Subido por Imelda Gozali

ST. JOSEMARIA, BIOGRAPHY

Anuncio
Biografi
PERMULAAN
Seorang Sahabat di Madrid
Di pagi yang sangat terik di Madrid di tahun 1930, seorang imam
muda yang baru saja mengunjungi seorang teman yang sakit pulang
dengan berjalan kaki, karena dia tidak mempunyai uang untuk naik
bis. Sebenarnya tidak ada alasan yang membuatnya mengambil jalan
yang lain dari yang biasanya dia lalui. Tiba-tiba dia mendengar
namanya dipanggil, “Josemaria!” Dia menengadah. “Isidoro! Luar
biasa dapat bertemu denganmu!”
“Saya baru saja mencari engkau,” seru Isidoro. “Ketika tidak
kutemukan engkau di rumah, saya merencanakan untuk pergi makan
siang, dan kemudian naik kereta. Saya akan ke utara; keluargaku
sudah di sana untuk liburan musim panas. Anehnya, saya mempunyai
firasat bahwa saya akan bertemu denganmu kalau saya ambil jalan
ini.”
Pertemuan itu ternyata adalah rencana Tuhan untuk mereka
berdua. Isidoro Zorzano bekerja sebagai insinyur rel kereta api di
Malaga, Spanyol selatan. “Saya merasa resah,” katanya. Saya yakin
Tuhan menghendaki sesuatu dari diriku, saya harus ‘melakukan
sesuatu’. Tetapi saya tidak tahu apa. Saya berpikir bahwa mungkin
Tuhan memanggilku untuk menjadi biarawan, tetapi tidak jelas. Saya
mempunyai pekerjaan sebagai insinyur, dan saya sangat menyukai
pekerjaan itu. Saya tidak tahu apa yang harus saya lakukan. Saya
perlu bimbingan darimu.”
Pater Josemaria Escriva memandang sahabatnya dengan
terpesona. “Apakah kamu ingat suratku?” tanyanya. “Sebenarnya
itulah yang ingin kubicarakan denganmu, mengenai suatu karya yang
baru kumulai.”
Pater Josemaria telah pindah dari Saragosa ke Madrid tiga
tahun yang lalu untuk mengambil gelar doktor dalam bidang hukum.
1
Di sanalah Allah telah memperlihatkan kepadanya apa yang telah dia
doakan dan dia cari sejak dia berumur lima belas tahun. Sekarang dia
tahu bahwa Allah ingin agar dia membantu orang-orang awam untuk
menemukan Tuhan dalam kehidupan sehari-hari mereka, menjadi
kudus dalam dan melalui pekerjaan atau studi harian mereka. Tetapi
sampai sekarang, sukar baginya menemukan orang-orang yang dapat
mengerti dengan penuh apa artinya semua ini, dan mengkomit diri
mereka untuk bekerja bersamanya. Dia telah menulis kepada Isidoro,
“Kalau kamu datang ke Madrid, janganlah lupa mencariku. Saya
mempunyai sesuatu yang menarik untukmu.” Sekarang kata-kata
Isidoro menyatakan bahwa dia sedang mencari sesuatu yang sangat
serupa dengan cara melayani Tuhan yang sedang digalang oleh Pater
Josemaria.
Pater Josemaria menjadi ragu-ragu, karena menyadari bahwa
jika Isidoro menerima panggilan itu, dia akan mengikat dirinya
seumur hidup pada karya yang baru saja diperkenalkan padanya.
Pater Josemaria memerlukan waktu untuk memikirkan dan
mendoakan kalau-kalau hal ini adalah benar-benar keputusan yang
tepat untuk Isidoro. Oleh sebab itu dia menganjurkan agar mereka
berpisah terlebih dahulu untuk makan siang dan bertemu kembali
sore itu. Lalu Pater Josemaria berdoa memohon penerangan Tuhan.
Terlihat oleh Pater Josemaria bahwa di satu sisi, Isidoro tidak dapat
pindah ke Madrid, sehingga dia harus mempelajari jalan baru menuju
Tuhan ini dari jarak jauh; di sisi yang lain, kenyataan bahwa mereka
bertemu di tengah jalan pada saat keduanya saling memerlukan,
adalah suatu rencana ilahi yang nyata. Setelah berdoa dan
merenungkannya dengan sepenuh hati, Pater Josemaria mengambil
keputusan.
Ketika mereka bertemu lagi sore itu, Pater Josemaria
menguraikan garis besar dari karyanya itu pada Isidoro, yang tidak
lain adalah panorama pengudusan pekerjaan dalam kehidupan
harian—dalam kasusnya adalah pekerjaan dari seorang insinyur rel
kereta api. Sambil mendengar, Isidoro menyadari bahwa tempat di
mana dia bekerja dapat menjadi tempat di mana dia bertemu
dengan Kristus, pekerjaannya adalah jalan yang membawanya
2
langsung menuju ke kekudusan. Keinginannya untuk menyerahkan
diri pada Tuhan dan panggilan profesinya tidak lagi merupakan suatu
konflik. Dia dapat menyerahkan diri secara tuntas pada Tuhan
dengan jalan melakukan pekerjaannya dengan baik dan penuh
tanggung jawab, dan menjadikannya sesuatu yang kudus.
“Saya dapat melihat campur tangan Tuhan dalam kebetulan
ini,” kata Isidoro dengan penuh entusiasme. “Engkau dapat
mengandalkan diriku. Dari pihakku, saya sudah mengambil
keputusan.” Sejak hari itu sampai akhir hayatnya, Isidoro
menganggap dirinya terikat pada Allah Tuhan kita untuk melayaniNya dalam Karya Tuhan ini—dalam Bahasa Latin “Opus Dei”.
Masa kecil
Josemaria Escriva dilahirkan di Spanyol bagian utara pada tahun
1902. Dia adalah anak kedua dalam keluarga itu. Orang tuanya, Jose
dan Dolores, walau tidak kaya, hidup berkecukupan. Mereka
mempunyai empat anak perempuan disamping Josemaria: Carmen,
tiga tahun lebih tua dari padanya, dan Asuncion, Dolores dan Rosario
lebih muda dari dia. Ketika dia berumur dua tahun, dia sakit keras
hingga berada di ambang kematian. Orang tuanya memohon pada
Bunda
Maria
untuk
menjadi
perantaranya
dan
mempersembahkannya pada Bunda Maria agar dia dapat
disembuhkan. Dengan seketika dia menjadi sehat kembali. Untuk
memperlihatkan rasa terimakasihnya pada Bunda Maria, orang
tuanya membawanya berziarah ke gua Bunda Maria dari
Torreciudad, gua kuno di pegunungan Pyrenees yang tinggi.
Kedua orang tuanya adalah Katolik yang saleh. Devosi mereka
terhadap Sakramen Mahakudus sangat kuat dan mereka mempunyai
kebiasaan berdoa Rosario bersama dalam keluarga. Sampai akhir
hayatnya Josemaria masih ingat akan doa-doa yang diajarkan oleh
ibunya sejak dia mulai belajar berjalan. Ketika dia berumur enam
atau tujuh tahun, dia membuat Pengakuan dosa yang pertama, dan
ketika dia berumur sepuluh tahun dia menerima Komuni Pertama.
3
Namun, tidak lama kemudian petaka melanda keluarga yang
berbahagia itu. Itu adalah saat dimana angka kematian anak-anak
sangat tinggi, dan Rosario, si bungsu dari keluarga itu meninggal
ketika dia baru berumur sembilan bulan, di tahun 1910. Tahun 1912,
Dolores meninggal dalam usia lima tahun, dan dua tahun kemudian
Asuncion juga meninggal ketika berumur delapan tahun. Tidak lama
sebelum itu Asuncion jatuh sakit, dan pada suatu hari sekembalinya
Josemaria dari bermain, dia bertanya pada ibunya bagaimana
keadaan adiknya itu. Nyonya Escriva menjawabnya dengan tabah,
“Dia sangat baik—dia sudah di surga.” Ibunya mendapatkan
kekuatan untuk menghiburnya dan membantunya melihat bahwa
manusia adalah milik Tuhan, dan Tuhan mengambil mereka dan
membawanya ke surga karena Dia ingin mereka berbahagia
bersama-Nya. Setelah itu, mengenang ketiga adiknya itu, Josemaria,
yang pada saat itu berumur sebelas tahun, mulai mengulangi katakata bahwa kini adalah gilirannya untuk meninggal karena sesudah
Asuncion, menurut susunan usia, selanjutnya adalah dirinya. Ibunya
dengan sederhana mengingatkan dia bahwa Bunda Maria telah
menyelamatkan dia ketika dia masih balita dan dia telah
dipersembahkan secara khusus kepada Bunda Maria, oleh sebab itu
Bunda Maria pasti melindunginya. Menyadari kebenaran hal ini dan
juga kata-katanya itu menambah penderitaan ibunya, Josemaria
segera berhenti mengulangi kata-kata itu.
Ketika Josemaria berumur dua belas tahun, usaha ayahnya
runtuh. Keruntuhan ini bukan karena kesalahannya, tetapi dia
bersikeras untuk membayar semua utang-utangnya, hal inilah yang
menyebabkan dia menjadi bangkrut. Keluarga Escriva meninggalkan
Barbastro, kota asal mereka dan pindah ke Logronyo, yang tidak
begitu jauh, disana Tuan Escriva mendapatkan pekerjaan di sebuah
toko kain. Sejak itu keuangan keluarga Escriva menjadi sangat ketat
dan Josemaria belajar dari orang tuanya untuk tetap ceria dan tidak
mengeluh pada waktu kekurangan sesuatu.
Josemaria masuk ke sekolah negri di Logronyo. Dia adalah
seorang anak yang cerdas, giat bekerja dan mempunyai bakat dalam
4
menjalin persahabatan. Disanalah dia bertemu dengan Isidoro
Zorzano.
Jejak kaki di atas salju
Enam bulan sebelum lulus, pada usia enam belas tahun, terjadi satu
hal yang mempengaruhinya dengan amat sangat. Pada suatu pagi
yang bersalju, Josemaria ke luar rumah ketika hari masih subuh. Di
atas salju yang putih bersih, dia melihat sesuatu yang membuatnya
termangu. Sebaris jejak kaki telanjang di atas salju yang ditinggalkan
oleh seorang biarawan Karmelit yang baru saja melewati jalan itu
dengan tidak berkasut. Melihat pengurbanan yang dilakukan oleh
orang suci ini, Josemaria merasakan Roh Kudus menyentuh hatinya
dan membuat dia bertanya pada dirinya sendiri: pengurbanan apa
yang dia bersedia lakukan demi cintanya pada Allah.
Sampai pada saat itu, dia telah bercita-cita untuk menjadi
seorang arsitek, karena dia suka menggambar dan matematika.
Namun sekarang dia merasa perlu menyerahkan diri secara tuntas
pada Tuhan, dan dia memutuskan untuk menjadi seorang imam, hal
yang belum pernah terpikirkan olehnya. Oleh sebab itu dia mulai
meningkatkan devosi-devosinya, dengan menghadiri Misa Kudus dan
menerima Komuni setiap hari untuk mempersatukan dirinya dengan
Yesus Kristus dan dia juga mulai sering menerima Sakramen
Pengakuan Dosa untuk menyingkirkan segala sesuatu yang mungkin
menjadi halangan bagi Roh Kudus untuk bersemayam dalam jiwanya.
Dia membicarakan keinginannya untuk melayani Tuhan dengan
biarawan Karmelit yang jejak kakinya dia lihat di atas salju. Biarawan
itu menganjurkan agar dia bergabung dengan ordo Karmelit.
Josemaria dengan cukup jelas merasa bahwa Tuhan tidak
memanggilnya untuk menjadi seorang biarawan, melainkan Tuhan
mempunyai rencana lain baginya, walau sekarang dia masih tidak
tahu apa itu sebenarnya. Namun, sejak saat itu, dia yakin bahwa
rencana Tuhan ini mencakup imamat baginya.
5
Ketika dia merasa sudah tiba saatnya, dia juga membicarakan
hal ini dengan ayahnya. Untuk pertama kali dalam hidupnya, dia
melihat ayahnya menitikkan air mata. Kata ayahnya: “Anakku,
pikirkanlah lagi baik-baik. Seorang imam harus adalah seorang yang
kudus. Karena sangatlah sukar tidak mempunyai rumah dan tidak
mempunyai cinta di dunia ini. Pikirkanlah lagi, tetapi saya tidak akan
menghalangi jalanmu.” Josemaria menyimpan kata-kata ayahnya
dalam hatinya, dan dia menyadari ada hal yang tidak dikatakan oleh
ayahnya—yaitu, keputusannya untuk menjadi imam akan
menyebabkan orang tuanya dan kakaknya masuk ke dalam
kesukaran yang meningkat, karena mereka mengharapkan dia
mengambil alih dari ayahnya, pada saatnya, beban menunjang
keluarganya. Oleh karena itu, dia memutuskan untuk mendoakan
agar orang tuanya dikaruniakan seorang putra lagi. Dia selalu merasa
bahwa kelahiran Santiago setahun kemudian adalah jawaban dari
doa-doanya itu.
