Modos rurales de representación y gestión de - unesdoc

Anuncio
DOCUMENTO DE TRABAJO QE
PUEILOS Y PLANTAS - NOVIEMBRE DE 1998
Esta colección de documentos de trabajo
responde a la doble voluntad de informar
y de generar un debate
fructífero sobre temas
fundamentales
relacionados con el uso
sostenible y equitativo de
los recursos vegetales.
Puede remitirse todo
comentario sobre el
presente documento o
cualquier sugerencia
para números futuros
Modos ruralesde
representacióny gestión de
IOS sistemasagrosilvícolas
en
la periferia del ParqueNacional
Kerinci Seblat,Sumatra,
Las denominaciones e ilustraciones que figuran en esta publicación no entrañan juicio alguno por
parte de la UNESCOacerca del estatuto jurídico de ningún país, territorio, ciudad o región o de sus
respectivasautoridades, como tampoco acerca del trazado de sus fronteras o límites. Las opiniones
expresadasen este documento habrán de atribuirse exclusivamente al autor, sin que la institución
donde éste trabaja ni la UNESCOdeban suscribirlas necesariamente.
Señasdel autor:
Yildiz Aumeeruddy
Laboratoire de Botanique - Université de Montpellier II
163, rue Auguste Broussonnet
34000 Montpellier - Francia
Fotografías: Thierry Thomas
Ilustración de cubierta: Yildiz Aumeeruddy
Publicado en 1998 [a partir del original francés de 19941por la Organización de
las Naciones Unidas para la Educación, la Ciencia y la Cultura,
UNESCO,7 Place de Fontenoy, 75352 Paris CEDEX 07 SP.
Impreso por Publicaciones de la UNESCO sobre papel reciclado sin cloro.
Editora de la colección: Alison Semple
Diseño y compaginación: Ivette Fabbri
Traducción del original inglés al castellano: Oriol Canals
Compaginación de la traducción castellana: Eric Frogé
Referencia recomendada:Aumeeruddy, Y. (1998). Modos rurales de representación y gestión de los
sistemas agrosilvícolas en la periferia del Parque Nacional Kerinci Seblat, Sumatra, Indonesia.
Documentos de trabajo de Pueblosy Plantas, no 3. París, UNESCO.
Esta publicación existe igualmente en francés e inglés.
M
representación
,,,,--+‘“,“I--
y
,-“’
~-gestión de los sistemas
agrosilvícolas en la periferia del
Parque Nacional Kerinci Seblat,
Indonesia
Ringkasan
Resumen
Daerah sekeliling Taman Nasional dan
hutan-hutan lindung merupakan daerah
persengketaan antara pengelola konservasi dan penduduk setempat. Walaupun
imbalan yang bersifat ganti rugi mungkin
telah dipertimbangkan dalam bentuk
proyek pengembangan,namun pengelola
daerah-daerah perbatasan ini harus
berhadapan dengan berbagai perbedaan
pandangan, cara penyampaian, serta
sistem pemanfaatan sumber-sumber.
Pekerjaan yang disajikan dalam makalah
ini mencoba mengkaji perbedaan-perbedaanpendapattersebut di atas di daerah
Kerinci, suatu lembah yang dikenal
sebagai daerah pertanian, berpenduduk
300.000 jiwa, dikelilingi oleh Taman
Nasional Kerinci Seblat, daerah lindung
seluas 15 000 km2. Untuk membatasi
desakanterhadapTaman Nasionalini, para
petugas konservasi bermaksud mengembangkan usaha pertanian tanah perhutanan (agroforestri), dinamik-dinamik
agroforestri dikaji dari segi cara penggambaran, kelayakan dan eksploitasi
sumber-sumber yang ada dalam masyarakat Kerinci. Tinjauan historis tentang
evolusi pertamanan agraris mulai dari
permulaan abad ini menunjukkan bahwa
pengembangan pengelolaan pertamanan
agraris mempunyai pengaruh yang kuat
terhadap eksport, terutama kayu manis
(Cinnamomum burmani).
Suatu analisa tentang gambaran
dunia tumbuh-tumbuhan berdasarkan
pada pengetahuan botani dan gambarangambaran simbolik, serta evolusi dalam
pemakaian tanaman-tanaman dari waktu
ke waktu memperjelas kerangka pengetahuan yang berkenaandenganetnobotani
Abstract
The zones surrounding parks and forest
reserves are the sites of many conflicts
between conservation managers and
local populations. Although economic
compensation may have been envisaged
in the form of development projects,
management of these peripheral zones
encounters the problem of divergence
between conservation managers and
village communities in their perceptions, modes of representation and
systems of appropriating resources. The
work presented in this paper examines
these divergencesin Kerinci, an agrarian
valley with approximately 300 000
inhabitants that is encircled by Kerinci
Seblat National Park, a protected area of
some 15 000 km 2. As the conservation
authorities intend to develop agroforestry to limit pressure on the park,
agroforestry dynamics were examined
from the perspective of the modes of
representation,
appropriation
and
exploitation of resources in Kerinci
society. An historical overview of the
evolution of the agricultura1 landscape
from the beginning of this century
shows the impact on the agricultura1
landscape of the development of export
crops, particularly cinnamon (Cinnamomum burmani).
An analysis of representations of
the plant world is based on botanical
knowledge and symbolic representa-
Modos
nas periféricas de los parques y
reservas forestales son escenario de
numerosos conflictos entre las autoridades gestoras y las poblaciones
autóctonas. Aunque se prevean compensaciones económicas en forma de
proyectos de desarrollo, la gestión de
esas zonas plantea problemas ligados a
la disparidad de las percepciones, los
modos de representación y los sistemas
de apropiación de los recursos entre los
responsables del área protegida y las
comunidades campesinas. El presente
documento estudia estos modos divergentes de representación en el contexto
concreto del Kerinci, valle agrícola de
unos 300.000 habitantes enclavado
dentro del Parque Nacional Kerinci
Seblat, un espacio protegido de alrededor de 15.000 km2. Teniendo en
cuenta que los organismos de protección concibieron en su día el desarrollo
de la agrosilvicultura como mecanismo
para contener la presión sobre el
parque, este trabajo tiene por objeto
examinar las dinámicas(o agroforestales) desde la perspectiva de los modos
de representación, apropiación y explotación de los recursos propios de la
sociedad kerinci.
En primer lugar, un breve repaso
histórico de la evolución del paisaje
agrario desde principios de siglo sirve
para poner de manifiesto el impacto que
ha tenido sobre dicho paisaje el
desarrollo de los cultivos destinados a la
exportación, especialmente el de la
canela (Cinnamomum burmani).
DOCUMENTOS DE TRABAJO DE PUEBLOS Y PLANTAS, N” 3, NOVIEMBRE DE 1998
rurales de representación
y gestión de los sistemas agrosilvicolas
en la periferia
del Parque Nacional Kerinci Seblat, Sumatra, Indonesia. - YILDIZ AUMEERUDDY
1
dan etnoekologi yang merupakan dasar
dari praktek-praktek agroforestri yang
dibahas di sini. Pengertian setempat
mengenaikeanekaragamanhayati berbeda
dalam aspek-aspektertentu dengan pergertian para ilmuwan-ilmuwan dan naturalis. Pengertian seorang petani kecil
tentang konservasialam memperlihatkan
suatu hubungan yang mantap antara
hutan, mata air dan sawah,dalam konteks
perhatian terhadap pengaturan air untuk
kebutuhan-kebutuhanpenghidupan.
Mengingat akan keterbatasantanah
pertanian yang disebabkan oleh keberadaanTaman Nasional,dinamik-dinamik
agroforestridi daerahKerinci menunjukan
suatu kecenderunganuntuk menjadikan
sistem-sistem agroforestri berlangsung
sepanjangtahun terutama karenakendalakendala dalam perluasan tanah. Sebuah
contoh,yang diteliti di kampung Semerap
menunjukkan bagaimanalapisan-lapisan
pertanian tanah perhutanan (agroforests)
dibentuk dibawah kontrol kolektif tanahtanah di lereng bukit. Sementaraperlindungean terhadap lereng-lereng bukit
yang ditutupi kayu-kayuproduktif dipertahankan, biasanyapenguasasetempatjuga
melindungi pembaharuan ekologis dari
sistem yang terdapat pada tanah-tanah
kurang subur. Di kampung-kampunglain,
pertanian tanah perhutanan (agroforests)
berkembangdari sistem rangkaian siklus
pergantian tanaman kayu dan tanaman
tahunan, menuju sistem agroforestriyang
berlangsung sepanjang tahun yang
mengintegrasikanhasil bumi ekspor- kopi
dan kayu manis - bersamadengansejumlah kayu-kayuhasil hutan lainnya.
