madrid. Namun, setelah dua bulan, pemburuan itu dihentikan karena parasnya telah jauh berubah. Dia telah mengurus 28 dengan banyak, potongan rambutnyapun telah berubah, dan dia mengenakan kacamata hitam. Dia merasa sudah mungkin untuk bergerak di kota itu, terutama karena dia memiliki surat yang menyatakan bahwa dia dilahirkan di Argentina. Meskipun dia tidak memiliki kewarganegaraan Argentina, surat itu cukup untuk melindungi dia dari pemeriksaan patroli militia. Dia menjadi pembantu yang sangat berharga bagi Pater Josemaria, karena dia dapat menggunakan kebebasannya untuk bergerak, untuk mencari dan mengunjungi anggota Opus Dei lainnya dan menghubungkan mereka satu dengan lainnya. Surga yang aman di Madrid Pada suatu saat, Pater Josemaria bersembunyi di tempat yang luar biasa – rumah sakit jiwa. Dokter yang bertanggung jawab atas rumah sakit itu memberikan perlindungan bagi beberapa orang yang berada dalam bahaya terbunuh dengan menyembunyikan mereka diantara pasien-pasien sesungguhnya. Pater Josemaria bahkan dapat merayakan Misa beberapa kali disana, hal yang tidak dapat dilakukannya dalam pelarian. Tempat persembunyian itu tidak ideal, tetapi dia tinggal disana hingga Maret 1937 ketika dia dapat pindah ke tempat yang lebih aman, kedutaan Honduras di Madrid, yang juga memberikan perlindungan bagi mereka yang berada dalam bahaya terbunuh karena berada di pihak yang salah. Disana Pater Josemaria ditemani oleh empat orang anggota Opus Dei dan adik laki-lakinya, Santiago, yang telah berumur delapan belas tahun. Disana Pater Josemaria dapat merayakan Misa hampir setiap hari, terimakasih pada Isidoro yang berhasil, dengan sukar, menyediakan roti dan anggur Misa. Mereka berenam tinggal bersama dalam sebuah kamar yang sempit. Kondisi hidup mereka sangat tidak leluasa. Makanan yang dapat disediakan oleh kedutaan bagi para pengungsi yang mereka tampung sangat sederhana. Mereka tidak dapat meninggalkan gedung kedutaan, dan saat-saat mereka disana bisa menjadi suatu mimpi buruk. Namun, sebaliknya, Pater Josemaria 29 memperlihatkan pada mereka bagaimana mempergunakan keadaan yang terjepit itu untuk membangun hubungan dengan Allah dan memberikan rasa hormat, perhatian dan kasih mereka bagi orang lain. Pater Josemaria sangat memperhatikan agar mereka menggunakan waktu dengan baik, setiap hari mereka membagi waktu untuk berdoa, belajar bahasa asing, menulis surat, dan memelihara kamar mereka agar tetap bersih dan rapih. Dia membantu mereka untuk menyadari bahwa meskipun mereka hampir sama dengan tawanan, saat-saat itu dapat dijadikan saat-saat pertumbuhan batin dan bukan saat-saat bermalasan yang dapat menjadikan mereka lamban dan putus asa. Alhasil, saat-saat mereka tinggal di Kedutaan Honduras menjadi saat-saat yang selalu mereka kenang sebagai episode yang sangat istimewa dalam kehidupan mereka. Maju terus Pada akhir bulan kelima atau keenam, Pater Josemaria memutuskan untuk meninggalkan Kedutaan Honduras dan mencari jalan untuk menyeberang ke bagian Spanyol dibawah partai Nasionalis, agar dengan terbebaskannya dari penganiayaan agama, dia dapat meneruskan kerasulan yang telah diberikan oleh Allah kepadanya. Desakan tugas mendorongnya bahkan dalam keadaan perang saudara yang mengerikan. Namun, hal itu adalah keputusan yang sangat sukar baginya, karena ini berarti meninggalkan ibunya, kakaknya dan beberapa anggota Opus Dei di Madrid. Dia mempercayai Tuhan dengan sepenuhnya, yakin jika mereka semua memutuskan untuk melaksanakan kehendak Allah, apapun yang terjadi atas diri mereka pada akhirnya adalah hal yang terbaik. Ketika dia meninggalkan kedutaan Honduras, dia dibekali dengan surat pernyataan bahwa dia adalah pegawai Kedutaan Honduras, dan dengan demikian memiliki kekebalan diplomatik. Lebih dari sebulan kemudian dia baru dapat meninggalkan Madrid, dan kehidupannya pada saat itu tidak jauh berbeda dengan pada 30 saat permulaan perang saudara, terus menerus berpindah dari satu tempat ke tempat yang lain. Dia menggunakan saat-saat ini untuk merayakan Misa di rumah orang-orang yang berbeda, membawa Sakramen Mahakudus pada orang-orang yang sedang bersembunyi, mendengarkan Pengakuan, dan bahkan memberikan retret rohani kepada lima orang. Untuk menghindari perhatian, mereka yang melakukan retret bertemu di satu tempat untuk ceramah atau renungan, kemudian menyebar dan bertemu lagi di tempat yang lain untuk ceramah atau renungan berikutnya. Melarikan diri dari Madrid Akhirnya, dengan sekelompok kecil anggota Opus Dei dan sahabat, Pater Josemaria pergi ke Barcelona, dan dari situ mereka melarikan diri dari