Atas nasihat ayahnya, Josemaria membicarakan imamatnya
dengan dua orang imam yang terkenal karena kesucian dan
kebijaksanaan mereka. Namun, masa depan yang mereka lihat
baginya tidaklah sesuai dengan dorongan hatinya untuk
membaktikan diri kepada Tuhan secara tuntas. Kedua imam itu
menjelaskan bahwa setelah melayani sebagai pastor paroki di suatu
desa selama beberapa tahun, dia dapat naik dengan mantap melalui
sistim administrasi Gereja, menjadi seorang kanon, anggota kuria
keuskupan, dan seterusnya. Josemaria merasa yakin dia tidak
dipanggil untuk menjadi biarawan, tetapi dia juga merasa bahwa
suatu kesuksesan karir dalam hirarki gereja bukanlah apa yang
direncanakan oleh Tuhan baginya.
Panggilan untuk imamat
Walaupun demikian, dia tetap yakin bahwa Tuhan memanggilnya
menjadi imam, dan dia mempunyai keberanian untuk
melaksanakannya walaupun dia tidak mempunyai gambaran yang
6
nyata apa yang akan terjadi pada dirinya. Dibulan September tahun
yang sama, 1918, dia mulai menghadiri kelas-kelas di seminari
Logronyo sebagai seorang murid harian (yang berarti tidak tinggal di
seminari). Dua tahun sesudahnya dia pindah ke Universitas Pontifikal
di Saragosa, dan tinggal di asrama seminari Santo Fransiskus dari
Paula. Selama masa-masa pembinaan untuk imamat ini, dia terus
menerus mendaraskan kalimat-kalimat dari Perjanjian Baru dan
Lama yang biasanya dia gunakan sebagai doa-doa dan aspirasiaspirasi: “Tuhan, supaya aku dapat melihat!” (Mrk 10:51); “Tuhan,
apakah yang harus kuperbuat?” seperti St. Paulus dalam
perjalanannya ke Damsyik (Kis 22:10); “Berbicaralah, sebab
hambaMu ini mendengar!” (1 Sam 3:9). Dia memohon agar dapat
melihat secara keseluruhan rencana-rencana Tuhan baginya, supaya
dia dapat melaksanakannya.
Sejak itu dan sepanjang hayatnya, dia berpaling pada ceritacerita kehidupan Tuhan dalam Injil untuk memupuk doa-doanya dan
mencari inspirasi bagi tindakan-tindakannya. Dia gemar
mengkontemplasikan kejadian-kejadian dalam Injil dengan cara
mengambil peran sebagai salah satu tokohnya dalam kejadiankejadian itu. Dengan demikian, dia dapat menggunakan banyak
ungkapan-ungkapan dari Injil sebagai doa-doa singkat untuk
membantunya selalu berada dihadirat Tuhan sepanjang hari.
Dia cukup akrab dengan teman-temannya di seminari
walaupun, karena perbedaan latar belakang, kadang-kadang timbul
kesukaran dan konflik yang berguna dalam pembinaan dan
penguatan wataknya. Teman-temannya mengenangnya sebagai
seorang pelajar yang sangat baik dengan kepribadian yang hangat,
siap dengan humor dan memiliki tata krama pribadi dan sosial yang
sangat tinggi. Dia menghabiskan banyak waktu untuk berdoa di
hadapan Sakramen Mahakudus mencari jawaban akan apa yang
dikehendaki oleh Tuhan dari padanya sebagai seorang imam.
Sambil menyelesaikan studinya untuk imamat, Josemaria, atas
nasihat ayahnya, juga memulai studinya dibidang hukum di
Universitas Saragosa. Pada waktu itu di Spanyol, di saat-saat dimana
banyak panggilan imamat, tidaklah mustahil bagi para imam juga
7
menerima pembinaan dalam suatu profesi yang tidak secara
langsung berhubungan dengan Gereja, asalkan kompatibel dengan
pelayanan imamatnya. Josemaria tidak pernah takut menangani
lebih dari satu hal dalam saat yang bersamaan. Dia meneruskan studi
hukumnya sampai mendapat gelar sarjananya, tetapi dia selalu
memastikan bahwa studi hukumnya tidak membuat dia melalaikan
studi-studi teologinya, atau, dikemudian hari, karyanya sebagai
seorang imam.
Pentahbisan
Keberaniannya dan kemurahan hatinya dalam melaksanakan
kehendak Allah tidaklah berarti bahwa jalannya bebas dari kesulitankesulitan atau duka nestapa. Ayahnya meninggal dengan mendadak
pada usia lima-puluh-tujuh tahun, di bulan Nopember 1924, tiga
minggu sebelum Josemaria menerima pentahbisan sebagai seorang
diakon. Awal tahun berikutnya ibunya mengajak Carmen dan
Santiago tinggal di Saragosa, tidak jauh dari seminari, karena
sekarang hidup mereka semua tergantung pada Josemaria. 28 Maret
1925, Josemaria ditahbiskan sebagai seorang imam. Cintanya akan
Misa Kudus, yang selalu merupakan pusat dari kehidupan rohaninya,
sekarang menemui dimensi baru, yaitu suaranyalah dan
tangannyalah, yang telah diurapi, yang menghadirkan Yesus di altar.
Tiga hari kemudian dia diutus ke sebuah desa yang bernama
Perdiguera untuk menggantikan pastor paroki yang sakit. Di sana dia
berkarya selama tujuh minggu: menyelenggarakan Misa,
mendengarkan Pengakuan dosa, membawakan Komuni kepada
orang sakit, dan mengajarkan katekismus untuk anak-anak. Jangka
waktu yang pendek ini mempengaruhi seluruh hidupnya. Dia
berhadapan muka secara langsung dengan kemelaratan para petani
dan kehidupan seorang pastor desa yang susah dan kesepian.
Dengan mata kepalanya sendiri dia melihat betapa orang-orang desa
itu memerlukan bantuan. Hal ini menjadi awal dari keprihatinannya
yang sepenuh hati bagi para imam projo dan yang diperlihatkannya
8
dalam kesetiaan persahabatannya dengan mereka yang mengenal
dia secara pribadi, dan kesediaannya untuk melaksanakan apapun
juga yang dapat dia lakukan untuk membantu sesamanya—para
imam di seluruh dunia, dan dalam segala cara. Pengalamannya di
Perdiguera adalah salah satu unsur yang bertahun-tahun kemudian,
menyebabkan berdirinya sekolah-sekolah di pedesaan dan pusatpusat pembinaan pertanian di seluruh dunia, atas inspirasinya itu,
demi membantu orang-orang di pedesaan dalam kehidupan berkarya
mereka, disamping itu, juga memperhatikan kebutuhan kebudayaan
dan rohani mereka.
Melanjutkan studi
Pada tanggal 18 Mei Pater Josemaria kembali ke Saragosa dan
melanjutkan studi hukumnya. Sambil melaksanakan pelayanan
imamatnya dan studinya, dia memohon terang Tuhan agar dapat
melihat kehendak Allah baginya.
Di sepanjang hidupnya sampai pada hari wafatnya, dia selalu
memupuk hubungannya dengan Tuhan dengan jalan memusatkan
hidupnya pada Misa hariannya, dan dengan berjuang dalam hal-hal
kecil demi perbaikan dirinya. Setiap akhir hari, dia selalu memeriksa
batinnya untuk melihat dimana dia telah melalaikan Tuhan atau
kehilangan kesempatan untuk lebih mencintai-Nya. Dia selalu
memulai pemeriksaan batinnya dengan mendaraskan doa
kerendahan hati di hadirat Tuhan, dan menyelesaikannya dengan
doa sesal yang tulus, dan membuat resolusi untuk pertempuran
keesokan harinya. Dia tidak pernah menyerah dalam perjuangannya
melawan kesalahan-kesalahan atau kelemahan-kelemahannya.
Seperti yang diutarakannya pada suatu kali: “Inilah buah masak dari
jiwa yang bermatiraga: toleransi dan pengertian akan kekurangankekurangan orang lain; tidak mentoleransi kekurangan-kekurangan
sendiri” (Jalan, 198). Pada saat dia menyadari bahwa dia telah gagal
dalam salah satu segi perjuangannya, dia tidak menjadi kecil hati dan
9
menyerah, melainkan dia selalu siap sedia untuk mencoba berjuang
lagi dan lagi sesering yang diperlukan.
Dia lulus ujian-ujian hukumnya di 1927. Dia menunjang ibu,
kakak dan adiknya dengan mengajar hukum di akademi privat. Dia
meminta izin dari Uskupnya untuk pindah ke Madrid untuk
mengambil gelar doctor dalam hukum sipil di universitas di sana, dan
dia diizinkan untuk pindah ke Madrid untuk jangka waktu dua tahun.
Melayani orang sakit
Di Madrid, selain melanjutkan studi hukumnya, dia bekerja sebagai
kapelan dari Yayasan Orang Sakit, suatu badan sosial yang dikelola
oleh para biarawati. Pekerjaan ini membawanya berdekatan dengan
orang-orang termiskin di gubuk-gubuk di dalam kota. Dia mengajar
katekismus pada anak-anak, mempersiapkan mereka untuk
Pengakuan pertama dan Komuni pertama, dan mengunjungi orang
sakit di rumah-rumah sakit dan di rumah-rumah mereka. Dalam satu
hari, dia dapat berjalan kaki berjam-jam, pergi dari satu tempat ke
tempat yang lain di Madrid, dan dia selalu siap jika dipanggil oleh
para suster tidak peduli apa alasannya atau sebagaimana lelahnya
dia. Dia sering pergi melayani pasien yang sekarat di rumah-rumah
sakit untuk orang miskin yang selalu penuh sesak. Disana dia
menjumpai para penderita TBC yang dirawat sampai ajalnya karena
pada waktu itu belum ditemukan obat untuk penyembuhannya. Para
penderita dikucilkan dari keluarga mereka karena takut menular. Hal
ini menyebabkan para penyandang penyakit itu menjadi sangat
menderita, kesepian, kesakitan dan ketakutan. Pater Josemaria
memberikan kepada mereka bantuan dan hiburan dengan iman dan
kehangatan hati yang amat besar, membantu mereka melihat tangan
Allah yang penuh kasih dalam segala hal yang terjadi atas diri
mereka. Ketika dia melayani orang sakit, dia meminta agar mereka
mendoakan dan mempersembahkan penderitaan mereka untuk
intensi khususnya. Intensi ini adalah agar “sesuatu” yang Tuhan
inginkan dari padanya itu menjadi kenyataan.
10
Tidak selalu kunjungannya diterima dengan baik. Perasaan anti
keagamaan menguat pada saat-saat itu, dan kadang-kadang, pada
waktu dia melewati daerah gubuk-gubuk itu dengan mengenakan
jubah imamnya, orang-orang di sana akan mencaci makinya dan
melempar batu padanya; atau dia dipanggil ke satu rumah dan pada
saat dia tiba, pintu rumah itu dibanting tertutup di depan mukanya.
Namun dia tidak berkecil hati atau takut, melainkan mendoakan agar
orang-orang ini menemukan kebenaran.
11
BERDIRINYA OPUS DEI
2 Oktober 1928, hari itu Pater Josemaria yang sedang melakukan
retret, sedang berdoa sendirian di dalam kamarnya setelah selesai
Misa Kudus. Dia sedang membaca catatan-catatan yang telah
dibuatnya atas inspirasi-inspirasi dan terang yang telah
dianugerahkan oleh Tuhan kepadanya di tahun-tahun sebelumnya.
Seperti biasanya, dia berdoa agar dia dapat melihat kehendak Tuhan
dengan lebih jelas. Dia merasa bahwa ada sesuatu yang sangat
istimewa yang Tuhan inginkan darinya, tetapi dia masih belum dapat
menangkap apa itu. Tiba-tiba, seperti yang digambarkan olehnya
dikemudian hari, dia “melihat” dengan jelas apa yang diminta oleh
Tuhan untuk dilakukannya. Perasaan mencari sesuatu dalam
kegelapan berubah menjadi gambaran atau pesan yang jelas dan
pasti dalam jiwanya. Apa yang telah didoakan olehnya dan oleh
banyak orang tanpa mengetahui apa itu, akhirnya telah menjadi
jelas. Dia telah menemukan panggilannya dengan sepenuhnya; dia
tahu jalan apa yang harus ditempuhnya. Walau masih belum
bernama, Opus Dei lahir pada saat itu.
Kekudusan dalam pekerjaan sehari-hari
Segala sesuatu dalam kehidupannya sampai pada saat itu, tiba-tiba
dan secara drastis jatuh ke tempatnya. Dia mengerti bahwa semua
umat Kristiani, karena Permandian, telah dipanggil oleh Tuhan untuk
menjadi orang-orang suci yang sesungguhnya, yang dapat
dikanonisasikan. Dan dia melihat sekumpulan besar orang awam
Kristiani biasa yang akan mendedikasikan diri mereka untuk
mencapai kesucian dan persatuan dengan Tuhan dalam karya harian
mereka dengan melakukan segala sesuatu secara baik dan
12
mempersembahkannya dengan sepenuh hati kepada Tuhan. Karena
kesucian berarti identifikasi yang sejati dengan Kristus, hal ini adalah
suatu pandangan yang amat luas. Sebagai pengikut Kristus yang
akrab, mereka harus membantu orang-orang di sekeliling mereka
untuk mencari Kristus, menemukan Dia dalam pekerjaan mereka,
dan juga jatuh cinta dengan Dia, merubah karya mereka menjadi
doa. Karena ini semua akan dilakukan oleh kaum awam yang
berkarya di berbagai bidang pekerjaan, dari tukang sepatu sampai
astronot dan dari dosen sampai pembuat kapal, kerasulan ini tidak
ada batasnya—akan menjadi, seperti yang dikemudian hari
dikatakannya, lautan yang tidak bertepian.