Perintis pertama penanaman kayu
manis secara monokultur adalah para
petani dalam usaha memberi tanda-tanda
perbatasansebagaireaksiterhadapdesakan
Taman Nasional atas tanah pertanian
mereka.Intensifikasiagroforestridi daerah
ini pada waktu yang akan datang hanya
mungkin kalau pengetahuanpribumi dan
cara-cara penggambaran lingkungan
diketahui oleh para pengelolakonservasi,
bersama dengan hak para penduduk
setempat untuk ikut aktif berpartisipasi
dalam prosespengambilankeputusanatas
l3
pengembanganyang akan datang.
2
tions, and the change in the use of
plants over time highlights the framework of ethnobotanical and ethnoecological knowledge that underlies the
agroforestry practices examined here.
The indigenous perception of biological
diversity differs in certain ways from
that of scientists and naturalists. The
farmer’s conception of nature conservation establishes a relationship
between forests, springs and rice fields,
becauseof the need to manage water to
meet subsistencerequirements.
Taking into account the limits on
agricultura1 land imposed by the park,
the dynamics of agroforestry in Kerinci
show a tendency for agroforestry
systems to be made perennial as
constraints on land grow. An example
studied in the village of Semerap shows
how multi-layer agroforests are established under collective control of
hillside lands. While ensuring that dense
and productive tree cover is maintained
on hillside lands, customary authority
also ensures the ecological renewal of
the system, which lies on poor soils. In
other villages, the agroforests are
evolving from systemsof alternate cycles
of tree crops and annyal crops, to
perennial agroforestry systems that
integrate export crops - coffee and
cinnamon - in association with a large
number of forest tree species.
The pioneer fronts of cinnamon
monoculture are a farmer’s way of
marking territory in reaction to the
limits on accessto land imposed by the
park. Future intensification of agroforestry in these zones will only be
possible if the indigenous knowledge
and modes of representation of the
environment are recognised by conservation managers, along with the
right of the local population to active
participation in the process of making
decisions about future developments. C*
DOCUMENTOS DE TRABAJO DE PUEBLOS Y PLANTAS, N” 3, NOVIEMBRE DE 1998
Modos rurales de representación
y gestión de los sistemas agrosilvicolas
en la periferia
del Parque Nacional Kerinci Seblat, Sumatra, Indonesia.
YILDIZ AUMEERUDDY
A continuación, un análisis de las
representaciones del mundo vegetal
basado en los conocimientos botánicos,
las representaciones simbólicas y la
evolución del uso de las plantas a través
del tiempo arroja luz sobre el conjunto
de saberes etnobotánicos y etnoecológicos indígenas que subyace a las
prácticas agroforestales aquí descritas.
La visión indígena de la diversidad
biótica difiere en ciertos aspectos de la
concepción que de ella tienen los
científicos y los naturalistas. El concepto de protección de la naturaleza de los
campesinos se caracteriza por un estrecho vínculo entre la selva, las fuentes y
los arrozales, reflejo de la preocupación
por una gestión del agua compatible con
las necesidadesde subsistencia.
Dada la escasezde tierras agrícolas
que impone la presencia del parque, la
dinámica agroforestalde Kerinci muestra
tendencia a la continuidad de los
sistemas agrosilvícolas, sobre todo allí
donde más se deja sentir la escasezde
tierras. El ejemplo de la aldea de
Semerapmuestra la forma en que se han
implantado sistemasagroforestalespluriestratificados en un contexto marcado
por un control colectivo sobre las tierras
de las colinas. En esa aldea, la autoridad
tradicional asegura la permanencia de
una cubierta arbórea densa y productiva
en las laderasdel valle, velando al mismo
tiempo por la renovación ecológica del
sistemasituado en tierras mas pobres.En
otras aldeas los sistemas agroforestales
evolucionan, pasando de sistemas que
alternan ciclos de cultivos arbóreos y
cultivos anuales a sistemasagrosilvícolas
permanentes en cuyo seno conviven los
cultivos de exportación -cafetales y
canelos- y un gran número de especies
arbóreasforestales.
Las nuevas tierras agrícolas dedicadas al monocultivo del canelo son un
modo de señalización del territorio por
el cual los campesinos responden a las
condiciones de acceso impuestas por la
presencia del parque. La futura
intensificación de la agrosilvicultura en
esas zonas dependerá de que las autoridades del parque reconozcan los
conocimientos y modos de representación del medio ambiente propios de
los indígenas, junto al derecho de éstos
a participar activamente en los procesos
decisorios que afecten a la evolución
.:.
futura de la zona.
Indice
Introducción
6 Presentación general de Kerinci
El Parque Nacional Kerinci Seblat
El valle de Kerinci
Característicasfísicas
Historia del asentamiento humano.
Organización social y administrativa
La agricultura
El tránsito de la agricultura de rozas y quema a
los sistemas agrosilvícolas:síntesis histórica
Paisajeagrario actual
El cultivo del arroz
El canelo: principal cultivo de exportación
14 La protección del medio natural
considerada desde la óptica de
las representaciones locales
Los antepasados,la selva, las fuentes,
los ríos y el cultivo del arroz
El ejemplo de un bosque de propiedad comunitaria
Polivalencia del árbol en las explotacionesagrícolas
Arboles que señalizan el territorio
Evolución de los usos
La biodiversidad desdela óptica del campesino
21 Sistemas agrosilvícolas de Kerinci:
fundamentos y dinámicas
Elementos metodológicos para el estudio de
los sistemasagrosilvícolas
Sistemasagroforestalesbásicamentefrutícolas.
La gestión de un recurso raro y frágil: el suelo
Flexibilidad de los sistemas de cultivo que contienen canelos
32 Dinámica agrosilvícola en Kerinci
Disponibilidad de tierras y presión demográfica
Influencia del tipo de gestión de los recursos (privada o
colectiva) sobre la evolución de las técnicas agrosilvícolas
Relación entre vías de comercialización y dinámica
agrosilvícola
35 Conclusiones
Agradecimientos
Referenciasbibliográficas
41 Anexos
Plantas útiles de la selva patrimonial de Temedak,en Keluru
Plantas de los sistemasagrosilvícolaspelak de Jujun y Keluru
Algunos ejemplos de la diversidad de Rutaceaey Zingiberaceae
utilizadas en Kerinci
Modos
DOCUMENTOS DE TRABAJO DE PUEBLOS Y PLANTAS, N” 3, NOVIEMBRE DE 1998
rurales de representación
y gestión de los sistemas agrosilvícolas
en la periferia
del Parque Nacional Kerincí Seblat, Sumatra, Indonesia.
YILDIZ AUMEERUDDY
3
Introducción
El gobierno de Indonesia y las ONG ecologistas
internacionales preconizan la creación de sistemas
agrosilvícolas en las zonas de amortiguación que
rodean parques y reservas (Wind y Prins, 1989;
Hadisepoetro, 1991; Blough y Siregar, 1985;
Santiapillai, 1991). EI objetivo primero de este
trabajo, emprendido a solicitud del Departamento
de Conservación del Ministerio de Bosques
indonesio (PHPA) y del WWF-Indonesia, consistía
en evaluar las posibilidades agrosilvícolas del valle
de Kerinci y estudiar la medida en que el desarrollo
de sistemas agroforestales alrededor del Parque
Nacional Kerinci Seblat podría contener la
intrusión agrícola en tierras selváticas y la
utilización excesiva de productos forestales.