daerah Republik Spanyol dengan berjalan kaki menyeberangi Pegunungan Pyrenes. Perjalanan itu sangat sukar dan berbahaya, hidup mereka terus menerus berada dalam ancaman, baik oleh kondisi gunung yang sangat sulit maupun oleh penjaga perbatasan yang siap menembak orang yang dicurigai sebagai buronan. Dengan sejumlah pengungsi lainnya, mereka dipantau oleh serangkaian penyelundup melalui jalan-jalan gunung yang berbahaya demi uang. Pada suatu saat, pemantau mereka mengancam untuk meninggalkan salah satu kawan Pater Josemaria yang bernama Tomas Alvira, karena dia kehabisan tenaga dan tidak dapat lagi mengikuti yang lain. Namun Pater Josemaria menolak hal ini terjadi. Dia membawa sang pemantau kesamping dan memberikan alasan-alasan sehingga pemantau itu berubah pikiran dan mereka semua melanjutkan perjalanan bersama dan membantu Tomas dengan memapahnya sebisa mungkin. Meskipun perjalanannya sangat sukar dan medannya sangat buruk, di suatu tempat—pada hari Minggu—Pater Josemaria mengambil kesempatan untuk merayakan Misa. Umat Katolik dalam kelompok itu berkumpul sedekat mungkin dengan dia, dan salah satu diantaranya menulis dalam buku hariannya, 31 “Saat-saat yang paling mengharukan dalam perjalanan itu adalah Misa Kudus: seorang imam dalam kelompok kami merayakan Misa di atas sebuah batu. Dia tidak merayakannya seperti imamimam dalam gereja. Kata-katanya yang jernih dan sepenuh hati menembus jiwa kami. Saya tidak pernah menghadiri Misa seperti hari ini. Saya tidak tahu apakah karena keadaannya atau karena yang merayakannya adalah seorang santo. Komuni sangat mengharukan. Kami hampir-hampir tidak dapat bergerak, pakaian kami compang camping, kotor dan kami tidak bercukur, rambut kami tidak tersisir, tubuh kami memerlukan istirahat, tangan kami berlumuran darah dari luka-luka goresan, mata kami berkaca-kaca; diatas segalanya, Tuhan berada bersama dengan kami dalam Hosti.” Orang-orang yang pernah menghadiri Misa yang dirayakan oleh Pater Josemaria, disetiap tahap dari kehidupannya, mengkonfirmasikan bahwa memang dia merayakan Misa dengan segenap jiwa dan hatinya. Setelah dua minggu yang meletihkan dan menegangkan, mereka tiba di Andorra, lalu menyeberang kembali ke bagian Nasionalis Spanyol melalui Perancis. Mereka pergi ke Burgos, dimana Pater Josemaria, meskipun sudah sangat kurus dan telah menjadi lemah karena apa yang dialaminya, dengan segera terjun ke dalam tugas memulai kembali karya kerasulannya. Selama enam belas bulan berikutnya dia bekerja dengan keras. Dia menulis surat untuk semua anggota Opus Dei yang diketahui keberadaannya, dan juga untuk para sahabatnya, dengan menggunakan bahasa sandi demi untuk menghindari sensor, dia menulis untuk Isidoro dan yang lainnya di bagian Republik. Dia juga menulis dan menggandakan surat edaran, untuk para anggota Opus Dei dan kawan-kawan sekalian, mengabarkan keterkinian keadaan mereka dan kegiatan-kegiatan mereka. Dia juga memberikan retret rohani. Dia bepergian dengan tidak mengenal lelah, mengunjungi para putra rohaninya anggota Opus Dei dimanapun mereka berada, untuk memberikan bimbingan rohani dan juga bantuan materi dan keprihatinan seorang ayah. Bilamana mereka mendapatkan cuti, mereka datang mengunjunginya di Burgos. Mereka selalu pulang 32 dengan panduan yang jelas bagaimana memelihara hubungan mereka dengan Allah dan merasul dimanapun mereka berada. Memulai lagi Perang Saudara Spanyol berakhir pada awal April 1939, tetapi Pater Josemaria telah kembali ke Madrid pada 28 Maret. Setibanya di Madrid, dia segera pergi ke gedung dimana dia telah membuka Akademi yang baru dengan penuh harapan hampir tiga tahun yang lalu, dan melihat gedung itu telah menjadi puing karena dibom dan tidak ada yang tersisa kecuali beberapa bagian tembok yang masih berdiri. Dia tidak menjadi kecil hati melainkan dengan beberapa anggota Opus Dei mulai bekerja lagi dari awal dengan semangat, dan enam bulan kemudian asrama dan center Opus Dei yang baru membuka pintunya di Madrid. Tidak lama kemudian satu lagi center dibuka di Valencia. Retret dan bimbingan rohani Pater Josemaria mulai dimintai bantuan oleh para Uskup untuk memimpin retret bagi para imam di kota-kota di keuskupan mereka. Dia juga memimpin retret bagi para biarawan dan orang-orang awam. Pater Josemaria melaksanakan permintaan ini dengan segenap hati karena menyadari betapa pentingnya, terutama bagi para imam, untuk menjadi kudus dan dekat pada Allah. Sepanjang hayatnya, memimpin retret bagi para imam, dan berkhotbah atau memberikan bimbingan rohani kepada mereka membuat dia merasa sangat rendah diri karena dia