Pater Josemaria melihat bahwa tugasnya adalah mengajar
orang-orang, bagaimana menemukan Tuhan dalam pekerjaan
mereka. Gagasan yang sekarang memenuhi dirinya itu adalah
sesuatu yang tidak terbayangkan di awal abad ke dua puluh. Hampir
empat puluh tahun kemudian, Konsili Vatikan II akan merumuskan
dengan terperinci di dalam Kostitusi Dogmatic mengenai Gereja
(Lumen Gentium), “Kaum awam, dengan panggilannya, mencari
kerajaan Allah dengan melakukan hal-hal duniawi dan
menjalankannya menurut rencana Allah. Mereka hidup di dalam
dunia ini, yaitu, dalam setiap dan seluruh profesi dan pekerjaan
sekulir. Mereka hidup di dalam situasi kehidupan keluarga dan sosial
yang biasa, yang daripadanya jaringan keberadaan mereka dirajut.
Mereka dipanggil oleh Tuhan untuk berada disana agar supaya
dengan mempraktekan fungsi mereka masing-masing dan dibimbing
dengan semangat injil, mereka dapat bekerja demi pensucian dunia
dari dalam dunia seperti ragi” (no. 31). “Semua pengikut Kristus
apapun kedudukan atau status mereka, dipanggil untuk menghayati
sepenuhnya kehidupan Kristiani dan kesempurnaan cinta kasih” (no.
40).
13
Misi orang awam
Seperti yang dikatakan oleh Pater Josemaria dikemudian hari, karya
adalah engsel dimana kesucian dari orang awam berputar. Seluruh
pesannya dapat dirangkum dalam tiga ungkapan ini, “Mensucikan
dirimu sendiri dalam karyamu, mensucikan karyamu, dan
mensucikan orang lain melalui karyamu.” Dia berbicara mengenai
“mencintai dunia dengan penuh gairah”, karena dunia diciptakan
oleh Allah, telah ditebus olehNya, dan perlu dikembalikan
kepadaNya. Ini termasuk hak dan kewajiban, karena orang-orang
yang berusaha menemukan Tuhan di dalam dunia perlu bertanggung
jawab dengan sepenuhnya dalam masyarakat sipil. Inti kosepnya
adalah “sekularitas”, yang berarti para awam bertanggung jawab
atas tindakan-tindakannya sendiri dan secara aktif berusaha mencari
jalan atau cara untuk merasul, dalam kesatuan dan ketaatan kepada
Gereja dan hirarkinya. Ini berarti bahwa, sama seperti para klerus
yang seharusnya memandu anggota-anggota Gereja lainnya dalam
hal litugi dan Sakramen-sakramen, dan para biarawan/wati melalui
praktek kaul kesempurnaan kemurnian, kemiskinan dan kepatuhan,
kaum awam harus memandu dalam mempersembahkan dunia
kepada Tuhan dengan menemukan cara untuk mensucikan dunia
bisnis, ekonomi, perusahaan, industry pelayanan, pendidikan,
perkembangan dan riset, dan semua segi-segi lainnya dimana
mereka hidup dan berkarya. Bagi Pater Josemaria, kesekuliran juga
berarti mencintai kebebasan dan keuniversalan: dia tidak pernah
mengesampingkan siapapun dari rasa hormat dan doa-doanya,
karena, katanya: “setiap jiwa bernilai seluruh Darah Kristus”.
Lakukan segalanya dengan sepenuh hati
Pater Josemaria membantu orang-orang untuk melihat bahwa, untuk
mensucikan pekerjaan yang mereka lakukan, mereka perlu berusaha
untuk mempraktekan semua kebajikan—baik kebajikan-kebajikan
adikodrati: iman dan harapan dan cinta kasih terhadap Allah dan
orang-orang di sekitar mereka; maupun kebajikan-kebajikan yang dia
14
sebut “manusiawi” seperti: kerajinan, keteraturan, ketepatan,
kesetiaan, profesionalisme, keceriaan dan kekukuhan. Dia telah
menulis: “Apakah engkau benar-benar ingin menjadi suci?
Laksanakanlah kewajiban-kewajiban kecil di setiap saat: lakukan apa
yang harus kau lakukan, dan lakukan semuanya itu dengan sepenuh
hati” (Jalan, 815). Dia sering menggaris bawahi nilai yang tak
terhingga dari hal-hal yang kecil, dan menyelesaikan tugas-tugas
sampai pernik-pernik terakhir. Pekerjaan yang dilakukan dengan
kasih menjadi doa, hubungan sungguhan dengan Tuhan.
Biasanya orang-orang bertemu di tempat kerja, oleh sebab itu
disana adalah tempat yang penting bagi kerasulan Kristiani. Pater
Josemaria selalu menekankan bahwa teladan yang baik harus
didahulukan, karena orang-orang lebih cenderung untuk
mendengarkan mereka yang sungguh-sungguh mempraktekan apa
yang dikhotbahkannya, dan oarng-orang dapat menjadi menonjol
karena mereka bekerja dengan keras dan baik.
Pater Josemaria tahu bahwa menyebar ide baru ini bukanlah
sesuatu yang hanya menuntut energi dan komitmen dari dirinya
sendiri, tetapi juga dari banyak orang yang penuh dedikasi. Pada
awal mulanya, dia tidak memikirkannya dalam bentuk suatu
organisasi dengan nama; dalam pikirannya dan ketika dia
membicarakannya dengan orang lain, dia hanya berkata “apa yang
Tuhan inginkan daripadaku”, “tugas kerasulan itu”, atau “karya
kerasulan”. Tetapi pada suatu hari di awal 1930, imam bapa
pengakuannya bertanya: “Dan apa kabarnya dengan Karya Tuhan
itu?” Pater Josemaria terkesima dengan kecocokan dari ungkapan itu
sebagai nama dari proyek usahanya. “Karya Tuhan”, atau dalam
Bahasa Latin “Opus Dei”: sungguh ini menyatakan dengan tepat apa
yang dia sedang berusaha melakukannya. Sejak saat itu, dia
mengadopsinya sebagai nama dari proyek usahanya, dan sering
disingkat hanya dengan “Karya itu”.
15
Terbentuknya Opus Dei
Dari luar, kehidupannya terus berlangsung seperti sebelumnya. Opus
Dei berkembang dan terbentuk dengan perlahan-lahan dan tanpa
suara di dalam jiwanya, sementara dia melanjutkan keprihatinannya
terhadap yang miskin dan merawat yang sakit, disamping
mempersiapkan tesis doktornya, dan juga mengajar Hukum Romawi
dan Hukum Kanonik di suatu perguruan privat demi untuk
membiayai keluarganya.
Pater Josemaria mengunjungi banyak orang yang sakit keras
dan pasien-pasien yang sekarat di rumah-rumah sakit bagi orang
miskin di Madrid. Dia tidak hanya pergi sebagai seorang imam yang
membawa Sakramen untuk mereka dan membantu mereka
mempersembahkan semua penderitaan mereka kepada Allah, tetapi
juga melakukan banyak hal yang praktis yang tidak dapat mereka
lakukan bagi diri mereka sendiri—memandikan mereka,
mengguntingkan kuku mereka, menyisirkan rambut mereka, dan
bahkan membersihkan tempat kotoran mereka. Dia melakukannya
dengan ceria dan penuh kasih. Dan hal ini dikatakannya di dalam
buku yang sedang disusunnya pada waktu itu, “Segala sesuatu yang
dilakukan demi Cinta menghasilkan keagungan dan keindahan”
(Jalan, 429). Bahkan ketika tugas-tugas ini membuatnya mual, tidak
pernah dia perlihatkan, melainkan dia selalu membuat pasien-pasien
itu merasa dikasihi, dan tidak terlupakan atau terlalaikan. Dia
membantu mereka melihat apa yang dia sendiri telah yakini: bahwa
penyakit mereka adalah suatu karunia, jika mereka mempersatukan
penderitaan mereka dengan penderitaan Kristus di atas Salib, ini
dapat menjadi pembangkit rahmat untuk seluruh Gereja. Dia sendiri
mengandalkan bantuan doa-doa mereka untuk rahmat dalam
pembentukan Karya itu dan kerasulan-kerasulannya
Pada hari Minggu sore dia mengundang para pemuda yang
telah dikenalnya melalui kerasulannya, mengunjungi rumah-rumah
sakit dengan dia dan bekerja dengan dia disana, dan dia mengajar
mereka melakukannya dengan kasih yang sama dalam perawatan
orang sakit. Kunjungan-kunjungan kepada pasien-pasien yang sangat
16
miskin di rumah-rumah sakit ini meninggalkan tanda yang mendalam
di hati pemuda-pemuda itu, karena mereka melihat dengan mata
kepala sendiri perbedaan antara kehidupan mereka sendiri dengan
orang-orang yang dirawat disana; dan juga, bahwa cinta kasih Allah
juga hadir di tengah-tengah segala macam penderitaan.
Pater Josemaria dibantu oleh seorang imam muda yang
bersemangat yang bernama Pater Jose Maria Somoano, untuk waktu
yang singkat, hingga meninggalnya dengan tiba-tiba di bulan Juli
1932. Kemungkinan besar karena diracuni oleh seorang anti agama
yang fanatik. Seumur hidupnya Pater Josemaria mengenang Pater
Somoano dengan penuh rasa syukur. Di tahun yang sama, Luis
Gordon, salah satu dari orang awam yang bergabung dengannya di
Opus Dei juga meninggal, dan sepuluh bulan kemudian wanita
pertama yang mengkomit dirinya pada Opus Dei, yang bernama
Maria Ignacia Garcia, meninggal karena penyakit TBC. Dia bergabung
dengan Opus Dei pada waktu dia telah sakit, dan mempersembahkan
semua penderitaannya yang amat sangat demi masa depan
kerasulan Opus Dei. Banyak lagi pasien lainnya di rumah-rumah sakit
yang juga mempersembahkan penderitaan mereka untuk intensi
yang sama, dan bagi Pater Josemaria, hal ini adalah kekayaan yang
sesungguhnya.
Allah sebagai Bapa
Tahun 1931, ketika Pater Josemaria berada dalam masa-masa
kesulitan yang lebih mendalam, dia menerima anugerah khusus dari
Tuhan—suatu kesadaran yang sangat baru bagi umat Kristiani akan
apa artinya mempunyai Allah sebagai Bapa. Suatu hari, ketika dia
sedang berada di dalam sebuah trem di Madrid, tiba-tiba dia
merasakan kenyataan dari keputraan ilahinya dengan sepenuhnya,
dan untuk beberapa saat dia tenggelam dalam penemuan ini
sehingga apa yang dapat dia lakukan hanyalah mengulangi terus
menerus kata-kata “Abba, Pater!”, yaitu kata-kata dalam Bahasa
Aram dan Latin dari “Bapa” yang didapatkan dalam Injil, pada waktu
17
Yesus berdoa kepada Allah Bapa dalam sakratul maut, dan yang St
Paulus gunakan dalam suratnya kepada jemaat di Galatia (4:4-6)
“Karena engkau adalah putra, Allah telah mengutus Semangat
PutraNya ke dalam hati kita, berseru ‘Abba! Bapa!’”
Sejak itu, perasaan menjadi seorang anak Allah menjadi
landasan dari seluruh kehidupan rohani Pater Josemaria, dan ini yang
diteruskan sebagai sesuatu yang mendasar kepada para anggota
Opus Dei. Seperti setiap Kristiani, dia tahu bahwa Kristus adalah
Putra Tunggal Allah, dan mereka yang dipersatukan dengan Kristus
melalui permandian menjadi anak-anak angkat Allah, tetapi apa yang
mereka lakukan dengan pengangkatan ini tergantung dari kebebasan
mereka sendiri dalam menggunakan pemberian Tuhan. Sekarang
Pater Josemaria mengerti bahwa penderitaan apapun dapat menjadi
suatu jalan bukan saja hanya membagi dengan Salib Kristus,
melainkan juga menjadi sedemikian bersatu dengan Kristus sehingga
menjadi satu dengan Dia. Dia begitu mencintai Kristus sehingga
membagi dalam sengsara Kristus adalah sumber kebahagiaan yang
sungguh bagi dia, dan dia menggunakan suatu ungkapan yang adalah
ciri khasnya untuk mengekspresikan paradox ini: “kebahagiaan kita
mempunyai akar dalam bentuk Salib”. Bersatu dengan Kristus juga
berarti mempunyai kepercayaan mutlak seperti anak kecil terhadap
Allah sebagai seorang Bapa yang penuh perhatian, dalam hal-hal
besar maupun hal-hal kecil. Dia menulis: “Setiap hari, oh! Allahku,
aku semakin kurang yakin akan diriku dan semakin yakin akan
Dikau!” (Jalan, 729).
Sampai akhir tahun itu (dan sesungguhnya, sampai akhir
hayatnya)
dia
menggunakan
waktu-waktu
berdoanya
memperkembangkan dan memperdalam kesadarannya menjadi
seorang anak Allah yang “sangat kecil”. Di suatu pagi di bulan
Desember, setelah Misa, cinta Pater Josemaria bagi Yesus dan
BundaNya meluap menjadi sebuah buku kecil yang berjudul “Rosario
Kudus”, yang ditulis langsung olehnya pada saat itu juga. Buku itu
adalah sebuah buku renungan atas setiap misteri Rosario yang dilihat
dari pandangan seorang anak terkasih, yang sedang menyaksikan
dan turut ambil bagian dalam kejadian-kejadian misteri itu. Pater
18
Josemaria sangat gembira pada saat buku itu diterbitkan karena dia
merasa buku itu dapat membantu banyak orang untuk mengenal
dengan lebih baik Yesus dan Bunda Maria, melalui Rosarionya.