El interés que suscitan los sistemas agrosilvícolas tradicionales de las regiones tropicales
húmedas obedece a su reproductibilidad a nivel
ecológico y socioeconómico (Steppler y Raintree,
1983; Hallé, 1985; Alexandre, 1989; Nair, 1989). Las
tradiciones y los conocimientos prácticos de los
campesinos se caracterizan por la incorporación del
árbol al sistema agrícola, asociado a una gran
diversidad de especies vegetales, una solución a
primera vista más apta para las regiones tropicales
húmedas que las propuestas de la Revolución Verde
(Janzen, 1973; Bergeret, 1977; Tiollier, 1984). Los
fundamentos socioeconómicos de los sistemas
agrosilvícolas tradicionales confieren a tales
sistemas una gran viabilidad, gracias sobre todo a la
flexibilidad que permite su gestión y a su capacidad
de acomodarse al mercado internacional sin dejar
por ello de suministrar muchos productos de
primera necesidad (Harwood, 1979, Mary, 19871989). Nadie pone en duda actualmente el valor que
para la conservación in-situ de la naturaleza
revisten los sistemas agroforestales, que permiten
conciliar la protección de la biodiversidad y el
mantenimiento y desarrollo de las sociedades
(Alcorn, 1984; Altieri y Merrick, 1987, Foresta y
Michon, 1991).
Algunos estudios realizados en la periferia de
masas forestales protegidas de Sumatra, concretamente en las provincias de Lampung y Sumatra
Oeste, demuestran que los cinturones de sistemas
agrosilvícolas dotados de una estructura de tipo
forestal y de una gran diversidad de especiespueden
DOCUMENTOS DE TRABAJO DE PUEBLOS Y PLANTAS, N” 3, NOVIEMBRE DE 1998
Modos rurales de representación
y gestión de los sistemas agrosilvícolas
en la periferia
del Parque Nacional Kerinci Seblat, Sumatra, Indonesia. - YILDIZ AUMEERUDDY
convertirse en sustitutos adecuados de las extensiones puramente forestales (Michon y Bompard,
1987; Michon et al., 1989). A la vista del ritmo de
crecimiento demográfico, parece inevitable que las
masas forestales devengan progresivamente jardines
agrosilvícolas. Sin embargo, dada la política de
conservación que se aplica en los parques y reservas,
tal perspectiva no parece viable. La posibilidad de
una intensificación de las actividades agrosilvícolas
que tenga en cuenta las dinámicas agrarias locales
exige previamente un estudio detallado a nivel
microrregional. Por otro lado, como señala Sayer
(1991), ninguna solución agrosilvícola de naturaleza
estrictamente técnica resultaría viable, pues las
zonas periféricas de los parques y reservas son
escenario de numerosos conflictos y tensiones y
plantean, amén de cuestiones ligadas a la intensificación agrosilvícola, problemas de orden ético.
El mantenimiento de las zonas forestales con
estatuto de reserva natural, parque recreativo,
parque nacional, etc. es una de las soluciones que
contemplan científicos y ecologistas para preservar
espacios supuestamente intactos, representativos de
la gran riqueza biótica que atesoran las selvas
tropicales. Sin embargo, para las poblaciones que
viven alrededor y dentro de los parques y reservas,
la selva es fuente de vida y parte constitutiva (salvo
pára poblaciones inmigradas) de un teryitorio
comunitario bien delimitado cuyos orígenes se
remontan muy lejos en el tiempo. La aldea ejerce
sobre ese territorio un control basado en modos de
apropiación y utilización de los recursos que se
rigen por leyes comunitarias. Cuando se adscribe el
territorio a un área protegida se priva de acceso al
mismo a la población autóctona. Es sabido hoy en
día.que un modo de gestión de las reservas basado
únicamente en un sistema de leyes, prohibiciones y
vigilancia no es capaz de resolver los inevitables
conflictos de intereses que se plantean entre las
poblaciones autóctonas y las autoridades responsables de la protección. A partir de los años 60, y
ante el recrudecimiento de ese tipo de conflictos, la
actitud de los responsables empezó a cambiar. La
celebración de la Conferencia de la Biosfera de la
UNESCO (1968) alumbró la idea básica de que la
protección de los recursos naturales debía ser
paralela a un uso de los mismos beneficioso para el
Hombre (Batisse, 1982). Desde entonces, muchos
autores han subrayado la necesidad de prestar
atención a las consecuenciassocioeconómicas de la
creación de parques y reservas (MacKinnon, 1981;
McNeely y Miller, 1982; Oldfield, 1980; Sayer, 1991;
Wells et al., 1992).
Más que el problema de las compensaciones
económicas, los espacios protegidos suscitan el de
la profunda discrepancia entre las percepciones, los
modos de representación y los sistemas de
apropiación de los recursos con los que trabajan las
autoridades gestoras y los propios de las comunidades locales (Machliss y Trichnell, 1985; Zube,
1986, Weber y Reveret, 1993). De lo que se trata
pues es de examinar en cada caso las dinámicas
agroforestales desde el punto de vista de los modos
de apropiación y explotación de los recursos propios
de la sociedadafectada.
Una situación de esta índole es la que se
estudia en un trabajo de tesis doctoral
(Aumeeruddy, 1993) centrado en Kerinci, valle
agrícola enclavado dentro del Parque Nacional
Kerinci Seblat, en Sumatra Central’(Figura 1). Más
concretamente, se analiza la dinámica agrosilvícola
en el contexto de las limitaciones que el parque
impone al crecimiento de las tierras agrícolas.
Recurriendo a los métodos analíticos de la
etnociencia, se estudian en dicho trabajo las
representaciones, los conocimientos y los usos
tradicionales del medio vegetal natural y agrícola.
(La etnociencia, disciplina que estudia las categorías semánticas indígenas [Conklin, 19541,
examina también, desde una perspectiva histórica,
los conocimientos
y técnicas populares
[Haudrocourt y Hédin, 19871, intentando restituir
las clasificaciones y la jerarquización del saber
indígena en el marco de las representaciones
simbólicas [Lévi-Strauss, 1962; Descola, 19861.)
Para esa investigación se adoptó una óptica dual:
por un lado, el análisis de las actitudes, representaciones, conocimientos y modos de apropiación
y explotación del entorno por parte de la sociedad
en estudio; por otro lado, un análisis científico de
los ecosistemas que los habitantes manipulan, de
los elementos que integran tales ecosistemas y del
fundamento de ciertas prácticas (categorizaciones
de los ecosistemasy los tipos de vegetación, análisis
florístico y estructural de los sistemas agrosilvícolas, ecología, etc.). Esta doble metodología
permite comparar el análisis científico con la lógica
campesina que rige la explotación del medio. Los
sistemas de representaciones son sistemas de
valores y de clasificación, construcciones simbólicas propias de cada sociedad que configuran su
interpretación del medio natural. Las formas de
explotación (agricultura, pesca, caza, recolección,
etc.), destinadas a satisfacer necesidadesvitales y de
reproducción social, guardan una relación de tipo
dialéctico con los sistemas de representaciones,
esto es, se basan en los sistemas de representaciones y al mismo tiempo influyen sobre ellos
(Friedberg, 1992).
La síntesis de los resultados que aquí se expone
pretende aportar elementos de reflexión y propuestas concretas a las estrategias de protección de
la naturaleza que se aplican en Kerinci y, de manera
más general, a la gestión de las áreas periféricas de
espacios protegidos en regiones tropicales
húmedas.
Los resultados de la investigación, fruto de la
colaboración multidisciplinar de un antropólogo,
un socioeconomista y dos botánicos, se exponen en
diversos informes elaborados por los miembros del
equipo (Savouré, 1990; Aumeeruddy, 1992, 1993;
Fedensieu, 1992; Sansonnens, 1992, 1994).
0
DOCUMENTOS DE TRABAJO DE PUEBLOS Y PLANTAS, No 3, NOVIEMBRE DE 1998
Modos rurales de representación
y gestión de los sistemas agrosilvícolas en la periferia
del Parque Nacional Kerinci Seblat, Sumatra, Indonesia.
YILDIZ AUMEERUDDY
5
\L.j\
tipos de selva representadosen su interior esta ligada
‘\, a la gran variación altitudinal de la región (entre 300
y 3.800 metros). Sólo faltan en el Parque los bosques
de llanura de baja altitud (~300 m).