melihat kebajikan dan dedikasi mereka melebihi dirinya sendiri. (Dia sering mengumpamakan dirinya seperti menjual madu pada peternak lebah). Tujuh tahun berikutnya adalah saat-saat yang membawa baik kesusahan maupun pertumbuhan bagi Opus Dei di Spanyol. Pater Josemaria masih mendedikasikan banyak waktu bekerja bagi orang33 orang sakit dan melarat di rumah-rumah sakit di Madrid. Saat itu, dia juga memberikan bimbingan rohani secara teratur pada sejumlah pria dan wanita dari berbagai usia dan dari berbagai latar belakang. Dia menghabiskan banyak waktu bepergian dengan kereta kelas tiga yang tidak nyaman ke berbagai bagian Spanyol untuk memimpin retret dan pertemuan-pertemuan, bukan hanya untuk para imam tetapi juga bagi para mahasiswa dan kaum pekerja. Pater Josemaria menyemangati mereka untuk mendalami pengetahuan mereka akan iman Kristiani, menghargai Sakramen-sakramen, menemukan dan mengikuti Kristus melalui kerja keras dalam kehidupan harian mereka dan membantu membawa orang di sekeliling mereka mendekat pada Tuhan. Dolores dan Carmen Escriva Disamping semuanya itu, Pater Josemaria juga melibatkan diri dalam persiapan dan pengelolaan center-center di Madrid dan di kota-kota lainnya dimana inti dari sebagian besar kerasulan dilakukan oleh para putra Opus Dei-nya. Dalam hal ini dia sangat banyak dibantu oleh ibunya, Dolores, dan kakaknya Carmen. Mereka memasak dan melakukan perkerjaan rumah tangga dari satu center Opus Dei ke center yang lain, dan membuat center-center Opus Dei menjadi rumah-rumah keluarga sejati, tempat-tempat yang ceria dan mengundang. Mengelola rumah-rumah ini membutuhkan ketrampilan yang digabung dengan tenaga dan kecerdikan mereka karena pada saat itu para anggota Opus Dei berpenghasilan rendah dan waktu itu adalah saat-saat kekurangan di Spanyol. Setelah Perang Saudara, Spanyol juga merasakan dampak Perang Dunia Kedua yang sedang berlangsung di bagian Eropa lainnya, yang membuat barang-barang kebutuhan sukar untuk masuk. Tahun 1941 membawa pukulan yang tak terduga: di bulan April, ibunda Pater Josemaria meninggal tidak lama setelah jatuh sakit. Pada saat itu Pater Josemaria sedang memimpin retret untuk para imam di kota lain, dan beliau tidak mendapat penghiburan 34 untuk berada di sisi ibunya di saat terakhirnya atau memberinya Sakramen-sakramen. Pater Josemaria merasa sangat menderita karenanya, tetapi dia mempersembahkannya bagi kerasulan dengan para imam yang baginya sangat bernilai bagi seluruh Gereja. Setelah kepergian ibunya, Carmen meneruskan melakukan pekerjaan rumah tangga dibantu oleh para wanita yang telah bergabung dengan Opus Dei. Carmen mengajarkan semua ketrampilannya yang pada saat itu sudah sangat banyak pada mereka: kepraktisan dalam memasak, mencuci baju, dan tata rumah tangga dengan anggaran yang ramping. Isidoro Kehilangan ibunya sepertinya masih belum cukup, Isidoro Zorzano, yang telah bekerja di sisi Pater Josemaria sejak akhir Perang Saudara Spanyol, dan yang telah memberikan dukungannya, jatuh sakit di tahun yang sama. Isidoro menderita Hodgkin, dan perlahan-lahan penyakitnya memburuk, dan isidoro meninggal pada 15 Juli 1943. Selama sakitnya, Pater Josemaria dan para anggota Opus Dei menemaninya dengan penuh kasih. Isidoro tidak pernah mengeluh karena penderitaannya yang besar menjelang akhir hayatnya. Dia mempersembahkan penderitaannya itu dan hidupnya pada Tuhan bagi sang Bapa (panggilan akrab anggota Opus Dei kepada Pater Josemaria) dan kerasulan Opus Dei. Proses beatifikasi Isidoro dibuka pada Oktober 1948. 35 Pater Josemaria di samping tempat dur Isidoro pada 19 April, 1943 36 JALAN MENUJU EVANGELISASI Imam-imam Opus Dei Panggilan untuk Opus Dei kian bertambah dan mereka membantu Pater Josemaria dalam kerasulannya, dan mengajar semangat Opus Dei kepada anak-anak yang baru saja bergabung dengan Opus Dei. Namun mereka tidak dapat membantu Pater Josemaria mendengarkan Pengakuan dosa. Bukan saja Pengakuan dosa adalah bagian dasar dari kerasulan dengan umat Katolik, tetapi Pengakuan yang sering dan bimbingan rohani, juga adalah sesuatu yang penting bagi kehidupan rohani dari semua anggota Opus Dei. Oleh sebab itu jelaslah sudah bahwa Opus Dei memerlukan imam-imam yang ditahbiskan dari para anggotanya sendiri karena mereka akan dapat membimbing menurut semangat Opus Dei yang telah mereka hayati. Yang masih belum jelas adalah bagaimana hal ini dapat dilakukan, karena biasanya para imam ditahbiskan untuk melayani keuskupan mereka atau melayani tarekat mereka, dan Opus Dei bukanlah sebuah tarekat dan juga bukan keuskupan. Setelah mencari kian kemari, Pater