Belajar mengenai kerasulan
Pater Josemaria memberikan bimbingan rohani kepada para pemuda
yang jumlahnya meningkat. Sebagian merasa terpanggil untuk
mendedikasikan hidup mereka kepada Tuhan dalam Opus Dei, dan
mereka menanggapinya dengan ya. Pater Josemaria meluangkan
banyak waktu bagi mereka dengan berjalan-jalan bersama mereka
atau berkumpul di café kecil yang banyak dikunjungi oleh para
mahasiswa. Dia memastikan bahwa mereka mengerti dengan tuntas
apa artinya mencari kekudusan di dalam dunia, dan membimbing
mereka ke dalam perjalanan kehidupan rohani, memperlihatkan
kepada mereka bagaimana dapat terus menerus berhubungan
dengan Tuhan sepanjang hari: pada saat mereka belajar, bekerja,
bepergian, bersantai di rumah atau dengan teman-teman, atau
berbicara dengan Tuhan dengan penuh kasih dalam percakapan
pribadi. Dia mengajar mereka melakukan pemeriksaan batin setiap
hari dalam hal-hal tertentu, seperti yang dilakukannya sendiri, dan
membuat resolusi untuk memperjuangkannya pada keesokan
harinya. Dia juga mengajak mereka kerumah ibunya, dimana mereka
belajar dari keluarga Escriva suasana kekeluargaan yang menjadi ciri
khas Opus Dei. Dan selanjutnya, dia mengajar mereka bagaimana
membawa teman-teman mereka berhubungan dengan Tuhan.
Bertahun-tahun kemudian, dalam suatu homilinya yang kemudian
diterbitkan, dia berkata: “Kerasulan adalah cinta bagi Allah yang
meluap dan mengkomunikasikannya kepada orang lain. Kehidupan
rohani berarti pertumbuhan dalam persatuan dengan Kristus, dalam
roti dan dalam sabda. Dan kerasulan adalah ungkapan yang tepat
dan diperlukan dari kehidupan rohani itu. Pada saat seseorang
mengecap Cinta Allah, dia merasakan beban jiwa-jiwa … Bagi seorang
Kristiani, kerasulan adalah sesuatu yang naruliah. Kerasulan bukanlah
sesuatu yang ditambahkan dari luar ke dalam kegiatan-kegiatan
19
harian dan profesinya. Saya sudah mengatakan hal ini terus menerus,
sejak dari hari yang dipilih oleh Tuhan untuk berdirinya Opus Dei!
Kita harus mensucikan pekerjaan harian kita, dan kita harus
mensucikan orang lain melalui pekerjaan harian kita” (Christ is
Passing By, 122).
Peran Wanita
Di tahun 1930 Pater Josemaria menjadi mengerti, karena inspirasi
dari Allah, bahwa wanitapun termasuk dalam karya Opus Dei—
hingga saat itu dia hanya berpikir untuk berkarya dengan kaun pria
saja. Dia lalu mulai membicarakan semangat Opus Dei dengan
beberapa wanita muda yang mengaku dosa kepadanya dan
mendapatkan bimbingan rohani darinya. Sejak awal mula Pater
Josemaria mengerti dengan jelas bahwa di Opus Dei bagian pria dan
bagian wanita sama sekali terpisah dan berdiri sendiri-sendiri dalam
kehidupan dan kerasulan mereka. Oleh sebab itu, dia tidak pernah
mengikutsertakan para wanita dalam proyek-proyek dan kegiatankegiatan yang diselenggarakannya bagi kaum pria. Pada awalnya,
kerasulannya dengan para wanita berjalan dengan sangat lambat.
Walaupun wajar bahwa dia merasa tidak sabar ingin melihat Opus
Dei berkembang, dia tidak mau memaksa, karena dia yakin jika dia
melakukan segalanya yang dapat dilakukannya dan didukung dengan
banyak doa dan matiraga, Tuhan akan melakukan KaryaNya seirama
langkahNya. Banyak diantara wanita muda yang mengetahui Opus
Dei pada awalnya, dikenalkan oleh saudara-saudara atau sepupusepupu mereka yang telah menjadi sahabat Pater Josemaria.
Diantara mereka yang mengerti semangat Opus Dei adalah Lola
Fisac, Encarnacion Ortega dan Nisa Gonzales. Merekalah yang
kemudian membantu menyebarkan Karya Tuhan ini ke negaranegara baru, termasuk Inggris.
Walaupun hanya beberapa tahun lebih tua dari orang-orang
yang bergabung dengan Karya Tuhan ini, Pater Josemaria menjadi
bagaikan bapa mereka yang sesungguhnya. Dia tidak hanya peduli
20
dengan kehidupan rohani mereka, menghayati imamatnya dengan
penuh, namun dia juga mencintai mereka dengan mendalam dan
berkeprihatinan dengan segala sesuatu yang terjadi atas diri mereka.
Ketika Isidoro Zorzano bergabung dengan Opus Dei di tahun 1930,
dia menyapa Pater Josemaria sebagai seorang teman sebayanya.
Namun, dia segera melihat Pater Josemaria sebagai seorang bapa,
sehingga dia berbicara dan menulis kepadanya dengan kepercayaan,
kasih dan hormat dari seorang putra. Dia membiasakan diri
memanggil Pater Josemaria dengan sebutan “Bapa”, bukan hanya
karena Pater Josemaria adalah seorang imam, tetapi juga untuk
mengungkapkan apa yang semua anggota Opus Dei rasakan: Pater
Josemaria benar-benar adalah bapa mereka dalam kehidupan rohani,
dan Opus Dei benar-benar adalah sebuah keluarga. Dalam waktu
singkat, mereka semua memanggilnya “Bapa” dan menyebutnya
“sang Bapa” ketika mereka membicarakan tentang dia.
Center Opus Dei yang pertama
Awal tahun 1930an adalah masa permusuhan agama yang kejam di
Spanyol, dan banyak orang Katolik mengalihkan perhatiannya pada
politik sebagai suatu jalan untuk menahan kekuatan ateisme dan
anarki yang semakin berkembang. Pater Josemaria, disamping
menghormati pilihan pribadi setiap orang, selalu membuat jelas
bahwa dia tidak ada pendapat dalam hal politik, karena sebagai
seorang imam perannya adalah membawa Kristus kepada setiap
orang. Salah satu cara yang terbaik yang dapat dipikirkan olehnya
untuk memenuhi tujuan ini adalah menyediakan tempat dimana
anak-anak muda dapat belajar dan bekerja dengan serius, dan dalam
waktu yang bersamaan belajar mengenai iman Katolik dan membuat
iman itu dihayati dalam kehidupan sehari-hari. Desember 1933, dia
mendirikan “Akademi DYA”, di sebuah flat yang disewanya, dimana
para mahasiswa dapat menerima bimbingan dalam mata pelajaran
tertentu, atau dapat belajar dalam suasana yang mendukung.
Walaupun dia hanya mempunyai sedikit uang, dia bekerja dengan
21
keras dan dengan bantuan dari beberapa pemuda anggota Opus Dei
pada waktu itu, dia memastikan bahwa suasananya sedapat mungkin
mengundang dan seperti rumah keluarga, dan juga setiap orang yang
datang ke “Akademi” menyadari bahwa belajar adalah sesuatu yang
harus dilakukan dengan serius, dan yang mana, bila dilakukan
dengan baik dan sungguh-sungguh, dapat dipersembahkan kepada
Allah. Seperti yang dikatakannya: “Satu jam belajar, bagi seorang
rasul modern, adalah satu jam berdoa” (Jalan, 335).
Tuntutan atas waktunya sangat besar sehingga sepertinya tidak
mungkin dia akan dapat menyelesaikan semua yang harus
dikerjakannya pada hari itu juga, dan walaupun demikian dia tidak
pernah kehilangan pandangan akan perlunya mendahulukan
hubungannya dengan Tuhan. Jika dia melihat bahwa hari itu akan
sukar baginya untuk berdoa pada waktu yang telah dia jadwalkan,
dia selalu berusaha untuk tidak menunda melainkan mendahulukan
waktu untuk berdoa. Di pagi hari pada saat bangun tidur, sering kali
dia masih merasakan keletihan dari hari sebelumnya, dan kadang dia
berjanji pada dirinya: “Saya akan beristirahat sebentar sebelum
makan siang” sebagai dorongan bagi dirinya untuk maju terus. Tetapi
pada waktu dia melihat pekerjaan yang menggunung sedang
menantikannya, dia akan berkata: “Josemaria, saya telah mengelabui
engkau lagi!” Karena dia tahu bahwa dia tidak akan mempunyai
kesempatan untuk beristirahat.
22
PERKEMBANGAN KERASULAN
‘Jalan’ diterbitkan
Di tengah-tengah kesibukan pekerjaannya, Pater Josemaria
mengumpulkan serantaian poin-poin untuk doa dan renungan yang
diambil dari pengalamannya sendiri. Tidak berapa lama kemudian,
terkumpul cukup bahan untuk diterbitkan dalam buku, dan di tahun
1934 edisi pertama dari Jalan diterbitkan dengan judul “Spiritual
Considerations”. Buku itu ditulis dengan sedemikian rupa sehingga
siapa saja dapat menggunakannya sebagai panduan dalam doa dan
menemukan kehadiran Allah dalam kehidupan harian mereka. Buku
itu ditulis dalam paragraf-paragraf yang ringkas, yang ditujukan
kepada pembaca atau Tuhan, disusun dalam bab-bab dengan tema
yang beragam – Misa Kudus, doa, karya, matiraga, kerasulan,
kehidupan rohani, Bunda Maria, hal-hal kecil, dan sebagainya. Buku
itu memperkenalkan semangat Opus Dei dengan baik, dengan
memperlihatkan bagaimana orang awam biasa dapat berhubungan
dengan Tuhan dan melakukan kerasulan di berbagai keadaan dalam
kehidupan mereka. Buku itu ditujukan terutama bagi anak muda dan
mengandung usul dan petunjuk yang sangat praktis dalam
membentuk watak (“Biasakan untuk mengatakan Tidak,” 5), dan
untuk menangani segala macam situasi dalam kehidupan harian
dengan pandangan Kristiani. “Banyak hal yang agung tergantung
pada –janganlah lupa—apakah engkau dan aku hidup sesuai dengan
kehendak Allah” (755), adalah salah satunya, dan yang satu ini lebih
sederhana, “Suatu perbuatan kecil, yang dilakukan demi cinta kasih,
sangat besar nilainya!” (814). Benang yang menyatukan buku itu
adalah cinta bagi Allah, yang diungkapkan dalam pelaksanaan dan
meluap untuk orang lain: “Tuhan, semoga aku memiliki
keseimbangan dan ukuran dalam setiap hal – kecuali dalam Cinta”
(427).
23
Sementara itu, flat pertama yang disewa oleh Pater Josemaria
untuk Akademi DYA telah menjadi terlalu kecil untuk semua kegiatan
yang diadakan disitu. Di musim gugur 1934, Pater Josemaria
memindahkannya ke tempat yang lebih besar, dan menyediakan
bukan saja fasilitas untuk mengajar dan belajar tetapi juga tempat
tinggal untuk beberapa mahasiswa. Pater Josemaria sendiri yang
melakukan pekerjaan rumah tangga, dibantu oleh beberapa anak
muda yang telah memahami semangat Opus Dei dan telah
mengkomit diri mereka pada Opus Dei. Sejak dari awal, Pater
Josemaria mengikutsertakan mereka dalam pekerjaan ini dan dalam
kerasulan. Namun, dia selalu memastikan bahwa mereka menyadari
bahwa pekerjaan dan kerasulan harus adalah hasil dari hubungan
yang hidup dengan Allah dalam doa. Demikianlah dia menjaga
mereka dari bahaya jatuh ke dalam “aktifisme” – yaitu,
melaksanakan banyak proyek yang bagus tetapi melalaikan usaha
untuk memperdalam hubungan dengan Allah, memberantas
kelemahan mereka, dan memupuk kebajikan-kebajikan.
Salah satu dari mereka yang bergabung dengan Opus Dei
diawal mula ini adalah seorang mahasiswa tehnik yang bernama
Alvaro del Portillo. Dengan cepat dia mengerti dan menyerap
semangat Opus Dei, dan dialah yang nantinya akan menjadi
penolong dan pendukung Pater Josemaria sepanjang hidupnya. Pater
Josemaria bertumpu padanya sebagai batu karang.
Membantu dalam petualangan baru
Selama ini, Isidoro Zorzano yang telah bekerja di Malaga, Spanyol
Selatan, datang ke Madrid untuk bertemu dengan Pater Josemaria
bilamana dia dapat. Dengan sepenuh hati dia mempelajari semangat
Opus Dei dan mempraktekannya dalam kehidupan hariannya, dan
dengan bantuan Pater Josemaria, dengan yakin dia membangun
hubungan yang kukuh dengan Tuhan yang dipusatkan pada
Kehadiran SejatiNya dalam Sakramen Mahakudus. Isidoro berusaha
dengan sungguh-sungguh belajar mempersembahkan setiap segi dari
24
pekerjaannya untuk Allah, berdoa dan merenung setiap hari pada
waktu tertentu, melakukan pemeriksaan batin setiap hari dan
menentukan target-target perjuangan batinnya, dan memperlakukan
murid-muridnya dan orang-orang yang bekerja baginya dengan
keadilan, keramahan dan penuh perhatian.