En 1929, el gobierno colonial prohibió la tala y
el.pastoreo’en las selvas de Kerinci, disposición que
más tarde iba a ‘prorrogar el gobierno indonesio. En
1982, reconociendo“la importancia biológica y
\,
económica de esas selvas, la FAO propuso un
“xX,programa para reforzar su estatuto de espacio
“‘s,protegido.Las razones aducidas por !a FAO (1982) se
‘\
resumen en las siguientes:
Con una superficie de 14.847 km2, el Parque Nacional
O- L&liversidad de hábitats (lagos y ecosistemas de
Kerinci Seblat forma actualmente la mayor zona
riberaì’bosques de colina de baja y media altitud,
continua de selva primaria que existe en Sumatra.
bosques,submontanos y montanos y --bpsques
Sus 345 km de longitud corren paralelos a la
hidrofíticos),
cordillera volcánica de los Barisan, que corta la isla de
0 El tamaf$,o de la reserva, que constituye una
sureste a noroeste (Figura 1). La gran diversidad de
importante zona de refugio para numerosas espechs
\
~,animales en peligro de extinción
\ (rinocerontes de Sumatra, tigres,
cabras salvajes de Sumatra,
^ *
‘.\ tapires, elefantes, etc.).
\ 0 Su importancia para
::--,la protección de la red
Figura 1. Situación del valle y
hidrográfica de
del Parque Nacional Kerinci Seblat.
\
I*
_
El ParqueNacionalKerinci%’
:
\,
Seblat
6
DOCUMENTOS DE TRABAJO DE PUEBLOS Y PLANTAS, N” 3, NOVIEMBRE DE 1998
Modos rurales de representación
y gestión de los sistemas agrosilvícolas
en la perifel
del Parque Nacional Kerinci Seblat, Sumatra, Indonesia. - YILDIZ AUMEERUDDY
los mayores ríos del sur de Sumatra y, con ello, para
el riego de millones de hectáreasde tierra agrícola.
Este espacio constituye el parque nacional
(Taman Nasional) más extenso de Indonesia, y la
tercera zona forestal -en términos de tamañoprotegida del archipiélago (las otras dos gozan sólo
del estatuto de reserva natural, o SuakaAlam). En su
interior se yergue uno de los picos más altos del
archipiélago indonesio, el Monte Kerinci, un volcán
activo cuyo pico se encuentra a 3.805 m de altitud.
El estatuto de Parque Natural, del que goza desde
1991, confiere a esta zona un valor único para la
conservación de los bosques de Sumatra y del
conjunto del archipiélago indonesio. El refuerzo de
dicho estatuto que introdujeron las nuevas leyes
indonesias sobre la protección de la naturaleza (Ley
5 de 1990) trajo consigo la aplicación de programas
de desarrollo y protección integrados, con apoyo a
nivel internacional. En junio de 1990 se instaló en
Sungai Penuh, la principal ciudad del valle, una
oficina del WWF (proyecto WWF-Indonesia no 3.941)
que colabora en la gestión del Parque con la
delegación local del Departamento de Conservación
del Ministerio de Bosques (PHPA). En el marco del
programa del Fondo para el Medio Ambiente
Mundial, el Banco Mundial ha iniciado en Kerinci un
programa piloto de protección de la biodiversidad.
El valle de Kerinci
Caracteristicasfisicas
‘- _ rI
_*
“i I’_”
Situado a 780 m de altitud, enclavado entre
montañas, con 80 km de longitud por.unos 10 km de
anchura, este valle goza de un clima suave
(temperatura medía anual de 23%) y de
un régimen pluviométrico anual
medio de 2.500 mm,
con una
estación secaalrededor de julio y agosto (pluviosidad
mensual inferior a 100 mm). Sus rasgos más
sobresalientes son la gran llanura aluvial, la
presencia del lago Kerinci (41 km2) al sur y,
dominando el valle desde su extremo norte, la del
Monte Kerinci (Fotografías 1,2, 3 y 4). Las vertientes
laterales del valle principal ofrecen en primer plano
un paisaje de pequeñas colinas, prolongadas a lo
lejos por relieves más abruptos.
Entre los variados tipos de suelo que tapizan el
valle destacanlos siguientes:
0 En ambos extremos, suelos volcánicos de gran
riqueza, fruto de la actividad volcánica más reciente.
0 En las vertientes laterales, suelos montañosos
pobres (inceptisoles y ultisoles poco fértiles) con una
delgada capa de tierra arable, muy vulnerable a la
erosión en caso de fuerte pendiente.
0 Llanuras de toba ácida situadas alrededor del valle
Merangin.
0 Tierras aluviales en el lecho del valle.
Historia del asentamiento humano.
Organizaciónsocial y administrativa
Ciertos estudios palinológicos han detectado rastros
de presencia humana de una antigüedad aproximada
de 4.000 años, testimonio de una perturbación de los
bosques causada por la actividad del hombre. La
presencia de restos arqueológicos del neolítico
corrobora tal extremo (Morley, 1980; Schnitger,
1989).
Durante el periodo de dominio holandés, el
pueblo kerinci era famoso por su carácter
independiente y su reticencia a dejarse administrar
por los neerlandeses.Aunque en 166O”sefirma ya un
primerltr&do entre los’holandesesy los habitantes
‘de Ke$rci para el comercio de oro, la población’no
claudicó ni cedió a la administración holandesahasta
1903, tras una encarnizada guerra contra las fuerzas
expedicionariasenviadasa la región. A resultas
de sucesivas oleadas migratorias
procedentes de las
aledañas, el valle presenta una organización social
heteróclita, mezcla de los rasgos matrilineales
propios de la región minangkabau de la costa
occidental y de los sistemas indiferenciados de la
provincia de Jambi (Watson, 1984, 1991). La
organización de tipo matrilineal privilegia el linaje
femenino en todo lo que respecta a la transmisión
Fotografía
2. Pescadores de la aldea de Jujun a su regreso del lago Kerinci.
Fotografía
3. El lago Kerinci (41 km2), situado en la zona meridional
del valle.
hereditaria de bienes, el nombramiento de los jefes
dinásticos, la propiedad de las tierras, las reglas de
residencia, etc. Los sistemas indiferenciados, por el
contrario, se caracterizan por la ausenciade linaje, la
transmisión de bienes de forma indistinta a hombres
o mujeres, el reconocimiento de un grupo de
antepasadoscomunes y la presencia de jefes de grupo
de origen común. Pese a tal heterogeneidad, la
identidad cultural es fuerte: los habitantes se
denominan a sí mismos orang Kerinci (hombres de
Kerinci) y reconocen el derecho consuetudinario
(hukum adat) kerinci. La autoridad tradicional
regula distintos ámbitos de la vida social, entre ellos
el matrimonio, las reglas de residencia y los sistemas
de parentescoy herencia (Watson, 1992).
Cada aldea de Kerinci poseesu propio territorio
(wilavah), que comprende arrozales y tierras en las
colinas. Estas últimas, cuya gestión y apropiación
dependen de la autoridad tradicional, se dividen en
tierras agrícolas y tierras forestales. En Kerinci, los
arrozales son tierras de propiedad colectiva sobre las
que los habitantes no poseen más derecho que el de
usufructo. De ahí que no puedan venderse.Las tierras
de las colinas, en cambio, se otorgan a los habitantes
mediante simple solicitud de éstos a los jefes
tradicionales. Toda parcela de selva talada y cultivada
por un habitante de la aldea dentro del territorio
comunitario pertenecepor derecho a esa persona. Se
trata pues de una propiedad privada, aunque la
autoridad tradicional se reserva el derecho de
fiscalizarla, especialmenteen el caso de tierras abandonadas, que la colectividad podrá en tal
circunstancia recuperar (Watson, 1992). De todas
formas, la situación no es homogénea en todo el
valle, pues ciertas tierras de colina pertenecen en
ocasiones a la comunidad, como veremos más adelante en el caso de la aldea de Semerap.El sistema de
propiedad de las tierras puede variar sensiblemente
de una a otra aldea, lo que a su vez influirá sobre el
sistema de cultivo que elija el campesino, sobre las
posibilidades de compraventa de terrenos y sobre la
conversión de tierras forestales.
El valle está adscrito administrativamente al
departamento de Kerinci (kabupaten Kerinci), el 60
% de cuyo territorio queda dentro del Parque
Nacional, mientras que el restante 40% corresponde
a tierras agrícolas (Figura 2). Con cerca de 300.000
habitantes y una tasa de crecimiento del 2,2%
(Kerinci Dalam Angka, 1988), un rápido cálculo
permite predecir que, abstracción hecha de las
posibles pérdidas o ganancias ligadas a movimientos
migratorios, la población del valle se habrá duplicado
en un plazo de veinte años. Dada la creciente escasez
de tierras cultivables, no es de extrañar que una
parte de los jóvenes ansíe dejar el valle. Por otra
parte, el aumento del nivel de estudios ha movido a
algunos jóvenes a abandonar la agricultura y
emigrar. Entre los inmigrantes que arriban
espontáneamente a Kerinci figuran muchos
campesinospobres en busca de trabajo como obreros
agrícolas o aparceros. Atraídos por el desarrollo
agrícola, acuden asimismo a instalarse numerosos
comerciantes. La importancia de estos flujos
migratorios constituye, hoy por hoy, un enigma.