Josemaria menerima jawaban dari masalah itu ketika dia sedang merayakan Misa pada 14 Februari 1943. Serikat Imam Salib Suci didirikan sebagai bagian yang tak terpisahkan dari Opus Dei, sehingga Alvaro del Portillo dan dua anggota Opus Dei lainnya yang telah menyelesaikan studi untuk imamat dapat ditahbiskan pada 25 Juni 1944. Mereka adalah imamimam perdana dari para imam Opus Dei. Bagi Pater Josemaria, hal ini adalah perkembangan lebih lanjut dari tujuannya dalam melayani Gereja – Opus Dei menyediakan bagi para awam jalan menuju kekudusan dalam kehidupan keseharian, dan juga mengkontribusi imam-imam bagi Gereja, untuk melayani semua jiwa. Dalam pada itu, sesuai dengan visi Pater Josemaria akan Opus Dei, para imam bukanlah kelompok atau kelas yang terpisah di dalam 37 kerasulan Opus Dei, melainkan kerasulan yang dilakukan oleh para imam dan para awam dijalankan dalam kesatuan yang organik. Seperti yang dikatakan oleh Paus Yohanes Paulus II bertahun-tahun kemudian, pada saat beliau berbicara kepada anggota Opus Dei pada 17 Maret 2001, “Kesaksian langsung dari para awamlah (…) yang akan memperlihatkan bahwa hanya dalam Kristus nilai-nilai manusiawi yang tertinggi mencapai kepenuhannya. (…) Namun, para imam melakukan fungsi dasar mereka yang tidak tergantikan: yaitu membantu jiwa-jiwa, satu per satu, melalui Sakramen-sakramen, khotbah dan bimbingan rohani, membuka jalan bagi anugerah rahmat. Oleh sebab itu, kesatuan semangat memungkinkan misi dari setiap badan gereja dihargai dengan sepenuhnya.” Opus Dei diserang Pada 1946, anggota Opus Dei telah membuka center di delapan kota di Spanyol dan juga di Portugal. Sementara Opus Dei berkembang sedemikian rupa, Pater Josemaria juga harus menghadapi oposisi yang meningkat terhadap karyanya. Bagi beberapa umat Katolik pada saat itu, klerus adalah inti dari Gereja, dan mereka berpikir bahwa satu-satunya hal yang dapat dilakukan oleh orang awam adalah berusaha untuk hidup dengan baik, bergabung dalam kerasulan yang diorganisir oleh para klerus, dan, jika mereka mengharapkan untuk dapat mencapai kesempurnaan, mereka dapat menjadi biarawan/wati atau setidak-tidaknya meniru peraturan kehidupan dalam biara sebisa mungkin. Mereka cenderung berpikir bahwa pekerjaan harian di dunia ini dan kehidupan sosial biasa adalah halangan bagi kekudusan. Mereka tidak menganggap bahwa orang awam, pria maupun wanita, dapat mencapai kekudusan sejati dalam kehidupan keseharian, pekerjaan dan rumah tangga mereka. Ketika Pater Josemaria justru mengkhotbahkan hal itu, mereka menyimpulkan bahwa hal ini adalah suatu bidaah yang baru. 38 Salah paham Selanjutnya, Opus Dei tidak dikaitkan dengan kelompok politik manapun, sehingga tidak dapat menerima dukungan yang mereka tawarkan. Pater Josemaria menjunjung tinggi kebebasan pribadi dari setiap anggota Opus Dei untuk memilih jalan politik mereka. Dia tidak pernah mengatakan apapun mengenai politik kecuali mengatakan bahwa itu bukan urusannya, karena dia adalah seorang imam dan keprihatinannya adalah terhadap orang-orang dan jiwajiwa mereka, dan bukan partai politik. Namun pesan keuniversalan dan kebebasannya itu tidak selalu dimengerti orang-orang di luar Opus Dei. Selain dicela sebagai seorang bidaah, dia juga dituduh menyesatkan anak muda dan bahkan membentuk partai politik di bawah selimut. Pater Josemaria dengan bantuan dan dukungan Uskup Madrid, bekerja terus dengan sabar untuk mengatasi kesalahpahaman ini. Memperkukuh dan mengembangkan Opus Dei Sesudah tahun-tahun perang yang panjang, yang berawal di Spanyol lalu di bagian Eropa lainnya berlalu, Pater Josemaria merasa bahwa telah tiba saatnya untuk menyebar pesan Opus Dei ke negara-negara lainnya. Agar supaya Opus Dei berakar dan berkembang dengan semestinya di luar negri, pengakuan resmi dari Gereja di tingkatan universal, dan bukan hanya di Spanyol, diperlukan. Ini berarti mendapatkan pengesahan dari Roma, tempat kedudukan Gereja universal. Oleh sebab itu pada bulan Juni 1946 Pater Josemaria pindah ke Roma dan menetap di sebuah flat kecil, bersama dengan sejumlah kecil anggota Opus Dei lainnya, untuk membangun Opus Dei dengan semestinya dalam kerangka Gereja. Flat yang mereka sewa berada sangat dekat dengan Vatikan, dan dari salah satu jendela flat itu mereka dapat melihat jendelajendela apartemen Sri Paus. Kasih sayang Pater Josemaria terhadap Bapa Suci sangat besar karena beliau adalah wakil Kristus, kepala 39 Gereja yang terlihat. Pater Josemaria sangat terharu dapat sedemikian berdekatan dengan Bapa Suci, sehingga walaupun dia sangat lelah karena perjalanan yang panjang, setibanya