Disamping kunjungan-kunjungannya ke Madrid yang tidak
sering, Isidoro juga menulis surat kepada Pater Josemaria secara
teratur untuk mengikuti perkembangan Opus Dei dan juga untuk
mendapatkan nasihat-nasihat bagi kehidupan rohaninya sendiri.
Ketika dia mendengar usaha setiap orang yang membantu dalam
mempersiapkan asrama mahasiswa yang baru dan ingin
membuatnya berhasil, Isidoro dengan tanpa ragu-ragu dan dengan
murah hati mengirim sebagian dari penghasilannya kepada Pater
Josemaria untuk digunakan oleh beliau. Pater Josemaria menghargai
bantuan ini, karena sejauh ini, orang-orang yang bergabung dengan
Opus Dei kebanyakan adalah para mahasiswa yang masih kuliah, dan
mereka belum dapat memberikan bantuan keuangan, walaupun
mereka semua bersedia bekerja keras dan melakukan apapun yang
diperlukan. Tetapi menyewa dua flat untuk tempat tinggal dan
Akademi, dan melengkapinya dengan mebel dan perabot, sangat
memerlukan uang. Ibu Pater Josemaria dan kakaknya melihat
kesukaran yang dihadapi olehnya, dan dengan murah hati mereka
memutuskan untuk menjual lahan warisan yang baru mereka terima,
dan menggunakan uang hasil penjualan lahan tersebut untuk
membeli apa yang diperlukan.
Pater Josemaria memulai sesuatu dengan tidak cukup uang
bukan karena dia ceroboh atau tanpa perhitungan. Dia
melakukannya dengan penuh iman. Dia tahu bahwa Allah ingin jalan
baru dari dedikasi penuh di tengah-tengah dunia ini dibuka untuk
orang banyak dan dia merasa bahwa hal ini adalah sesuatu yang
mendesak; dan diapun yakin bahwa jika dia melakukan segalanya
yang dapat dia lakukan, Allah tidak akan mengecewakan dia. Dia
melihat dirinya sebagai alat yang dapat digunakan oleh Allah demi
kebaikan jiwa-jiwa jika dia setia dan percaya akan Allah sepenuhnya.
25
Seperti flat pertama yang disewanya, flat-flat yang ditempati
oleh para mahasiswa juga menjadi terlalu kecil untuk kegiatankegiatan yang dilakukan disana. Bersama dengan para anggota Opus
Dei lainnya, Pater Josemaria berhasil menemukan tempat yang lebih
besar lagi dan berencana untuk pindah ke tempat baru pada akhir
tahun ajaran, Juli 1936. Pada bulan Juni tahun itu, Isidoro yang
akhirnya berhenti bekerja di Malaga, pindah ke Madrid, sehingga dia
dapat membantu proyek-proyek Pater Josemaria. Karena telah ada
beberapa anggota Opus Dei yang telah dibina dengan baik dalam
semangat dan tujuan Opus Dei, Pater Josemaria merencanakan
untuk mengirim beberapa anggota ke Valencia dan kota-kota lain di
Spanyol, dan setelah itu ke Paris, untuk melanjutkan kerasulan di
antara orang-orang muda dan para pekerja disana. Isidoro
mengambil alih pengurusan asrama mahasiswa di Madrid, dan dia
melakukannya dengan sepenuh hati. Isidoro menyesuaikan diri
dengan cepat dan membantu perpindahan ke tempat baru yang
lebih besar. Namun, semua rencana ini terputus dengan tiba-tiba
karena pecahnya Perang Saudara Spanyol pada 18 Juli 1936.
Perang di Spanyol
Spanyol terbagi dua. Di satu pihak, partai Republik yang setia pada
Pemerintah Popular Front yang sangat anti Katolik. Kabinetnya terdiri
dari sejumlah anarkis komunis yang ingin melenyapkan
pemerintahan konstitusional. Di lain pihak adalah partai Nasionalis
yang setia pada Gereja Katolik dan berharap untuk mengembalikan
posisi Gereja, yang telah ditekan dengan hukum-hukum di tahuntahun sebelumnya, pada kedudukannya yang semula. Situasi saat itu
telah mencapai titik dimana kedua pihak tidak dapat lagi
bernegosiasi, dan hasilnya adalah perang saudara. Mayoritas dari
Tentara mendukung partai Nasionalis dan mereka bangkit melawan
Pemerintah.
Madrid berada di bagian Republik, dan sebagai seorang imam,
jiwa Pater Josemaria terancam. Para militia (militia adalah kekuatan
26
militer yang dibentuk dari orang-orang biasa untuk membantu
tentara dalam keadaan darurat) di jalan-jalan, dengan senjata
tertuju pada orang-orang awam, memeriksa KTP mereka; siapa saja
yang adalah seorang imam atau biarawan/wati biasanya ditembak
atau digantung di tempat, demikian juga nasib orang-orang yang tak
terhitung jumlahnya hanya karena mereka mempraktekan iman
mereka. Pada hari ketika Tentara memberontak, Pater Josemaria
harus meninggalkan asrama mahasiswa yang baru dengan
mengenakan pakaian pekerja, dan dia tidak dapat kembali kesitu
karena, cepat atau lambat para militia akan datang mencarinya.
Tidak juga dia dapat tinggal bersama ibunya, karena takut
membahayakan jiwa ibunya. Di Madrid, selama hampir tiga bulan
lamanya dia berpindah dari satu tempat ke tempat yang lain, tidak
pernah tinggal di manapun dengan cukup lama, dan terus menerus
dalam ancaman bahaya.
Ancaman bahaya yang terus menerus
Pada suatu saat, ketika dia berada di sebuah flat dengan beberapa
orang pengungsi lainnya, salah satu diantaranya, Juan Sainz, tidak
tahu bahwa dia adalah seorang imam. Tiba-tiba datang para Militia
dan mulai memeriksa seluruh bangunan itu secara sistimatis, mulai
dari lantai dasar menuju ke atas, untuk mencari imam atau orangorang yang “mencurigakan”. Pater Josemaria dan mereka yang
bersama dengannya naik ke atas dan masuk ke dalam atik (loteng
teratas, biasanya ruangan tambahan yang tidak tinggi). Mereka
mendengar pemeriksaan semakin mendekat dan tahu bahwa mereka
mungkin dibunuh jika tertangkap. Pater Josemaria tidak mau orangorang yang bersama dengannya mati dengan tanpa menerima
absolusi (pengampunan dosa), dan dia berbisik, “saya adalah seorang
imam. Keadaan kita sangat gawat. Jika engkau mau, daraskan doa
tobat dan saya akan memberikan absolusi.” Juan kemudian berkata,
“Memberitahu saya bahwa dia adalah seorang imam beresiko sangat
besar. Bisa saja saya menyerahkan dia demi menyelamatkan diri saya
27
sendiri.” Bagi Pater Josemaria, jiwa orang lain lebih penting daripada
jiwanya sendiri. Untungnya pencarian itu tidak sampai ke atik dimana
mereka bersembunyi.
Pada kesempatan lain, Pater Josemaria memperlihatkan
keberanian yang serupa demi untuk melindungi panggilannya sendiri.
Salah seorang anggota Opus Dei, seorang yang genius tetapi agak
linglung, menemuinya dengan nada kemenangan, mengabarkan
bahwa dia telah menemukan tempat dimana Pater Josemaria dapat
tinggal dengan aman. Dia memberikan kepada Pater Josemaria kunci
flat itu. Kelihatannya seperti mukjizat – sebuah surga yang aman,
tidak perlu lagi berpindah dari satu tempat persembunyian ke
tempat persembunyian yang lain. Namun, setelah mengajukan
beberapa pertanyaan, Pater Josemaria mengetahui bahwa flat itu
diurus oleh seorang wanita muda yang berumur duapuluhan. Pater
Josemaria menolak untuk membahayakan panggilannya sebagai
seorang imam dengan tinggal serumah hanya dengan seorang wanita
muda, dan membiarkan dirinya terbuka terhadap godaan. Dia
membuang kunci itu ke dalam selokan di jalan.
Selama ini, sikap Pater Josemaria selalu tenang dan ceria,
dengan iman kepercayaan bahwa segalanya dan setiap orang berada
di tangan Tuhan. Beberapa anggota Opus Dei telah meninggalkan
Madrid untuk liburan musim panas bersama dengan keluarga
mereka di bagian lain dari Spanyol sebelum pecah Perang Saudara.
Dan walaupun mereka masih berada di daerah kaum Republik,
setidaknya bagi mereka ancaman bahayanya tidak terlalu dekat
sehingga Pater Josemaria tidak terlalu mengkhawatirkan keadaan
mereka. Anak-anak rohaninya di Opus Dei yang masih berada di
Madridlah yang menjadi keprihatinannya yang terus menerus. Ada
yang bersembunyi; ada yang direkrut menjadi tentara kaum
Republik; dan ada yang dipenjarakan.
Isidoro melewatkan dua bulan tanpa meninggalkan rumah
ibunya, karena dia diburu oleh kaum komunis dari Malaga yang
mengetahui bahwa dia adalah seorang Katolik yang saleh dan dia
telah pindah ke Madrid. Namun, setelah dua bulan, pemburuan itu
dihentikan karena parasnya telah jauh berubah. Dia telah mengurus
28
dengan banyak, potongan rambutnyapun telah berubah, dan dia
mengenakan kacamata hitam. Dia merasa sudah mungkin untuk
bergerak di kota itu, terutama karena dia memiliki surat yang
menyatakan bahwa dia dilahirkan di Argentina. Meskipun dia tidak
memiliki kewarganegaraan Argentina, surat itu cukup untuk
melindungi dia dari pemeriksaan patroli militia. Dia menjadi
pembantu yang sangat berharga bagi Pater Josemaria, karena dia
dapat menggunakan kebebasannya untuk bergerak, untuk mencari
dan mengunjungi anggota Opus Dei lainnya dan menghubungkan
mereka satu dengan lainnya.
Surga yang aman di Madrid
Pada suatu saat, Pater Josemaria bersembunyi di tempat yang luar
biasa – rumah sakit jiwa. Dokter yang bertanggung jawab atas rumah
sakit itu memberikan perlindungan bagi beberapa orang yang berada
dalam bahaya terbunuh dengan menyembunyikan mereka diantara
pasien-pasien sesungguhnya. Pater Josemaria bahkan dapat
merayakan Misa beberapa kali disana, hal yang tidak dapat
dilakukannya dalam pelarian. Tempat persembunyian itu tidak ideal,
tetapi dia tinggal disana hingga Maret 1937 ketika dia dapat pindah
ke tempat yang lebih aman, kedutaan Honduras di Madrid, yang juga
memberikan perlindungan bagi mereka yang berada dalam bahaya
terbunuh karena berada di pihak yang salah. Disana Pater Josemaria
ditemani oleh empat orang anggota Opus Dei dan adik laki-lakinya,
Santiago, yang telah berumur delapan belas tahun. Disana Pater
Josemaria dapat merayakan Misa hampir setiap hari, terimakasih
pada Isidoro yang berhasil, dengan sukar, menyediakan roti dan
anggur Misa. Mereka berenam tinggal bersama dalam sebuah kamar
yang sempit. Kondisi hidup mereka sangat tidak leluasa. Makanan
yang dapat disediakan oleh kedutaan bagi para pengungsi yang
mereka tampung sangat sederhana. Mereka tidak dapat
meninggalkan gedung kedutaan, dan saat-saat mereka disana bisa
menjadi suatu mimpi buruk. Namun, sebaliknya, Pater Josemaria
29
memperlihatkan pada mereka bagaimana mempergunakan keadaan
yang terjepit itu untuk membangun hubungan dengan Allah dan
memberikan rasa hormat, perhatian dan kasih mereka bagi orang
lain. Pater Josemaria sangat memperhatikan agar mereka
menggunakan waktu dengan baik, setiap hari mereka membagi
waktu untuk berdoa, belajar bahasa asing, menulis surat, dan
memelihara kamar mereka agar tetap bersih dan rapih. Dia
membantu mereka untuk menyadari bahwa meskipun mereka
hampir sama dengan tawanan, saat-saat itu dapat dijadikan saat-saat
pertumbuhan batin dan bukan saat-saat bermalasan yang dapat
menjadikan mereka lamban dan putus asa. Alhasil, saat-saat mereka
tinggal di Kedutaan Honduras menjadi saat-saat yang selalu mereka
kenang sebagai episode yang sangat istimewa dalam kehidupan
mereka.
Maju terus
Pada akhir bulan kelima atau keenam, Pater Josemaria memutuskan
untuk meninggalkan Kedutaan Honduras dan mencari jalan untuk
menyeberang ke bagian Spanyol dibawah partai Nasionalis, agar
dengan terbebaskannya dari penganiayaan agama, dia dapat
meneruskan kerasulan yang telah diberikan oleh Allah kepadanya.
Desakan tugas mendorongnya bahkan dalam keadaan perang
saudara yang mengerikan. Namun, hal itu adalah keputusan yang
sangat sukar baginya, karena ini berarti meninggalkan ibunya,
kakaknya dan beberapa anggota Opus Dei di Madrid. Dia
mempercayai Tuhan dengan sepenuhnya, yakin jika mereka semua
memutuskan untuk melaksanakan kehendak Allah, apapun yang
terjadi atas diri mereka pada akhirnya adalah hal yang terbaik.