Figura 2. Uso de las tierras en el departamento de Kerinci.
’
--- LIMITEe~LDEP~~~~Me~~
@ LAGQ
-
0
m
aun
a
CARRETERAS
VALLE AGRICOtA
ENCLAVEAGRICOL4 ILEGAL
PARQUENACIONAL
ARROZAL
Fotografía 4. Pequeño pueblo de pescadores en la ribera del lago Kerinci,
con vista de un mosaico de jardines de tipo ladang en las colinas.
Laagricultura
En la actualidad, la subsistencia de nueve de cada
diez familias de Kerinci depende de la agricultura,
sin la menor duda la principal actividad productiva
del valle (Kerinci Dalam Angka, 1988). Las
actividades agrícolas más importantes son el cultivo
de arroz bajo inundación (que se practica
básicamente en el lecho del valle) y la plantación de
árboles con fines comerciales (en las laderas de las
colinas).
El tránsito de la agricultura de rozas y
quema a los sistemas agrosilvícolas: síntesis
histórica
Según rezan las crónicas de exploradores ingleses que
visitaron Kerinci durante el siglo XIX (Marsden,
1975; Kathirithamby Wells, 1986), la agricultura de
entonces se caracterizaba por cultivos sobre rozas
quemadas alternados con barbechos forestales,
paralelamente al cultivo de arroz bajo inundación en
el lecho del valle. Como atestigua el relato de
Campbell (Marsden, 1975), que alude al consumo de
carne de ciervo, pato salvaje, paloma verde, codorniz
y numerosas especiesde pescado,los productos de la
caza ocupaban un lugar de importancia en la dieta
local.
De las estadísticas del gobierno colonial (van
Aken, 1915) se deduce que en la costa oeste se
vendían muchos productos forestales procedentes de
Kerinci, en especial resinas y ratanes.
El desarrollo de cultivos arbóreos con fines
comerciales (café, canela, caucho) cobró un auge
considerable a partir de los años 20, facilitado por la
carretera que los holandeses construyeron entre el
valle y el puerto de Padang y por la modernización de
los propios intercambios comerciales (Watson,
1984). El desarrollo de los cultivos de exportación
contó siempre con apoyo oficial, primero del
gobierno colonial y más tarde del gobierno
indonesio.
Ello trajo consigo la plantación de árboles de
vocación comercial en las tierras desbrozadas,lo que
a su vez determinó la perpetuación de la agricultura.
El paisaje agrario de Kerinci devino entonces un
mosaico de cultivos arbóreos. La implantación de
cultivos arbóreos perennes no dejó de tener
repercusiones, sobre todo en forma de conversión de
tierras forestales: por una parte, los campesinos
tuvieron que desbrozar nuevas parcelas de selva para
cultivar en ellas los productos de la agricultura de
rozas y quema necesarios para la alimentación local;
por otra parte, los sistemas impositivos instaurados
por los holandeses propiciaron una mayor
circulación de moneda, creando nuevas y mayores
necesidades que indujeron a su vez una
10
DOCUMENTOS DE TRABAJO DE PUEBLOS Y PLANTAS, Nn 3, NOVIEMBRE DE 1998
Modos rurales de representación
y gestión de los sistemas agrosilvícolas
en la periferia
del Parque Nacional Kerinci Seblat, Sumatra, Indonesia. - YILDIZ AUMEERUDDY
intensificación de los cultivos orientados a la venta
(Belsky, 1991). La tierra cobró valor y empezó a ser
objeto de numerosas transacciones. Ello originó
profundas transformaciones sociales en Kerinci, en
especial la acumulación de bienes raíces en manos de
campesinos ricos, de acuerdo con una lógica que
elevaba la propiedad privada a categoría
fundamental. Por lo demás, Schrieke (1955) observó
ya en los años 50 una regresión de los sistemas de
solidaridad agrícola y un uso cada vez más frecuente
de aparceros.
Todos esos cambios tuvieron profundos efectos
sobre el ritmo de conversión forestal. Tras una
primera ola de deforestación a principios de siglo, y
recuperado ya el país de las sucesivas guerras que
hubo de sufrir (II Guerra Mundial, ocupación
japonesa, Guerra de Independencia), durante los
años 70 se produjo una segunda fase de extensión de
las plantaciones de árboles destinados a alimentar las
exportaciones (Watson, 1984). Los años 70
corresponden a un periodo de notable bonanza
económica en Indonesia, que coincidió con la subida
del precio del petróleo y se alargó hasta 1982 (Rice,
1991). Por otro lado, durante el periodo de vigencia
del segundo plan quinquenal (Repelita II: 1974-78)
se construyeron
en Indonesia importantes
infraestructuras viarias, a la vez que los bancos
ofrecían notables facilidades crediticias.
Paisajeagrario actual
Los tres principales sectores agrícolas del
departamento (kabupaten) son: el cultivo de arroz
bajo inundación (17% de las tierras agrícolas), que se
localiza básicamente en el lecho del valle; cultivos
arbóreos orientados la venta (77%), situados en las
colinas; y cultivos anuales (6%), básicamente en la
región de Kayu Aro (Scholz, 1983). En las colinas se
aplican sistemas de cultivo que alternan asociaciones
de cultivos perennes, principalmente cafeto (Cofia
canephora var. robusta) y canelo (Cinnamomum
burmani), con cultivos anuales (p.e. tabaco, patata,
cebolla o tomate). Es lo que se denomina sistema
m,
que entraña una fase de cultivo sobre tierra
quemada y que podría calificarse de sistema
agrosilvícola rotatorio, con ciclos arbóreos de una
duración de entre 8 y 25 años. Existen igualmente
plantaciones perennes de árboles, que asocian en una
misma parcela a una gran variedad de especies de
edad y longevidad muy dispares. Estos sistemas se
caracterizan por el carácter perenne de la cubierta
arbórea y por la relativa infrecuencia del paso por
una fase inicial de quema. Esos jardines silvícolas,
que suelen dar cabida a un alto porcentaje de
especiesforestales útiles, se conocen en Kerinci con
el nombre de Q&&. Jardines familiares de pequeñas
dimensiones rodean a veces las viviendas. Se trata de
zonas de horticultura intensiva, con numerosas
especiesde plantas tuberosas, bananos (asociadosen
ocasiones con árboles frutales) y cocoteros. Esos
jardines familiares reciben el nombre de halaman.
El canelo: principal
cultivo de exportación
El cultivo del arroz
El canelo, el cafeto, el hevea [árbol del caucho] y el
clavo son los árboles que se cultivan en Kerinci con
fines de exportación. Aunque durante la primera
mitad de siglo el café constituyera el principal
producto de exportación, su cultivo fue cediendo
paso poco a poco al del canelo.
El canelo es un árbol de los bosques
submontanos de Malasia (Heyne, 1922), Camboya,
Vietnam y el archipiélago indonesio (Dr.
Kostermans, 1992, com. pers.). Suele crecer con
facilidad en suelos drenados y emplazados a una
altitud de entre 800 y 1,500 metros. Según dicen los
Según Scholz (1983), el 85% de los arrozales
inundados se irrigan mediante sistemas muy
sencillos. Se trata en su mayor parte de arrozales
situados en las zonas de bajío, alimentados
únicamente por las aguas pluviales durante la
estación de las lluvias (Fotografía 5). Un pequeño
porcentaje de los arrozales inundados se asienta
sobre terrazas, en zonas que gozan de una red
hidrográfica generosa. En el valle de Merangin se
utilizan ruedas de agua para transportar el agua
Fotografia5. IJna
mujer
trabajando en un vivero de arroz.
El cultivo de arroz bajo inundación
se reallza en 1:er‘renos planos
aluviales.
W~“’
S:
desde los ríos hasta los arrozales. El cultivo de arroz
de secano, poco frecuente en Kerinci, se concentra
básicamente en el sudeste del lago, en la región de
Muak, ,y en el valle de Merangin.