di flat itu dia tidak tidur melainkan berdoa semalam suntuk bagi Sri Paus. Loyalitas Pater Josemaria terhadap Bapa Suci tidak hanya terbatas pada berdoa untuk beliau saja. Sepanjang tahap-tahap perkembangan Opus Dei, Pater Josemaria menerima nasihat dari berbagai hirarki Gereja dan memohon persetujuan bagi setiap langkah baru. Terlebih lagi ketika menyusun anggaran dasar untuk pemerintahan dalam Opus Dei. Ini adalah hasil dari prinsip Pater Josemaria bahwa keberadaan Opus Dei semata-mata untuk melayani Gereja, sesuatu yang sering dia garis bawahi. Gereja secara resmi menyetujui ciri khas dan tahap-tahap perkembangan Opus Dei, dan Pater Josemaria bekerja dengan sabar untuk memastikan bahwa tugasnya akan tercapai dengan sepenuhnya. Ini bukanlah sesuatu yang mudah baginya, karena wataknya yang gesit dan spontan, sehingga dia harus mengekang ketidaksabarannya dalam menyelesaikan tugas-tugasnya. Lebih lagi, dia merasakan kepentingan untuk menyebarkan dengan segera pesan Opus Dei pada sebanyak mungkin orang. Penundaan yang lama dalam penyelesaian tahap-tahap kanonik adalah cobaan besar baginya, dan menuntut ketabahan dan pandangan adikodrati yang besar darinya. Dalam semuanya ini, Alvaro del Portillo adalah benteng kekuatan baginya. Pater Josemaria mengirim dia ke Roma untuk berbicara dengan Bapa Suci dan Roman Curia (Petinggi Vatikan) mengenai Opus Dei bahkan sebelum dia sendiri pindah ke Roma. Kini, adalah seorang imam, “Don Alvaro”, begitulah dia selalu dipanggil, selalu berada di sisi Pater Josemaria. Dia adalah seseorang dengan kecerdasan dan kemampuan yang luar biasa, tetapi tidak pernah menjadi pusat perhatian, mendevosikan segenap bakat dan kekuatannya untuk memberikan kepada Pater Josemaria kesetiaannya, persahabatannya yang sejati, bantuannya dan dukungannya. 40 Kehidupan kekeluargaan Sejak awal mulanya, Pater Josemaria telah melihat Opus Dei sebagai sesuatu yang bukan hanya menuntut dedikasi penuh dari para lajang, melainkan juga adalah sebuah panggilan bagi mereka yang berumah tangga yang dapat menghayati semangat Opus Dei dalam kehidupan kekeluargaan mereka. Sejak dari 1948, mereka yang telah menikah mulai bergabung menjadi anggota Opus Dei. Pater Josemaria membantu mereka melihat bagaimana “melaksanakan Opus Dei” dalam keluarga mereka, dengan menekankan kepentingan vital dari persahabatan antara anak-anak dengan orang tua mereka. Dia menegaskan bahwa perkawinan adalah sebuah panggilan ilahi dan suatu jalan menuju ke kekudusan, dan bahwa mereka yang menikah juga dipanggil untuk menjadi kontemplatif, untuk menjadi suci dan untuk melaksanakan kerasulan, di dalam dan melalui kehidupan perkawinan mereka. Dia mengajar bahwa kehidupan kekeluargaan berarti melewatkan waktu bersama, saling memperhatikan, mendengarkan, belajar mengetahui apa yang disukai atau tidak disukai oleh anggota yang lain, dan siap untuk memaafkan terlebih dahulu. Pater Josemaria juga mengajar mereka bahwa cinta sejati dalam perkawinan harus terbuka untuk menerima anak-anak yang diberikan oleh Allah; katanya lagi bahwa cinta yang “menghambat sumber kehidupan”, hanyalah suatu keegoisan. Mereka yang menikah mendapatkan bantuan dari Sakramen yang istimewa beserta rahmat sakramentalnya, untuk memenuhi panggilannya. Menurut Pater Joemaria, mereka yang menerima panggilan dari Allah untuk mendedikasikan dirinya pada Tuhan, berhutang 90% dari panggilan itu kepada orang tua mereka karena asuhan dan didikan yang telah mereka berikan. Dia memastikan agar tidak ada anggota Opus Dei yang melalaikan tanggung jawab mereka terhadap orang tua dan keluarga mereka, dan senantiasa berhubungan dengan mereka bahkan jika kebutuhan kerasulan atau situasi lainnya memisahkan mereka. Pada akhir tahun 1941, Pater Josemaria bertanya kepada seorang anggota muda Opus Dei yang orang tuanya dikucilkan ke Algeria pada akhir Perang Saudara Spanyol, “Kapan 41 terakhir kali kau menulis surat kepada orang tuamu?” “Kira-kira satu setengah bulan yang lalu, Bapa,” jawab anak muda itu. Pater Josemaria berkata kepada anak muda itu dengan tegas bahwa tidak seharusnya dia membiarkan orang tuanya sedemikian lama tidak menerima kabar darinya, karena dalam keadaan mereka itu menerima surat dari putra mereka adalah salah satu dari sedikit kegembiraan yang mereka dapat nikmati. Dan, tambahnya, “Pergilah dan tulislah surat sepanjang sepuluh lembar, ditulis depan dan belakang, untuk orang tuamu sekarang juga.” Kerasulan dengan imam-imam projo Pater Josemaria selalu mempunyai kasih dan keprihatinan yang besar terhadap imam-imam projo, dan dia juga menyadari bahwa