Ketika dia meninggalkan kedutaan Honduras, dia dibekali
dengan surat pernyataan bahwa dia adalah pegawai Kedutaan
Honduras, dan dengan demikian memiliki kekebalan diplomatik.
Lebih dari sebulan kemudian dia baru dapat meninggalkan Madrid,
dan kehidupannya pada saat itu tidak jauh berbeda dengan pada
30
saat permulaan perang saudara, terus menerus berpindah dari satu
tempat ke tempat yang lain. Dia menggunakan saat-saat ini untuk
merayakan Misa di rumah orang-orang yang berbeda, membawa
Sakramen Mahakudus pada orang-orang yang sedang bersembunyi,
mendengarkan Pengakuan, dan bahkan memberikan retret rohani
kepada lima orang. Untuk menghindari perhatian, mereka yang
melakukan retret bertemu di satu tempat untuk ceramah atau
renungan, kemudian menyebar dan bertemu lagi di tempat yang lain
untuk ceramah atau renungan berikutnya.
Melarikan diri dari Madrid
Akhirnya, dengan sekelompok kecil anggota Opus Dei dan sahabat,
Pater Josemaria pergi ke Barcelona, dan dari situ mereka melarikan
diri dari daerah Republik Spanyol dengan berjalan kaki menyeberangi
Pegunungan Pyrenes. Perjalanan itu sangat sukar dan berbahaya,
hidup mereka terus menerus berada dalam ancaman, baik oleh
kondisi gunung yang sangat sulit maupun oleh penjaga perbatasan
yang siap menembak orang yang dicurigai sebagai buronan. Dengan
sejumlah pengungsi lainnya, mereka dipantau oleh serangkaian
penyelundup melalui jalan-jalan gunung yang berbahaya demi uang.
Pada suatu saat, pemantau mereka mengancam untuk meninggalkan
salah satu kawan Pater Josemaria yang bernama Tomas Alvira,
karena dia kehabisan tenaga dan tidak dapat lagi mengikuti yang lain.
Namun Pater Josemaria menolak hal ini terjadi. Dia membawa sang
pemantau kesamping dan memberikan alasan-alasan sehingga
pemantau itu berubah pikiran dan mereka semua melanjutkan
perjalanan bersama dan membantu Tomas dengan memapahnya
sebisa mungkin.
Meskipun perjalanannya sangat sukar dan medannya sangat
buruk, di suatu tempat—pada hari Minggu—Pater Josemaria
mengambil kesempatan untuk merayakan Misa. Umat Katolik dalam
kelompok itu berkumpul sedekat mungkin dengan dia, dan salah satu
diantaranya menulis dalam buku hariannya,
31
“Saat-saat yang paling mengharukan dalam perjalanan itu
adalah Misa Kudus: seorang imam dalam kelompok kami merayakan
Misa di atas sebuah batu. Dia tidak merayakannya seperti imamimam dalam gereja. Kata-katanya yang jernih dan sepenuh hati
menembus jiwa kami. Saya tidak pernah menghadiri Misa seperti
hari ini. Saya tidak tahu apakah karena keadaannya atau karena yang
merayakannya adalah seorang santo. Komuni sangat mengharukan.
Kami hampir-hampir tidak dapat bergerak, pakaian kami compang
camping, kotor dan kami tidak bercukur, rambut kami tidak tersisir,
tubuh kami memerlukan istirahat, tangan kami berlumuran darah
dari luka-luka goresan, mata kami berkaca-kaca; diatas segalanya,
Tuhan berada bersama dengan kami dalam Hosti.”
Orang-orang yang pernah menghadiri Misa yang dirayakan oleh
Pater
Josemaria,
disetiap
tahap
dari
kehidupannya,
mengkonfirmasikan bahwa memang dia merayakan Misa dengan
segenap jiwa dan hatinya.
Setelah dua minggu yang meletihkan dan menegangkan,
mereka tiba di Andorra, lalu menyeberang kembali ke bagian
Nasionalis Spanyol melalui Perancis. Mereka pergi ke Burgos, dimana
Pater Josemaria, meskipun sudah sangat kurus dan telah menjadi
lemah karena apa yang dialaminya, dengan segera terjun ke dalam
tugas memulai kembali karya kerasulannya.
Selama enam belas bulan berikutnya dia bekerja dengan keras.
Dia menulis surat untuk semua anggota Opus Dei yang diketahui
keberadaannya, dan juga untuk para sahabatnya, dengan
menggunakan bahasa sandi demi untuk menghindari sensor, dia
menulis untuk Isidoro dan yang lainnya di bagian Republik. Dia juga
menulis dan menggandakan surat edaran, untuk para anggota Opus
Dei dan kawan-kawan sekalian, mengabarkan keterkinian keadaan
mereka dan kegiatan-kegiatan mereka. Dia juga memberikan retret
rohani. Dia bepergian dengan tidak mengenal lelah, mengunjungi
para putra rohaninya anggota Opus Dei dimanapun mereka berada,
untuk memberikan bimbingan rohani dan juga bantuan materi dan
keprihatinan seorang ayah. Bilamana mereka mendapatkan cuti,
mereka datang mengunjunginya di Burgos. Mereka selalu pulang
32
dengan panduan yang jelas bagaimana memelihara hubungan
mereka dengan Allah dan merasul dimanapun mereka berada.
Memulai lagi
Perang Saudara Spanyol berakhir pada awal April 1939, tetapi Pater
Josemaria telah kembali ke Madrid pada 28 Maret. Setibanya di
Madrid, dia segera pergi ke gedung dimana dia telah membuka
Akademi yang baru dengan penuh harapan hampir tiga tahun yang
lalu, dan melihat gedung itu telah menjadi puing karena dibom dan
tidak ada yang tersisa kecuali beberapa bagian tembok yang masih
berdiri. Dia tidak menjadi kecil hati melainkan dengan beberapa
anggota Opus Dei mulai bekerja lagi dari awal dengan semangat, dan
enam bulan kemudian asrama dan center Opus Dei yang baru
membuka pintunya di Madrid. Tidak lama kemudian satu lagi center
dibuka di Valencia.
Retret dan bimbingan rohani
Pater Josemaria mulai dimintai bantuan oleh para Uskup untuk
memimpin retret bagi para imam di kota-kota di keuskupan mereka.
Dia juga memimpin retret bagi para biarawan dan orang-orang
awam. Pater Josemaria melaksanakan permintaan ini dengan
segenap hati karena menyadari betapa pentingnya, terutama bagi
para imam, untuk menjadi kudus dan dekat pada Allah. Sepanjang
hayatnya, memimpin retret bagi para imam, dan berkhotbah atau
memberikan bimbingan rohani kepada mereka membuat dia merasa
sangat rendah diri karena dia melihat kebajikan dan dedikasi mereka
melebihi dirinya sendiri. (Dia sering mengumpamakan dirinya seperti
menjual madu pada peternak lebah).
Tujuh tahun berikutnya adalah saat-saat yang membawa baik
kesusahan maupun pertumbuhan bagi Opus Dei di Spanyol. Pater
Josemaria masih mendedikasikan banyak waktu bekerja bagi orang33
orang sakit dan melarat di rumah-rumah sakit di Madrid. Saat itu, dia
juga memberikan bimbingan rohani secara teratur pada sejumlah
pria dan wanita dari berbagai usia dan dari berbagai latar belakang.
Dia menghabiskan banyak waktu bepergian dengan kereta kelas tiga
yang tidak nyaman ke berbagai bagian Spanyol untuk memimpin
retret dan pertemuan-pertemuan, bukan hanya untuk para imam
tetapi juga bagi para mahasiswa dan kaum pekerja. Pater Josemaria
menyemangati mereka untuk mendalami pengetahuan mereka akan
iman Kristiani, menghargai Sakramen-sakramen, menemukan dan
mengikuti Kristus melalui kerja keras dalam kehidupan harian
mereka dan membantu membawa orang di sekeliling mereka
mendekat pada Tuhan.
Dolores dan Carmen Escriva
Disamping semuanya itu, Pater Josemaria juga melibatkan diri dalam
persiapan dan pengelolaan center-center di Madrid dan di kota-kota
lainnya dimana inti dari sebagian besar kerasulan dilakukan oleh para
putra Opus Dei-nya. Dalam hal ini dia sangat banyak dibantu oleh
ibunya, Dolores, dan kakaknya Carmen. Mereka memasak dan
melakukan perkerjaan rumah tangga dari satu center Opus Dei ke
center yang lain, dan membuat center-center Opus Dei menjadi
rumah-rumah keluarga sejati, tempat-tempat yang ceria dan
mengundang.
Mengelola
rumah-rumah
ini
membutuhkan
ketrampilan yang digabung dengan tenaga dan kecerdikan mereka
karena pada saat itu para anggota Opus Dei berpenghasilan rendah
dan waktu itu adalah saat-saat kekurangan di Spanyol. Setelah
Perang Saudara, Spanyol juga merasakan dampak Perang Dunia
Kedua yang sedang berlangsung di bagian Eropa lainnya, yang
membuat barang-barang kebutuhan sukar untuk masuk.
Tahun 1941 membawa pukulan yang tak terduga: di bulan
April, ibunda Pater Josemaria meninggal tidak lama setelah jatuh
sakit. Pada saat itu Pater Josemaria sedang memimpin retret untuk
para imam di kota lain, dan beliau tidak mendapat penghiburan
34
untuk berada di sisi ibunya di saat terakhirnya atau memberinya
Sakramen-sakramen. Pater Josemaria merasa sangat menderita
karenanya, tetapi dia mempersembahkannya bagi kerasulan dengan
para imam yang baginya sangat bernilai bagi seluruh Gereja. Setelah
kepergian ibunya, Carmen meneruskan melakukan pekerjaan rumah
tangga dibantu oleh para wanita yang telah bergabung dengan Opus
Dei. Carmen mengajarkan semua ketrampilannya yang pada saat itu
sudah sangat banyak pada mereka: kepraktisan dalam memasak,
mencuci baju, dan tata rumah tangga dengan anggaran yang
ramping.
Isidoro
Kehilangan ibunya sepertinya masih belum cukup, Isidoro Zorzano,
yang telah bekerja di sisi Pater Josemaria sejak akhir Perang Saudara
Spanyol, dan yang telah memberikan dukungannya, jatuh sakit di
tahun yang sama. Isidoro menderita Hodgkin, dan perlahan-lahan
penyakitnya memburuk, dan isidoro meninggal pada 15 Juli 1943.
Selama sakitnya, Pater Josemaria dan para anggota Opus Dei
menemaninya dengan penuh kasih. Isidoro tidak pernah mengeluh
karena penderitaannya yang besar menjelang akhir hayatnya. Dia
mempersembahkan penderitaannya itu dan hidupnya pada Tuhan
bagi sang Bapa (panggilan akrab anggota Opus Dei kepada Pater
Josemaria) dan kerasulan Opus Dei. Proses beatifikasi Isidoro dibuka
pada Oktober 1948.
35
Pater Josemaria di samping tempat dur Isidoro pada 19 April, 1943
36
JALAN MENUJU EVANGELISASI
Imam-imam Opus Dei
Panggilan untuk Opus Dei kian bertambah dan mereka membantu
Pater Josemaria dalam kerasulannya, dan mengajar semangat Opus
Dei kepada anak-anak yang baru saja bergabung dengan Opus Dei.
Namun mereka tidak dapat membantu Pater Josemaria
mendengarkan Pengakuan dosa. Bukan saja Pengakuan dosa adalah
bagian dasar dari kerasulan dengan umat Katolik, tetapi Pengakuan
yang sering dan bimbingan rohani, juga adalah sesuatu yang penting
bagi kehidupan rohani dari semua anggota Opus Dei. Oleh sebab itu
jelaslah sudah bahwa Opus Dei memerlukan imam-imam yang
ditahbiskan dari para anggotanya sendiri karena mereka akan dapat
membimbing menurut semangat Opus Dei yang telah mereka hayati.
Yang masih belum jelas adalah bagaimana hal ini dapat dilakukan,
karena biasanya para imam ditahbiskan untuk melayani keuskupan
mereka atau melayani tarekat mereka, dan Opus Dei bukanlah
sebuah tarekat dan juga bukan keuskupan.
Setelah mencari kian kemari, Pater Josemaria menerima
jawaban dari masalah itu ketika dia sedang merayakan Misa pada 14
Februari 1943. Serikat Imam Salib Suci didirikan sebagai bagian yang
tak terpisahkan dari Opus Dei, sehingga Alvaro del Portillo dan dua
anggota Opus Dei lainnya yang telah menyelesaikan studi untuk
imamat dapat ditahbiskan pada 25 Juni 1944. Mereka adalah imamimam perdana dari para imam Opus Dei. Bagi Pater Josemaria, hal ini
adalah perkembangan lebih lanjut dari tujuannya dalam melayani
Gereja – Opus Dei menyediakan bagi para awam jalan menuju
kekudusan dalam kehidupan keseharian, dan juga mengkontribusi
imam-imam bagi Gereja, untuk melayani semua jiwa.
Dalam pada itu, sesuai dengan visi Pater Josemaria akan Opus
Dei, para imam bukanlah kelompok atau kelas yang terpisah di dalam
37
kerasulan Opus Dei, melainkan kerasulan yang dilakukan oleh para
imam dan para awam dijalankan dalam kesatuan yang organik.