En 1983, Scholz estimabaque en sólo una quinta
parte de los arrozales se aplicaba un sistema de doble
cultivo, ya fuera con dos ciclos sucesivos de nuevas
variedades de arroz de ciclo corto o con un ciclo de
arroz y otro de cultivo intercalado de hortalizas. En el
80% restante crecían variedadesclásicas de arroz de
ciclo largo, que deparaban una sola cosecha anual.
Desde entonces, sin embargo, y a raíz del programa
piloto de intensificación de los arrozales que dio
comienzo en 1983, la situación viene cambiando con
rapidez (Ampt-Riksen y van de Ven, 1992). En los
últimos diez años numerosas aldeas han modificado
parcialmente sus sistemasde cultivo arrocero, y tales
cambios no han tocado todavíaa su fin.
En suma, y teniendo en cuenta los cambios
ocurridos en los últimos años, es difícil evaluar la
proporción de variedades clásicas (de ciclo largo) y
variedades mejoradas (de ciclo corto) que conviven
en el conjunto de arrozales de Kerinci.
campesinos de Kerinci, el cultivo de canelos a
pequeña escala, e incluso también la explotación de
ejemplares silvestres, viene practicándose en el valle
desde hace mucho tiempo. En los años 70, el
equivalente de un 63% de la canela de Sumatra
provenía ya de Kerinci, lo que hacía de esta región
uno de los principales centros exportadoresde canela
del archipiélago (Rismunandar, 1989).
Para extraer la corteza del canelo es preciso talar
previamente el árbol (Fotografía 6), que por otro
lado suele rebrotar con facilidad. Aunque a partir de
los 5 años de edad el árbol ya está maduro para la
recolección de su corteza, el campesino puede
esperar hasta 25 años antes de explotarlo, siempre
que no necesite dinero con urgencia. Los precios de
venta de la corteza oscilan en función de la posición
del fragmento en el tronco, y aumentan
proporcionalmente a la edad del árbol (Fotografía 7;
Cuadro 1).
Este holgado margen de maniobra con respecto
al periodo de recolección explica la gran diversidad
que presentan en Kerinci los modos de explotación
del canelo. En función de su estrategia agrícola
DOCUMENTOS DE TRABAJO DE PUEBLOS Y PLANTAS, N” 3, NOVIEMBRE DE 1998
Modos rurales de representación
y gestión de los sistemas agrosilvícolas en la periferia
del Parque Nacional Kerinci Seblat, Sumatra, Indonesia. - YILDIZ AUMEERUDDY
ll
general, los campesinos eligen distintas densidades
de plantación, distintas asociaciones con otras
especiesy distintos periodos de rotación (Savouré,
1990). Mientras esperan que la canela madure, la
presencia de cafetos u otros árboles o la de cultivos
anuales les garantizan un mínimo de ingresos.
De 1983 a 1990, el precio de la canela vendida
en Kerinci aumentó desde 350 rupías/kg (precio del
arroz = 115 rupías/kg) hasta 2.700 rupíaslkg (precio
del arroz = +/- 600 rupías/kg). Esta subida equivale a
un aumento relativo del 50% entre 1983 y 1990.
Semejante incremento explica el auge de la
plantación de canelos, que no hizo más que
Fotografía 6. Los canelos son talados antes de
extraer su corteza.
Cuadro 1. Espesory origen de
las distintas categorías de
corteza de canela.
CAT.
PARTE DEL ARBOL
ESPESOR
(MM)
KM
TRONCO (25 AÑOS)
KF
TRONCO (18-25 AÑOS)
5-10
3-5
RAMAS (>25 AÑOS)
KA1
TRONCO (15-18 AÑOS)
2.5-3
RAMAS (>20 AÑOS)
KA
TRONCO (8-l 5 AÑOS)
1.5-2.5
RAMAS (15 AÑOS)
Cuadro 2. Evolución de la superficie plantada de canelos
(en hectáreas)entre 1966 y 1972.
(Fuente: Rismunandar, 1989)
AÑO
12
PROVINCIA
DEPARTAMENTO
DEPARTAMENTO
SUMATRA OESTE
KERINCI
SUR TAPANULI
TOTAL
1966
7 598
5 950
641
14 189
1967
8 437
5 950
643
15 057
1968
19 601
6 327
550
26 478
1969
9 012
17 727
550
27 289
1970
6 554
23 336
650
30 540
1971
6 852
24 000
558
31 410
1972
?
27 534
?
?
DOCUMENTOS DE TRABAJO DE PUEBLOS Y PLANTAS, No 3, NOVIEMBRE DE 1998
Modos rurales de represenfación
y gestión de los sistemas agrosilvícolas en la periferia
del Parque Nacional Kerinci Seblat, Sumatra, Indonesia.
YILDIZ AUMEERUDDY
KB
RAMAS (TODAS EDADES)
KC
RAMAS Y RAMITAS
1
acentuarse durante los años 70, cuando los
monocultivos de clavo fueron diezmados por la
Sumatra Disease, enfermedad bacteriana que ataca
el sistema radicular del árbol. El gobierno indonesio
había realizado importantes campañaspara fomentar
el cultivo del clavo durante los años 50 y 60. Según
Belsky (1991), en las aldeas del norte del valle
algunos campesinosposeíanmás de 1.000 árboles del
clavo, que fueron sustituidos por canelos. El cultivo
del clavo se reduce hoy a unos pocos árboles
dispersose integrados en sistemasagroforestales.
En los años 70, Estados Unidos importaba más
del 65% de la canela indonesia, lo que a la sazón
representabaunos ingresos para Indonesia del orden
de 5 millones de dólares (Ardha, 1974). Esa canela se
destina básicamente a las industrias farmacéutica,
cosmética y alimentaria, en especial a la fabricación
de Coca-Cola.
El Cuadro 2 muestra la evolución de la superficie
plantada de canelos en Sumatra entre 1966 y 1972
(Rismunandar, 1989). Entre 1984 y 1989, la
superficie plantada de canelos en Kerinci creció en
6.000 hectáreas (Cuadro 3). El cuadro siguiente
(Cuadro 4) da una idea de la importancia relativa (en
términos de superficie) de los distintos cultivos
0
orientados a la venta que existen en Kerinci.
Cuadro 4. Uso del suelo en Kerinci por sectores de actividad agrícola.
(Fuente: BAKOSURTANALy BAPPEDA,1990)
Cuadro 3. Evolución de la superficie
plantada de canelos y de su producción en
el departamento de Kerinci entre 1984 y
1988. (Fuente: Kantor Perdagangan
Kabupaten Kerinci)
USO DE LA
SUPERFICIE
PORCENTAJERESPECIO
DEL
TIERRA
(HECTAREAS)
TOTAL DE TIERRASDEL
DEPARTAMENTO
ARROZALES
ALDEASYCONSTRUCCIONES
CANELA
AÑO
SUPERFICIE
PRODUCCION
(HECTAREAS)
(TONELADAS)
CAFÉ
25075
2 135
5,97
0,51
107300
28,41
12 588
3,00
1984
36 673
5 116
CANELA-CAFÉ
6865
1,63
1985
36 766
5 737
TE
2620
0,62
1986
36 806
6 025
MEZCLADE CULTIVOS
3625
0,87
1987
40 608
11 515
1988
41 625
13 011
1989
42 577
13 01
CAUCHO
CULTIVOS ANUALES
TIERRA NO CULTIVADA
PANTANOS
LAGOS
Fotografía 7. Las cortezas de canela se clasifican
según la posición que ocupaban en el árbol y la
edad dela corteza.
SELVA
550
0,13
7 773
1,85
27847
6,55
670
0,16
5 140
1,22
205797
49,00
La protección
de1medio natural considerada
desdela óptica de
las representacioneslocales
Losantepasados,la selva,
las fuentes,los,ríos y el
cultivo del arroz
El análisis de las representaciones de la selva y de
otros elementos cardinales del paisaje (montañas,
fuentes, lagos y ríos) ayuda a esbozar una primera
aproximación al sistema de valores sobre el que
reposan, en esta región, las relaciones entre el ser
humano y la naturaleza.