panggilan untuk mencari kekudusan melalui pekerjaan keseharian yang merupakan inti dari Opus Dei, dapat menjadi panggilan bagi para imam projo seperti semua orang, karena pelayanan imamat mereka adalah pekerjaan keseharian yang harus mereka kuduskan dan melaluinya mereka dapat menemukan Allah. Para imam yang menerima dan menanggapi panggilan baru ini mendapatkan penguatan dalam panggilan utama mereka sebagai seorang imam dan tidak ada pertentangan kesetiaan: Opus Dei memberikan dukungan dan bimbingan yang memungkinkan mereka menghargai dengan lebih penuh nilai dari kesatuan mereka dengan Uskup mereka. Pater Josemaria melewatkan banyak waktu bersama para imam projo yang menemuinya di Roma atau dalam perjalanannya. Pater Josemaria memiliki visi yang sangat luas. Pandangannya akan kegiatan-kegiatan Opus Dei diperuntukkan bagi orang-orang dari segala jalan hidup, bagi umat Kristiani lainnya dan mereka yang memeluk iman yang lain atau tak beriman. Sebagian besar dari orang-orang ini tertarik oleh pesannya dan mendapatkan bahwa tanpa bergabung dalam Opus Dei, mereka juga mempunyai peran masing-masing dalam Opus Dei. Mereka menjadi sahabat-sahabat dan ko-operator Opus Dei yang setia di seluruh dunia. 42 Pater Josemaria dengan Paus Paulus VI di Centro ELIS, Roma, 21 Nopember 1965 43 Bekerja di negara-negara baru Pater Josemaria mulai memperkembangkan Opus Dei dengan giat, dan mengutus anggota-anggota Opus Dei untuk mendirikan centercenter di hampir semua negara di Eropa Barat, termasuk Italia, Portugal, Inggris dan Irlandia; di Amerika Utara, Tengah dan Selatan; kemudian di Kenya, Jepang, Australia, Filipin dan Nigeria. Dia mengutus mereka hanya dengan bekal sedikit uang, karena dia sendiri tidak mempunyai uang, dan mereka harus menunjang diri mereka sendiri, seperti orang-orang awam lainnya, melalui pekerjaan mereka, dan berkatnya serta sebuah patung Bunda Maria. Dia senantiasa mengikuti perkembangan mereka dengan seksama, dan, sambil memberikan mereka tanggung kawab penuh serta kebebasan, dia juga tidak putus-putusnya mendukung dengan menyemangati, memberi nasihat dan berdoa bagi mereka. Kadang-kadang Pater Josemaria sendiri yang berinisiatif mengutus anggota-anggota Opus Dei untuk memulai karya kerasulan di negara baru; dan kadang karena menanggapi undangan dari Uskup-uskup di berbagai negara untuk melaksanakan kegiatan-kegiatan Opus Dei di keuskupan mereka. Doa dan pekerjaan harian Pater Josemaria berhasil mewariskan visinya yang luas itu kepada putra-putrinya, sehingga mereka juga merasakan keprihatinan untuk memperbaiki kondisi kehidupan di negara-negara yang mereka datangi. Seperti dirinya, tidak menjadi halangan bagi putra-putrinya untuk memulai dengan cara yang paling sederhana. Apa yang paling penting selalu adalah hubungan mereka sendiri dengan Allah, melalui doa dan pekerjaan harian mereka. Oleh sebab itu, sebelum melakukan proyek skala besar, mereka memulai dengan kerasulan pribadi melalui dan dalam pekerjaan mereka yang dilandasi dengan persahabatan dan contoh yang baik. Dengan dorongan dan panduan Pater Josemaria, mereka menyajikan pandangan Kristiani dalam menanggulangi masalah-masalah yang mereka temui, seperti 44 kemiskinan, pengangguran dan tidak memadainya pendidikan. Dengan bantuan banyak orang, mereka memulai berbagai proyek sosial dan pendidikan untuk membantu orang-orang yang digolongkan sebagai “yang merugikan”, tetapi yang Pater Josemaria lihat sebagai orang-orang yang memiliki martabat sebagai anak-anak Allah. Proyek-proyek tersebut, walaupun berbeda satu dengan lainnya, semuanya difokuskan untuk mendayakan orang-orang untuk menyadari bahwa semua Kristiani dipanggil oleh Allah untuk menjadi kudus, dan kekudusan ini didapati dalam pemenuhan dengan setia tugas dan kewajian harian dalam kehidupan bekerja mereka. Satu proyek yang dapat dia ikuti dari dekat adalah Centro Elis, yang adalah sekolah pembinaan teknis di daerah perkampungan Roma yang memberikan ketrampilan dan kualifikasi bagi pekerja tangan. Di Meksiko, anggota Opus Dei, dengan bantuan banyak orang, mengelola sebuah perkebunan yang sudah terbengkelai dan sangat luas yang bernama Montefalco, menjadi tempat pembinaan di daerah pedesaan, dimana para petani, yang kebanyakan adalah orang-orang Indian Meksiko dibina dalam kecakapan pertanian dan juga ketrampilan pekerjaan rumah tangga dan merawat anak. Semuanya ini tidak pernah mereka dengar sebelumnya namun adalah sesuatu yang sangat diperlukan. Di Peru, proyek yang serupa didirikan dan disebut Canyete. Di Kenya, Pater Josemaria menekankan bahwa sekolah yang dimulai oleh anggota Opus Dei bersama dengan kawan-kawan mereka haruslah tidak rasis, walaupun ketika itu jauh sebelum kemerdekaan Kenya. Alhasil, pembaharuan ini menimbulkan tidak sedikit pertentangan. Pater Josemaria mendorong anak-anak rohaninya untuk menangani kesulitan-kesulitan yang mereka hadapi dengan keberanian yang lahir dari mengetahui bahwa mereka melakukan kehendak Allah; seperti yang ditulisnya dalam Jalan (733), “Percayalah selalu akan Allahmu. Dia tidak terkalahkan dalam pertempuran” dan, “Yesus, apapun yang Kau inginkan, saya sukai!” (773). 