Seperti yang dikatakan oleh Paus Yohanes Paulus II bertahun-tahun
kemudian, pada saat beliau berbicara kepada anggota Opus Dei pada
17 Maret 2001, “Kesaksian langsung dari para awamlah (…) yang
akan memperlihatkan bahwa hanya dalam Kristus nilai-nilai
manusiawi yang tertinggi mencapai kepenuhannya. (…) Namun, para
imam melakukan fungsi dasar mereka yang tidak tergantikan: yaitu
membantu jiwa-jiwa, satu per satu, melalui Sakramen-sakramen,
khotbah dan bimbingan rohani, membuka jalan bagi anugerah
rahmat. Oleh sebab itu, kesatuan semangat memungkinkan misi dari
setiap badan gereja dihargai dengan sepenuhnya.”
Opus Dei diserang
Pada 1946, anggota Opus Dei telah membuka center di delapan kota
di Spanyol dan juga di Portugal. Sementara Opus Dei berkembang
sedemikian rupa, Pater Josemaria juga harus menghadapi oposisi
yang meningkat terhadap karyanya. Bagi beberapa umat Katolik
pada saat itu, klerus adalah inti dari Gereja, dan mereka berpikir
bahwa satu-satunya hal yang dapat dilakukan oleh orang awam
adalah berusaha untuk hidup dengan baik, bergabung dalam
kerasulan yang diorganisir oleh para klerus, dan, jika mereka
mengharapkan untuk dapat mencapai kesempurnaan, mereka dapat
menjadi biarawan/wati atau setidak-tidaknya meniru peraturan
kehidupan dalam biara sebisa mungkin. Mereka cenderung berpikir
bahwa pekerjaan harian di dunia ini dan kehidupan sosial biasa
adalah halangan bagi kekudusan. Mereka tidak menganggap bahwa
orang awam, pria maupun wanita, dapat mencapai kekudusan sejati
dalam kehidupan keseharian, pekerjaan dan rumah tangga mereka.
Ketika Pater Josemaria justru mengkhotbahkan hal itu, mereka
menyimpulkan bahwa hal ini adalah suatu bidaah yang baru.
38
Salah paham
Selanjutnya, Opus Dei tidak dikaitkan dengan kelompok politik
manapun, sehingga tidak dapat menerima dukungan yang mereka
tawarkan. Pater Josemaria menjunjung tinggi kebebasan pribadi dari
setiap anggota Opus Dei untuk memilih jalan politik mereka. Dia
tidak pernah mengatakan apapun mengenai politik kecuali
mengatakan bahwa itu bukan urusannya, karena dia adalah seorang
imam dan keprihatinannya adalah terhadap orang-orang dan jiwajiwa mereka, dan bukan partai politik. Namun pesan keuniversalan
dan kebebasannya itu tidak selalu dimengerti orang-orang di luar
Opus Dei. Selain dicela sebagai seorang bidaah, dia juga dituduh
menyesatkan anak muda dan bahkan membentuk partai politik di
bawah selimut. Pater Josemaria dengan bantuan dan dukungan
Uskup Madrid, bekerja terus dengan sabar untuk mengatasi kesalahpahaman ini.
Memperkukuh dan mengembangkan Opus Dei
Sesudah tahun-tahun perang yang panjang, yang berawal di Spanyol
lalu di bagian Eropa lainnya berlalu, Pater Josemaria merasa bahwa
telah tiba saatnya untuk menyebar pesan Opus Dei ke negara-negara
lainnya. Agar supaya Opus Dei berakar dan berkembang dengan
semestinya di luar negri, pengakuan resmi dari Gereja di tingkatan
universal, dan bukan hanya di Spanyol, diperlukan. Ini berarti
mendapatkan pengesahan dari Roma, tempat kedudukan Gereja
universal. Oleh sebab itu pada bulan Juni 1946 Pater Josemaria
pindah ke Roma dan menetap di sebuah flat kecil, bersama dengan
sejumlah kecil anggota Opus Dei lainnya, untuk membangun Opus
Dei dengan semestinya dalam kerangka Gereja.
Flat yang mereka sewa berada sangat dekat dengan Vatikan,
dan dari salah satu jendela flat itu mereka dapat melihat jendelajendela apartemen Sri Paus. Kasih sayang Pater Josemaria terhadap
Bapa Suci sangat besar karena beliau adalah wakil Kristus, kepala
39
Gereja yang terlihat. Pater Josemaria sangat terharu dapat
sedemikian berdekatan dengan Bapa Suci, sehingga walaupun dia
sangat lelah karena perjalanan yang panjang, setibanya di flat itu dia
tidak tidur melainkan berdoa semalam suntuk bagi Sri Paus.
Loyalitas Pater Josemaria terhadap Bapa Suci tidak hanya
terbatas pada berdoa untuk beliau saja. Sepanjang tahap-tahap
perkembangan Opus Dei, Pater Josemaria menerima nasihat dari
berbagai hirarki Gereja dan memohon persetujuan bagi setiap
langkah baru. Terlebih lagi ketika menyusun anggaran dasar untuk
pemerintahan dalam Opus Dei. Ini adalah hasil dari prinsip Pater
Josemaria bahwa keberadaan Opus Dei semata-mata untuk melayani
Gereja, sesuatu yang sering dia garis bawahi.
Gereja secara resmi menyetujui ciri khas dan tahap-tahap
perkembangan Opus Dei, dan Pater Josemaria bekerja dengan sabar
untuk memastikan bahwa tugasnya akan tercapai dengan
sepenuhnya. Ini bukanlah sesuatu yang mudah baginya, karena
wataknya yang gesit dan spontan, sehingga dia harus mengekang
ketidaksabarannya dalam menyelesaikan tugas-tugasnya. Lebih lagi,
dia merasakan kepentingan untuk menyebarkan dengan segera
pesan Opus Dei pada sebanyak mungkin orang. Penundaan yang
lama dalam penyelesaian tahap-tahap kanonik adalah cobaan besar
baginya, dan menuntut ketabahan dan pandangan adikodrati yang
besar darinya.
Dalam semuanya ini, Alvaro del Portillo adalah benteng
kekuatan baginya. Pater Josemaria mengirim dia ke Roma untuk
berbicara dengan Bapa Suci dan Roman Curia (Petinggi Vatikan)
mengenai Opus Dei bahkan sebelum dia sendiri pindah ke Roma.
Kini, adalah seorang imam, “Don Alvaro”, begitulah dia selalu
dipanggil, selalu berada di sisi Pater Josemaria. Dia adalah seseorang
dengan kecerdasan dan kemampuan yang luar biasa, tetapi tidak
pernah menjadi pusat perhatian, mendevosikan segenap bakat dan
kekuatannya untuk memberikan kepada Pater Josemaria
kesetiaannya, persahabatannya yang sejati, bantuannya dan
dukungannya.
40
Kehidupan kekeluargaan
Sejak awal mulanya, Pater Josemaria telah melihat Opus Dei sebagai
sesuatu yang bukan hanya menuntut dedikasi penuh dari para lajang,
melainkan juga adalah sebuah panggilan bagi mereka yang berumah
tangga yang dapat menghayati semangat Opus Dei dalam kehidupan
kekeluargaan mereka. Sejak dari 1948, mereka yang telah menikah
mulai bergabung menjadi anggota Opus Dei. Pater Josemaria
membantu mereka melihat bagaimana “melaksanakan Opus Dei”
dalam keluarga mereka, dengan menekankan kepentingan vital dari
persahabatan antara anak-anak dengan orang tua mereka. Dia
menegaskan bahwa perkawinan adalah sebuah panggilan ilahi dan
suatu jalan menuju ke kekudusan, dan bahwa mereka yang menikah
juga dipanggil untuk menjadi kontemplatif, untuk menjadi suci dan
untuk melaksanakan kerasulan, di dalam dan melalui kehidupan
perkawinan mereka. Dia mengajar bahwa kehidupan kekeluargaan
berarti melewatkan waktu bersama, saling memperhatikan,
mendengarkan, belajar mengetahui apa yang disukai atau tidak
disukai oleh anggota yang lain, dan siap untuk memaafkan terlebih
dahulu. Pater Josemaria juga mengajar mereka bahwa cinta sejati
dalam perkawinan harus terbuka untuk menerima anak-anak yang
diberikan oleh Allah; katanya lagi bahwa cinta yang “menghambat
sumber kehidupan”, hanyalah suatu keegoisan. Mereka yang
menikah mendapatkan bantuan dari Sakramen yang istimewa
beserta rahmat sakramentalnya, untuk memenuhi panggilannya.
Menurut Pater Joemaria, mereka yang menerima panggilan
dari Allah untuk mendedikasikan dirinya pada Tuhan, berhutang 90%
dari panggilan itu kepada orang tua mereka karena asuhan dan
didikan yang telah mereka berikan. Dia memastikan agar tidak ada
anggota Opus Dei yang melalaikan tanggung jawab mereka terhadap
orang tua dan keluarga mereka, dan senantiasa berhubungan dengan
mereka bahkan jika kebutuhan kerasulan atau situasi lainnya
memisahkan mereka. Pada akhir tahun 1941, Pater Josemaria
bertanya kepada seorang anggota muda Opus Dei yang orang tuanya
dikucilkan ke Algeria pada akhir Perang Saudara Spanyol, “Kapan
41
terakhir kali kau menulis surat kepada orang tuamu?” “Kira-kira satu
setengah bulan yang lalu, Bapa,” jawab anak muda itu. Pater
Josemaria berkata kepada anak muda itu dengan tegas bahwa tidak
seharusnya dia membiarkan orang tuanya sedemikian lama tidak
menerima kabar darinya, karena dalam keadaan mereka itu
menerima surat dari putra mereka adalah salah satu dari sedikit
kegembiraan yang mereka dapat nikmati. Dan, tambahnya, “Pergilah
dan tulislah surat sepanjang sepuluh lembar, ditulis depan dan
belakang, untuk orang tuamu sekarang juga.”
Kerasulan dengan imam-imam projo
Pater Josemaria selalu mempunyai kasih dan keprihatinan yang besar
terhadap imam-imam projo, dan dia juga menyadari bahwa
panggilan untuk mencari kekudusan melalui pekerjaan keseharian
yang merupakan inti dari Opus Dei, dapat menjadi panggilan bagi
para imam projo seperti semua orang, karena pelayanan imamat
mereka adalah pekerjaan keseharian yang harus mereka kuduskan
dan melaluinya mereka dapat menemukan Allah. Para imam yang
menerima dan menanggapi panggilan baru ini mendapatkan
penguatan dalam panggilan utama mereka sebagai seorang imam
dan tidak ada pertentangan kesetiaan: Opus Dei memberikan
dukungan dan bimbingan yang memungkinkan mereka menghargai
dengan lebih penuh nilai dari kesatuan mereka dengan Uskup
mereka. Pater Josemaria melewatkan banyak waktu bersama para
imam projo yang menemuinya di Roma atau dalam perjalanannya.
Pater Josemaria memiliki visi yang sangat luas. Pandangannya
akan kegiatan-kegiatan Opus Dei diperuntukkan bagi orang-orang
dari segala jalan hidup, bagi umat Kristiani lainnya dan mereka yang
memeluk iman yang lain atau tak beriman. Sebagian besar dari
orang-orang ini tertarik oleh pesannya dan mendapatkan bahwa
tanpa bergabung dalam Opus Dei, mereka juga mempunyai peran
masing-masing dalam Opus Dei. Mereka menjadi sahabat-sahabat
dan ko-operator Opus Dei yang setia di seluruh dunia.
42
Pater Josemaria dengan Paus Paulus VI di Centro ELIS, Roma, 21 Nopember 1965
43
Bekerja di negara-negara baru
Pater Josemaria mulai memperkembangkan Opus Dei dengan giat,
dan mengutus anggota-anggota Opus Dei untuk mendirikan centercenter di hampir semua negara di Eropa Barat, termasuk Italia,
Portugal, Inggris dan Irlandia; di Amerika Utara, Tengah dan Selatan;
kemudian di Kenya, Jepang, Australia, Filipin dan Nigeria. Dia
mengutus mereka hanya dengan bekal sedikit uang, karena dia
sendiri tidak mempunyai uang, dan mereka harus menunjang diri
mereka sendiri, seperti orang-orang awam lainnya, melalui pekerjaan
mereka, dan berkatnya serta sebuah patung Bunda Maria. Dia
senantiasa mengikuti perkembangan mereka dengan seksama, dan,
sambil memberikan mereka tanggung kawab penuh serta kebebasan,
dia juga tidak putus-putusnya mendukung dengan menyemangati,
memberi nasihat dan berdoa bagi mereka. Kadang-kadang Pater
Josemaria sendiri yang berinisiatif mengutus anggota-anggota Opus
Dei untuk memulai karya kerasulan di negara baru; dan kadang
karena menanggapi undangan dari Uskup-uskup di berbagai negara
untuk melaksanakan kegiatan-kegiatan Opus Dei di keuskupan
mereka.