Según refiere la tradición oral, los primeros
hombres que arribaron a Kerinci andaban a la
búsqueda de una tierra donde las fuentes siempre
manaran, aun durante la estación seca, y tal era la
imagen que de esta región montañosa tenían los
habitantes de la costa occidental. La búsqueda de
tierras donde cultivar arroz bajo inundación era, en
efecto, una de las preocupaciones básicas de aquellos
inmigrantes, venidos de una región donde esa
técnica de cultivo gozabaya de gran difusión.
De hecho, las laderas del valle de Kerinci
abundan en riachuelos cuya fuente se oculta en el
interior de las frondosas montañas. Las leyendas de
Kerinci evocan un periodo en que el lago cubría todo
el lecho del valle. Abstracción hecha del ámbito de lo
legendario, es obvio que las condiciones geomorfológicas del valle (con abruptas escarpaduras, una
gran cuenca fluvial y un lecho muy plano) son
efectivamente propicias a las inundaciones.
DOCUMENTOS DE TRABAJO DE PUEBLOS Y PLANTAS, N”3, NOVIEMBRE DE 1998
Modos rurales de representación
y gestión de los sistemas agrosilvicolas
en la periferia
del Parque Nacional Kerinci Seblat, Sumatra, Indonesia. - YILDIZ AUMEERUDDY
En Kerinci, según Verstappen (1973), la
deforestación ha ido acentuando los fenómenos de
inundación: torrentes crecidos, muy caudalosos,
arrastran hacia el fondo del valle los suelos, cuya
erosión se ve facilitada por la deforestación. Una vez
en la llanura, los sedimentos se depositan en los ríos,
reducen su caudal y levantan obstáculos que
dificultan sobremanera el drenaje.
No se sabe con certeza si los primeros moradores del valle eran conscientes de la relación
existente entre deforestación, inundación y dificultad
de gestión de los arrozales. Hoy en día, los habitantes
de Kerinci otorgan una gran importancia a las
fuentes (hulu air), que consideran lugares sagrados
(keramat, sakti). Saben que una gestión óptima del
agua exige conservar y proteger las zonas situadas
aguas arriba, lo que a un tiempo asegura un
abastecimiento regular y ayuda a controlar el riesgo
de inundación.
A través de mitos y leyendas que refieren
uniones míticas entre hijas del bosque y los primeros
colonizadores de la región (véase Recuadro 1) se
revela una de las primeras formas de apropiación del
medio forestal.
Este mito fundacional, que reaparece con
algunas variantes en la mayoría de las aldeas del
valle, sitúa la morada de aquellas mujeres en la cima
de las montañas. De esta manera los habitantes
ganaron simbólicamente acceso al agua, un recurso
vital para la producción de arroz.
Por otra parte, arrogándose la condición de
nietos de aquellos seres sagrados (orang sakti /
keramat) que son los ti,
los habitantes de Kerinci
se vinculan a su nueva tierra. En lo sucesivo se
representarán la selva como el hogar de sus difuntos
antepasados,que residen en él junto a los habitantes
nativos del lugar.
En las representaciones locales de la naturaleza
se estableceasí una filiación entre los antepasados,la
selva, las fuentes, los ríos y los arrozales.
En la práctica se observan hoy numerosos
indicios que dan fe de esta preocupación por
preservar las fuentes y, en términos más generales,
las zonas situadas aguas arriba:
l Ciertos tabús prohiben talar los bosques alrededor
de las fuentes y las resurgencias.
l En ciertas aldeas donde el suministro de agua es
escaso debido a la poca entidad de la red hidrográfica, hay que proteger la vegetación que flanquea
los ríos, al igual que se protege la selva en lo alto de
las colinas y en las laderasdemasiadoabruptas.
l En el centro de tierras agrícolas se conservan
selvas de propiedad comunitaria, situadas por lo
general en las pendientes de las cuencas que
alimentan los principales riachuelos de la aldea.
1. Historia de Putri IWuning Dayang Gadis
y Segindo Kuning
Crbnica referida por Rapak Hadji Riffaudin en Jujon, octubre de 1990.
rSegindo Kuning, nativo de Pagar Ruyung, del país minangkabau, lleg6 al
emplazamiento actual de la aldea de Jujun muchoantes de que ningún otro
habitante se estableciera en el lugar.
Instaló su campamento en la desembocaduradel río Jujun. Un día, mientras se
aseaba,recogib del río un limón (limau purut) que la corriente había arrastrado
hasta allí. Otro día recogió un segundo limón, esta vez cortado por la mitad.
Aquel hallazgo le produjo gran turbación, pues las mujeres usan con frecuencia
los limones para lavarse el cabello. Aquello significaba que había una mujer
aguas arriba. Al tercer día encontró un nuevo limón, largo y ovalado...
Convencido de la existencia de esa mujer, resolvió partir en su búsqueda.
Decidió remontar el río hasta su fuente en dirección de la selva virgen (rimba
~!y& siguiendo el curso del río Jujun. Atravesó así selvas “espesas” jamás
holladas por hombre alguno.
Un día, desfallecido tras 30 jornadas de dura caminata, dio en tenderse bajo
una gran higuera, un kavu aro rimbun daun (higuera de follaje denso).
Acudió entonces a su sueño una mujer de gran belleza llamada Putri Muning
Dayang Gadis, quien le anunció que no estaba lejos de la fuente donde ella
moraba.
Segindo Kuning despertó y, despuésde lavarse,prosiguió su camino.
Llegó a la fuente muy fatigado, y se sentó para descansar.Entonces oyó una
voz que venía acompañada de un perfume muy suave y le conminaba a
regresar al árbol donde había dormido. De vuelta a dicho lugar, el árbol había
desaparecido y encontró en su lugar su canasto de bambú con los tres limones
que había olvidado. Regresó a la fuente y allí permaneció durante 30 días,
con la esperanza de encontrar a la mujer. Transcurrido ese tiempo, oyó de
nuevo la voz de Putri Muning, pidiéndole que buscara junto a la fuente un
limón cortado en dos pedazos. Tomó el limón y se lavó con él. Putri Muning le
pidió entonces que construyera un puente entre él y la cima de la montaña
donde ella se encontraba. “iCómo hacer tal cosa?“, preguntó Segindo
Kuníng. “Tú estás ahí arriba, tranquilamente instalada en la higuera, y no veo
forma de llegar hasta ti”. Ella le pidió entonces que lanzara el limón largo y
ovalado que encontrara en la desembocadura del río Jujun, y arrojó al mismo
tiempo hacia él un limón pequeño y redondo. El encuentro entre ambos
limones se convirtió en un puente de ratán que permitió a Segindo Kuning
llegar hasta Putri Muning. Se casaron y tuvieron muchos hijos . Así se fundó
la aldea de Jujun.»
El ejemplode un bosque
de propiedadcomunitaria
El bosque de Temedak, propiedad de la aldea de
Keluru, ilustra un modo de gestión de los recursos
naturales que permite comprender lo que los campesinosentiendenpor consentacióndel medio natural.
Se trata de un lugar sagrado en el que vivió uno
de los ancestros fundadores de la aldea. Es una selva
comunitaria cuyo control es responsabilidad de los
jefes consuetudinarios, que gestionan también la
explotación de sus recursos, abundantes y reveladores del provecho que los campesinos obtienen
aún hoy de la recolección de productos forestales
(Anexo 1). No está permitido talar árboles sin
autorización de la autoridad consuetudinaria, ni
poner a la venta producto alguno procedente de esa
selva. Pisotear esa zona puede ser castigado con una
multa, y el infractor obligado a replantar árboles. El
chamán detenta una gran autoridad sobre la vida
social del pueblo, pues tiene acceso a las plantas
medicinales (Fotografía 8) gracias al contacto que
mantiene con el espíritu ancestral de esebosque, que
se manifiesta en forma de tigre (Aumeeruddy y
Bakels, pronta publicación). Esa persona controla
asimismo las tierras de la aldea, y en calidad de
autoridad tradicional desempeña un papel de gran
importancia, sólo subordinado al del jefe de la aldea,
que representa a la administración indonesia. Sus
vínculos privilegiados con el bosque le confieren
indirectamente una gran autoridad para mediar en
los conflictos relativos a las tierras de colina o a la
asignación de las rotaciones de uso de las parcelas
arroceras. Por otra parte, y dado que el bosque se
encuentra en una colina flanqueada por sendos ríos,
que son los más caudalososdel territorio de la aldea,
los habitantes saben que su conservación redunda
igualmente en la protección de las aguas que
alimentan los arrozales del pueblo.