45 Jalan Salib Keberaniannya dalam menghadapi penderitaan dan kemampuannya dalam membantu orang lain untuk melihat dan menjalani penderitaan dengan semangat adikodrati adalah hasil dari cinta kasihnya yang besar terhadap Sengsara Tuhan dan SalibNya. Sejak awal dari pelayanan imamatnya Pater Josemaria sering memberikan buku mengenai Sengsara Tuhan pada orang lain untuk dibaca, agar dengan merenungkan apa yang diderita oleh Kristus bagi umat manusia, mereka dapat belajar mencintaiNya dengan lebih baik dan mengikuti langkah-langkahNya. Pada awal 1960an dia menulis renungan atas Perhentian-perhentian Jalan Salib untuk membantu anggota Opus Dei menghayati devosi Jalan Salib. Setelah wafatnya, renungan ini diterbitkan dan ditambah dengan tulisan-tulisannya yang lain, diberi judul Jalan Salib. Perjalanan Tidak puas dengan mengirim bantuan dan dorongan dari Roma, Monsignor Escriva, demikian dia dikenal pada saat itu, menghabiskan tahun-tahun terakhir dari hidupnya dengan melakukan perjalanan kerasulan ke negara-negara lain, ditemani, seperti biasa, oleh Don Alvaro, untuk mengunjungi para putra-putri Opus Dei-nya dan bertemu dengan orang-orang yang tertarik pada kerasulan mereka. Dia melewatkan musim panas selama lima tahun berturut-turut , dari 1958 hingga 1962, di Inggris, demi dapat bekerja dengan lebih keras di tempat yang iklimnya lebih sejuk dari pada di Roma di bulan Agustus. Namun, dia tidak membiarkan kesibukan pekerjaannya menghalanginya untuk bertemu dengan sebanyak mungkin putra dan putri rohaninya, dan juga teman-teman dan ko-operator Opus Dei. Katanya kepada mereka bahwa dia sangat menghargai kebinekaan budaya dari London yang merupakan “persimpangan dunia” yang harus mendorong mereka untuk melakukan kerasulan yang membuahkan dengan orang-orang yang berasal dari berbagai kebangsaan yang ditemui disana. Dia juga menyebut beberapa 46 contoh kehalusan rancangan arsitektur yang telah dilihatnya di beberapa bagian dari kota itu. Alasan selanjutnya dari perjalanannya adalah cinta kasihnya bagi Gereja. Banyak dari perjalanannya itu adalah ziarah pertobatan yang sering berkisar seputar gua-gua Maria untuk memohon pengampunan Allah akan dosa-dosa, dan berdoa untuk keperluan Gereja. Beribu-ribu orang datang untuk mendengarkan dia dan bertemu dengannya, dalam kelompok besar atau kecil atau secara individu, dan dia selalu berbicara kepada mereka mengenai kebenaran iman yang mendasar, seperti yang telah dilakukannya sepanjang hidupnya, menjelaskan nilai dari pekerjaan, kebutuhan manusia akan Sakramen-sakramen, terutama Sakramen Pengampunan dosa; arti dari perkawinan dan kehidupan kekeluargaan, dan tanggung jawab umat Katolik untuk menyebar iman dan saling membantu dalam mempraktekannya. Dia berbicara dengan penuh semangat ketika membela Gereja, dan tidak segan untuk membicarakan Salib, pengurbanan dan matiraga. Tema yang tidak jemu-jemunya dibicarakan adalah ketulusan. Dia mengatakan bahwa pertama-tama kita harus tulus terhadap diri sendiri dalam pemeriksaan batin dan mengakui apa kesalahan kita dan mengapa kita melakukannya. Dia menggaris bawahi kepentingan untuk bertulus hati dalam percakapan dengan Allah, agar membuat doa menjadi percakapan dari hati ke hati yang sejati dan bukannya percakapan yang formal dan anonim. Dan juga kita harus sungguhsungguh tulus dalam Pengakuan dan bimbingan rohani, berani untuk berbicara dengan jelas mengenai apa kesalahan kita tanpa menyembunyikan atau menutupi sesuatupun, memberi alasan, atau membenarkan diri. Ini adalah dasar ketulusan dan kebenaran yang sejati dalam kehidupan seseorang dan hubungannya dengan orang lain. Ini semua adalah pembukaan diri untuk memperlihatkan caranya sendiri dalam pendekatan iman dan kehidupan rohani, dan menganjurkan orang lain untuk melakukan apa yang baginya adalah sesuatu yang tak ternilai. 