Doa dan pekerjaan harian
Pater Josemaria berhasil mewariskan visinya yang luas itu kepada
putra-putrinya, sehingga mereka juga merasakan keprihatinan untuk
memperbaiki kondisi kehidupan di negara-negara yang mereka
datangi. Seperti dirinya, tidak menjadi halangan bagi putra-putrinya
untuk memulai dengan cara yang paling sederhana. Apa yang paling
penting selalu adalah hubungan mereka sendiri dengan Allah,
melalui doa dan pekerjaan harian mereka. Oleh sebab itu, sebelum
melakukan proyek skala besar, mereka memulai dengan kerasulan
pribadi melalui dan dalam pekerjaan mereka yang dilandasi dengan
persahabatan dan contoh yang baik. Dengan dorongan dan panduan
Pater Josemaria, mereka menyajikan pandangan Kristiani dalam
menanggulangi masalah-masalah yang mereka temui, seperti
44
kemiskinan, pengangguran dan tidak memadainya pendidikan.
Dengan bantuan banyak orang, mereka memulai berbagai proyek
sosial dan pendidikan untuk membantu orang-orang yang
digolongkan sebagai “yang merugikan”, tetapi yang Pater Josemaria
lihat sebagai orang-orang yang memiliki martabat sebagai anak-anak
Allah. Proyek-proyek tersebut, walaupun berbeda satu dengan
lainnya, semuanya difokuskan untuk mendayakan orang-orang untuk
menyadari bahwa semua Kristiani dipanggil oleh Allah untuk menjadi
kudus, dan kekudusan ini didapati dalam pemenuhan dengan setia
tugas dan kewajian harian dalam kehidupan bekerja mereka.
Satu proyek yang dapat dia ikuti dari dekat adalah Centro Elis,
yang adalah sekolah pembinaan teknis di daerah perkampungan
Roma yang memberikan ketrampilan dan kualifikasi bagi pekerja
tangan. Di Meksiko, anggota Opus Dei, dengan bantuan banyak
orang, mengelola sebuah perkebunan yang sudah terbengkelai dan
sangat luas yang bernama Montefalco, menjadi tempat pembinaan
di daerah pedesaan, dimana para petani, yang kebanyakan adalah
orang-orang Indian Meksiko dibina dalam kecakapan pertanian dan
juga ketrampilan pekerjaan rumah tangga dan merawat anak.
Semuanya ini tidak pernah mereka dengar sebelumnya namun
adalah sesuatu yang sangat diperlukan. Di Peru, proyek yang serupa
didirikan dan disebut Canyete. Di Kenya, Pater Josemaria
menekankan bahwa sekolah yang dimulai oleh anggota Opus Dei
bersama dengan kawan-kawan mereka haruslah tidak rasis,
walaupun ketika itu jauh sebelum kemerdekaan Kenya. Alhasil,
pembaharuan ini menimbulkan tidak sedikit pertentangan. Pater
Josemaria mendorong anak-anak rohaninya untuk menangani
kesulitan-kesulitan yang mereka hadapi dengan keberanian yang
lahir dari mengetahui bahwa mereka melakukan kehendak Allah;
seperti yang ditulisnya dalam Jalan (733), “Percayalah selalu akan
Allahmu. Dia tidak terkalahkan dalam pertempuran” dan, “Yesus,
apapun yang Kau inginkan, saya sukai!” (773).
45
Jalan Salib
Keberaniannya dalam menghadapi penderitaan dan kemampuannya
dalam membantu orang lain untuk melihat dan menjalani
penderitaan dengan semangat adikodrati adalah hasil dari cinta
kasihnya yang besar terhadap Sengsara Tuhan dan SalibNya. Sejak
awal dari pelayanan imamatnya Pater Josemaria sering memberikan
buku mengenai Sengsara Tuhan pada orang lain untuk dibaca, agar
dengan merenungkan apa yang diderita oleh Kristus bagi umat
manusia, mereka dapat belajar mencintaiNya dengan lebih baik dan
mengikuti langkah-langkahNya. Pada awal 1960an dia menulis
renungan atas Perhentian-perhentian Jalan Salib untuk membantu
anggota Opus Dei menghayati devosi Jalan Salib. Setelah wafatnya,
renungan ini diterbitkan dan ditambah dengan tulisan-tulisannya
yang lain, diberi judul Jalan Salib.
Perjalanan
Tidak puas dengan mengirim bantuan dan dorongan dari Roma,
Monsignor Escriva, demikian dia dikenal pada saat itu, menghabiskan
tahun-tahun terakhir dari hidupnya dengan melakukan perjalanan
kerasulan ke negara-negara lain, ditemani, seperti biasa, oleh Don
Alvaro, untuk mengunjungi para putra-putri Opus Dei-nya dan
bertemu dengan orang-orang yang tertarik pada kerasulan mereka.
Dia melewatkan musim panas selama lima tahun berturut-turut , dari
1958 hingga 1962, di Inggris, demi dapat bekerja dengan lebih keras
di tempat yang iklimnya lebih sejuk dari pada di Roma di bulan
Agustus. Namun, dia tidak membiarkan kesibukan pekerjaannya
menghalanginya untuk bertemu dengan sebanyak mungkin putra
dan putri rohaninya, dan juga teman-teman dan ko-operator Opus
Dei. Katanya kepada mereka bahwa dia sangat menghargai
kebinekaan budaya dari London yang merupakan “persimpangan
dunia” yang harus mendorong mereka untuk melakukan kerasulan
yang membuahkan dengan orang-orang yang berasal dari berbagai
kebangsaan yang ditemui disana. Dia juga menyebut beberapa
46
contoh kehalusan rancangan arsitektur yang telah dilihatnya di
beberapa bagian dari kota itu.
Alasan selanjutnya dari perjalanannya adalah cinta kasihnya
bagi Gereja. Banyak dari perjalanannya itu adalah ziarah pertobatan
yang sering berkisar seputar gua-gua Maria untuk memohon
pengampunan Allah akan dosa-dosa, dan berdoa untuk keperluan
Gereja. Beribu-ribu orang datang untuk mendengarkan dia dan
bertemu dengannya, dalam kelompok besar atau kecil atau secara
individu, dan dia selalu berbicara kepada mereka mengenai
kebenaran iman yang mendasar, seperti yang telah dilakukannya
sepanjang hidupnya, menjelaskan nilai dari pekerjaan, kebutuhan
manusia
akan
Sakramen-sakramen,
terutama
Sakramen
Pengampunan dosa; arti dari perkawinan dan kehidupan
kekeluargaan, dan tanggung jawab umat Katolik untuk menyebar
iman dan saling membantu dalam mempraktekannya. Dia berbicara
dengan penuh semangat ketika membela Gereja, dan tidak segan
untuk membicarakan Salib, pengurbanan dan matiraga.
Tema yang tidak jemu-jemunya dibicarakan adalah ketulusan.
Dia mengatakan bahwa pertama-tama kita harus tulus terhadap diri
sendiri dalam pemeriksaan batin dan mengakui apa kesalahan kita
dan mengapa kita melakukannya. Dia menggaris bawahi kepentingan
untuk bertulus hati dalam percakapan dengan Allah, agar membuat
doa menjadi percakapan dari hati ke hati yang sejati dan bukannya
percakapan yang formal dan anonim. Dan juga kita harus sungguhsungguh tulus dalam Pengakuan dan bimbingan rohani, berani untuk
berbicara dengan jelas mengenai apa kesalahan kita tanpa
menyembunyikan atau menutupi sesuatupun, memberi alasan, atau
membenarkan diri. Ini adalah dasar ketulusan dan kebenaran yang
sejati dalam kehidupan seseorang dan hubungannya dengan orang
lain. Ini semua adalah pembukaan diri untuk memperlihatkan
caranya sendiri dalam pendekatan iman dan kehidupan rohani, dan
menganjurkan orang lain untuk melakukan apa yang baginya adalah
sesuatu yang tak ternilai.
47
Walaupun beberapa dari pertemuan ini dihadiri oleh sejumlah
besar orang, pribadinya yang hangat dan, lebih lagi, cinta kasihnya
yang terlihat dengan nyata bagi Allah dan bagi mereka secara
individu, membuat setiap orang merasakan bahwa pertemuan itu
adalah suatu percakapan yang ramah dan pribadi. Dalam tanya
jawab yang dilontarkan, hadirin dapat merasakan humornya yang
terus menerus. Ini adalah ciri khas utamanya yang terpancarkan dari
kesadarannya bahwa dia berada dihadirat Allah Bapanya. Dia
memberikan dirinya dengan tanpa lelah selama perjalanan itu, sama
seperti yang dilakukannya di rumahnya, dan dorongan serta
apresiasinya menjadi bantuan yang besar bagi kerasulan yang sedang
dilakukan oleh para putra-putri rohaninya di Opus Dei dengan
teman-teman dan ko-operator mereka, di negara-negara yang
dikunjunginya.
Sesudah melakukan dua minggu kunjungan yang padat dan
sibuk ke Amerika Tengah dan Selatan di Februari 1975, Monsignor
Escriva kembali ke Roma dan melanjutkan kerja keras kerutinannya
setiap hari yang termasuk menemui orang-orang yang datang
mengunjunginya dari seluruh dunia. Dia berbicara dengan mereka
mengenai keprihatinan mereka, menyemangati mereka untuk
memusatkan kehidupan mereka pada Kristus dalam aneka situasi
kehidupan mereka. Dia selalu mendorong mereka untuk mendekat
pada Bunda Maria, dan membimbing mereka memperlakukannya
sebagai “Bunda Allah dan Bunda kita juga”, dan dia juga berbicara
dan menulis mengenai Bunda Maria sesering mungkin. Dia juga
berbicara dengan terus menerus mengenai mencintai, mendukung
dan mematuhi Bapa Paus.
Dalam tugas memimpin dan mengarahkan Opus Dei, dia
mendapat bantuan dari dewan yang terdiri dari anggota senior Opus
Dei, termasuk Alvaro del Portillo. Sejak awal mula Opus Dei, Pater
Josemaria
menetapkan
bahwa
pengelolaannya
haruslah
permusyawarahan, yaitu keputusan atas organisasi dan
perkembangan Opus Dei serta kerasulannya tidak pernah
berdasarkan keputusan perorangan – bahkan dirinya sendiripun
48
Pater Josemaria dalam pertemuan di Altoclaro, Venezuela, 10 Februari, 1975
49
tidak – melainkan melalui perundingan dan kesepakatan, setelah halhal itu dipelajari dengan seksama.
Wafatnya Pater Josemaria
Pada tanggal 26 Juni 1975, suatu hari kerja seperti hari-hari lainnya,
Pater Josemaria meninggal dengan tiba-tiba di Roma karena
serangan jantung. Mereka yang bersama dengan dia melihat bahwa
hal terakhir yang dilakukannya dengan sadar adalah melayangkan
pandangannya pada gambar Bunda Maria dari Guadalupe yang
berada di ruang kerjanya.
Pater Josemaria berusia tujuh puluh tiga tahun ketika dia
meninggal. Walaupun dalam kehidupannya ada bagian yang
merupakan ceritera petualangan, namun bagian terbesar dari
kehidupannya adalah kehidupan yang begitu sunyi dan sederhana
yang dapat terlihat membosankan bagi siapa saja yang tidak
memahami kedalamannya. Kehidupannya adalah pesannya dan
pesannya adalah pentingnya memberikan cinta ke dalam kehidupan
harian, ke dalam hal-hal biasa yang sering tidak terperhatikan kecuali
oleh Allah. Seperti yang ditulisnya di dalam Jalan (817), “Kekudusan
yang besar terdiri dari melaksanakan tugas-tugas kecil di setiap saat.”
Ulang tahun kelahirannya yang keseratus, 9 Januari 2002, adalah
suatu peringatan bahwa umat Kristiani biasa dalam setiap abad
dikasihi oleh Allah dan dipanggil secara khusus untuk mencintaiNya
dengan segenap hati.
Josemaria Escriva dibeatifikasikan oleh Paus Yohanes Paulus II
pada 17 Mei 1992, dalam upacara yang dihadiri oleh tiga ratus ribu
orang dari berbagai negara.
Paus Yohanes Paulus II memproklamirkannya sebagai seorang
santo sepuluh tahun kemudian, pada 6 Oktober 2002, di Lapangan
Santo Petrus, di Roma, dihadapan orang banyak. Dalam homilinya
pada kesempatan itu, Sri Paus berkata: “Ikutilah jejak kakinya dan
sebarkanlah ke dalam masyarakat kesadaran bahwa kita dipanggil
untuk menjadi kudus, tanpa perbedaan suku, kelas, kebudayaan
maupun usia.”
50
JOSEMARIA ESCRIVA
oleh Helena Sco & Ethel Tolansky
Dilahirkan enam puluh tahun sebelum Konsili Va kan Kedua,
Josemaria Escriva tumbuh di Spanyol yang poli knya dak stabil,
dimana Gereja berjuang untuk berdialogue di dalam dunia yang
berubah dengan pesat. Buku kecil ini melacak perjalanan Pater
Josemaria dari masa kecilnya dan tragedy keluarga, perjuangan
panggilannya dan perang saudara hingga penemuan pribadinya,
tugas yang cukup revolusioner untuk mengajar orang-orang,
orang-orang awam biasa, bagaimana menemukan Tuhan dalam
pekerjaan mereka. Kita lihat keberanian, kebaikan dan keaslian
Pater Josemaria, dan kontribusi ramalannya yang tertuju pada
kepenuhan kerasulan semua orang yang telah dibap s, yang
mana membantu dalam persiapan Konsili. Dia dinyatakan sebagai
seorang santo oleh Bapa Paus Yohanes Paulus II pada 2002.
Untuk kalangan sendiri
(Tidak untuk dijual)
Descargar