47 Walaupun beberapa dari pertemuan ini dihadiri oleh sejumlah besar orang, pribadinya yang hangat dan, lebih lagi, cinta kasihnya yang terlihat dengan nyata bagi Allah dan bagi mereka secara individu, membuat setiap orang merasakan bahwa pertemuan itu adalah suatu percakapan yang ramah dan pribadi. Dalam tanya jawab yang dilontarkan, hadirin dapat merasakan humornya yang terus menerus. Ini adalah ciri khas utamanya yang terpancarkan dari kesadarannya bahwa dia berada dihadirat Allah Bapanya. Dia memberikan dirinya dengan tanpa lelah selama perjalanan itu, sama seperti yang dilakukannya di rumahnya, dan dorongan serta apresiasinya menjadi bantuan yang besar bagi kerasulan yang sedang dilakukan oleh para putra-putri rohaninya di Opus Dei dengan teman-teman dan ko-operator mereka, di negara-negara yang dikunjunginya. Sesudah melakukan dua minggu kunjungan yang padat dan sibuk ke Amerika Tengah dan Selatan di Februari 1975, Monsignor Escriva kembali ke Roma dan melanjutkan kerja keras kerutinannya setiap hari yang termasuk menemui orang-orang yang datang mengunjunginya dari seluruh dunia. Dia berbicara dengan mereka mengenai keprihatinan mereka, menyemangati mereka untuk memusatkan kehidupan mereka pada Kristus dalam aneka situasi kehidupan mereka. Dia selalu mendorong mereka untuk mendekat pada Bunda Maria, dan membimbing mereka memperlakukannya sebagai “Bunda Allah dan Bunda kita juga”, dan dia juga berbicara dan menulis mengenai Bunda Maria sesering mungkin. Dia juga berbicara dengan terus menerus mengenai mencintai, mendukung dan mematuhi Bapa Paus. Dalam tugas memimpin dan mengarahkan Opus Dei, dia mendapat bantuan dari dewan yang terdiri dari anggota senior Opus Dei, termasuk Alvaro del Portillo. Sejak awal mula Opus Dei, Pater Josemaria menetapkan bahwa pengelolaannya haruslah permusyawarahan, yaitu keputusan atas organisasi dan perkembangan Opus Dei serta kerasulannya tidak pernah berdasarkan keputusan perorangan – bahkan dirinya sendiripun 48 Pater Josemaria dalam pertemuan di Altoclaro, Venezuela, 10 Februari, 1975 49 tidak – melainkan melalui perundingan dan kesepakatan, setelah halhal itu dipelajari dengan seksama. Wafatnya Pater Josemaria Pada tanggal 26 Juni 1975, suatu hari kerja seperti hari-hari lainnya, Pater Josemaria meninggal dengan tiba-tiba di Roma karena serangan jantung. Mereka yang bersama dengan dia melihat bahwa hal terakhir yang dilakukannya dengan sadar adalah melayangkan pandangannya pada gambar Bunda Maria dari Guadalupe yang berada di ruang kerjanya. Pater Josemaria berusia tujuh puluh tiga tahun ketika dia meninggal. Walaupun dalam kehidupannya ada bagian yang merupakan ceritera petualangan, namun bagian terbesar dari kehidupannya adalah kehidupan yang begitu sunyi dan sederhana yang dapat terlihat membosankan bagi siapa saja yang tidak memahami kedalamannya. Kehidupannya adalah pesannya dan pesannya adalah pentingnya memberikan cinta ke dalam kehidupan harian, ke dalam hal-hal biasa yang sering tidak terperhatikan kecuali oleh Allah. Seperti yang ditulisnya di dalam Jalan (817), “Kekudusan yang besar terdiri dari melaksanakan tugas-tugas kecil di setiap saat.” Ulang tahun kelahirannya yang keseratus, 9 Januari 2002, adalah suatu peringatan bahwa umat Kristiani biasa dalam setiap abad dikasihi oleh Allah dan dipanggil secara khusus untuk mencintaiNya dengan segenap hati. Josemaria Escriva dibeatifikasikan oleh Paus Yohanes Paulus II pada 17 Mei 1992, dalam upacara yang dihadiri oleh tiga ratus ribu orang dari berbagai negara. Paus Yohanes Paulus II memproklamirkannya sebagai seorang santo sepuluh tahun kemudian, pada 6 Oktober 2002, di Lapangan Santo Petrus, di Roma, dihadapan orang banyak. Dalam homilinya pada kesempatan itu, Sri Paus berkata: “Ikutilah jejak kakinya dan sebarkanlah ke dalam masyarakat kesadaran bahwa kita dipanggil untuk menjadi kudus, tanpa perbedaan suku, kelas, kebudayaan maupun usia.” 50 JOSEMARIA ESCRIVA oleh Helena Sco & Ethel Tolansky Dilahirkan enam puluh tahun sebelum Konsili Va kan Kedua, Josemaria Escriva tumbuh di Spanyol yang poli knya dak stabil, dimana Gereja berjuang untuk berdialogue di dalam dunia yang berubah dengan pesat. Buku kecil ini melacak perjalanan Pater Josemaria dari masa kecilnya dan tragedy keluarga, perjuangan panggilannya dan perang saudara hingga penemuan pribadinya, tugas yang cukup revolusioner untuk mengajar orang-orang, orang-orang awam biasa, bagaimana menemukan Tuhan dalam pekerjaan mereka. Kita lihat keberanian, kebaikan dan keaslian Pater Josemaria, dan kontribusi ramalannya yang tertuju pada kepenuhan kerasulan semua orang yang telah dibap s, yang mana membantu dalam persiapan Konsili. Dia dinyatakan sebagai seorang santo oleh Bapa Paus Yohanes Paulus II pada 2002. Untuk kalangan sendiri (Tidak untuk dijual)