Así pues, el bosque comunitario cumple
simultáneamente:
Una función económica (productos múltiples).
Una función religiosa (conservación del vínculo
con el espíritu ancestral).
l Una función social a través del chamán, que goza
de gran ascendientesobre los habitantes.
l Una función medioambiental de la que son muy
conscientes los habitantes, a saber: la conservación
de la cubierta forestal para salvaguardarlas fuentes y
los ríos.
De este conjunto de funciones ligadas a la selva
nace la lógica que los campesinos aplican a la
conservación y la gestión de los recursos naturales.
La protección a largo plazo de esosrecursos depende
l
l
Modos
DOCUMENTOS DE TRABAJO DE PUEBLOS Y PLANTAS, No 3, NOVIEMBRE DE 1998
rurales de representación
y gestión de los sistemas agrosilvícolas en la periferia
del Parque Nacional Kerinci Seblat, Sumatra, Indonesia. - YILDIZ AUMEERUDDY
15
ratanes, fibras de palma, maderas de construcción,
bambús, etc. (Anexo 1). Las representaciones locales
no entrañan ninguna ruptura entre las actividades de
subsistencia, el vínculo espiritual que liga a los
hombres con sus ancestros y los usos sociales que de
ahí se derivan. Esta concepción integral de la gestión
del entorno está reñida con ciertos objetivos oficiales
de protección, en aras de los cuales se prohfbe a los
habitantes autóctonos penetrar en la selva y servirse
de sus productos.
La prohibición de utilizar las tierras forestales
debilita los lazos sociales que vinculan a los hombres
con la selva, y reduce el valor utilitario de ésta. El
bosque se convierte así en un recurso susceptible de
uso y abuso. La única forma de evitarlo sería
convertir los espacios protegidos en tierras útiles
para el campesino, que además debería controlar ,
parcialmente su gestión.
Como observa Watson (1991), en ausencia de
jefes de linaje o clan, los dukun (curanderos o
chamanes) intervienen de forma decisiva en la
organización de las sociedades de tipo indiferenciado. Ejercen de intermediarios ante el mundo
de lo ancestral, y ocupan por ello un lugar de
privilegio en la vida social de la aldea. Siendo los
habitantes del pueblo que mejor conocen la selva, los
dukun expertos en productos forestales deberían
constituir interlocutores o colaboradores privilegiados para las autoridades gestoras del parque.
Paraestablecerrelacionesde colaboraciónfecundas
con las comunidades autóctonas es preciso definir
cuáles son los interlocutores preferentes. En este
sentido, una comprensión cuanto mas exactamejor de
su organizaciónsocial permitirá identificar dentro de las
instituciones autóctonas a las personas con poder de
decisiónen todo lo tocantea la gestión de los recursos.
Fotografía 8. Un dukun (curandero o chamán) recogiendo plantas
medicinales en el bosque de propiedad comunitaria de la aldea de
Keluru.
de una gestión comunitaria cuyo control compete a
las instancias administrativas locales. Los campesinos no ignoran que la conservación de la selva
les reporta claros beneficios económicos, pues
extraen de ella numerosos productos útiles como
16
DOCUMENTOS DE TRABAJO DE PUEBLOS Y PLANTAS, No 3, NOVIEMBRE DE 1998
Modos rurales de representación
y gestión de los sistemas agrosilvícolas
en la periferia
del Parque Nacional Kerinci Seblat, Sumatra, Indonesia. - YILDIZ AUMEERUDDY
Polivalenciadel árbol en
las explotacionesagrícolas
Hay muchos árboles forestales que son incorporados
a las tierras agrícolas. Numerosas especiesforestales
útiles regeneran de forma espontáneaen los jardines,
en cuyo caso su presencia y crecimiento serán no
sólo protegidos sino favorecidos. Una encuesta
EI4 carácter
iOS
a lo iurp del tiempo la con
especies , cuyos uso shant
para a daptarse a
cutnbi&tes
de la sociedad.
1
realizada en los jardines agrosilvícolas de Jujun y
Keluru reveló que la mitad de las especies arbóreas
cuyo crecimiento se protege activamente son de
origen forestal y regeneran espontáneamente (Anexo
II). Múltiples son los usos que se dan a tales árboles,
entre otros: alimentario, técnico, medicinal y uso de
su madera como material de construcción. Entre los
árboles de uso alimentario figuran numerosos
frutales, leguminosas arbóreas (cuya semilla
representa una importante fuente alternativa de
proteínas en la dieta local) y otros árboles de los que
se extraen condimentos; De las especies frutales se
extrae también en ocasiones madera de construcción, por ejemplo el durian (Durio zibethinus) y
los Baccaurea sp. Su corteza puede poseer
igualmente propiedades medicinales, como ocurre
con la corteza de lawsat (Lansium domesticum) y la
de manggis (Garcinia mangostana). La realización
de un análisis diacrónico permite detectar los usos
principales de los árboles y comprender mejor el
papel que desempeñan actualmente en el paisaje
agrario. Hemos elegido centrarnos aquí en los
árboles destinados a un uso toponímico, esto es, cuya
función es la de marcar el espacio. Todo indica que
esta función es una de las razones de la integración
del árbol dentro de las explotaciones agrícolas.
Además de su papel de “jalones” o señalizadores de
límites, esos árboles ejercen, como veremos, muchas
otras funciones.
El carácter polivalente de los árboles ha
facilitado a lo largo del tiempo la conservación de
muchas especies,cuyos usos han evolucionado para
adaptarse a las necesidades cambiantes de la
sociedad.
Arboles que señalizan el territorio
9. Mangifera applanata Kosterm. (Anacardiaceae),
mango salvaje utilizado como jalón para señalizar las lindes
Fotografía
de la selva comunitaria
de Keluru.
Una gran duración o facilidad para la regeneración
En esta categoría se inscriben diversas
especiesforestales como Ficus sumatruna (kavu aro
lebar daun), Ficus benjumina (pohon beringin) o
Baccaurea javanica (kavu nasat berlantak emas), así
como numerosas especies de bambú. Hay otras
especies que es necesario plantar, dado que no
forman parte de la flora local. Tal es el caso, entre
otras, de Cordyline fruticosa (jeluang), Erythrina
variegatu (&&Q) e Hibiscus tifiuceus (pohon baru),
utilizadas para señalizar los límites de jardines por la
gran facilidad que presenta su reproducción a gran
escala mediante esquejes sujetos a estacas. Esos
árboles se caracterizan por el vistoso colorido de su
follaje o lo exuberante de su floración. Hibiscus
l
vegetativa.
El espacio rural abunda en nombres de lugares que
aluden a la presencia de determinados árboles que en
ellos hay o hubo.
Estudiando la toponimia de la aldea de Jujun,
Fedensieu (1992) comprueba que ciertos árboles
situados en’lugares clave delimitan la frontera con la
aldea vecina. La presencia de esos árboles guarda
relación con leyendas ligadas a las acciones de los
ancestros fundadores y a las aventuras de los jefes
tradicionales. El análisis de las distintas especiesque
ejercen de señalizadores (Aumeeruddy, 1993) pone
de relieve ciertos rasgos que las hacen especialmente
aptas para tal función:
Modos
DOCUMENTOS DE TRABAJO DE PUEBLOS Y PLANTAS, N” 3, NOVIEMBRE DE 1998
rurales de representación
y gestión de los sistemas agrosilvícolas
en la periferia
del Parque Nacional Kerinci Seblat, Sumatra, Indonesia.
YILDIZ AUMEERUDDY
17
tiliaceus es un árbol con hojas caducasasincrónicas,
que, al atravesar diversasfasesde coloración entre el
amarillo y el, naranja, resultan visibles a gran
distancia en cualquier época del año. Sus hojas
jóvenes tienen propiedades curativas; su corteza se
utiliza para la fabricación de correas y cordajes; y la
hoja se usa a menudo para envolver alimentos.
Algunos son árboles de un tamaño enorme, lo que
les confiere un valor utilitario particular (Fotografía9).
Ejemplo de ello pueden ser los siguientes:Mungifera
appZanataKosterm. (pohon nauh), mango salvajeque
da un fruto ácido muy apreciadoy presta su nombre a
muchos lugares del valle; Palaquium macrocarpum
(ti),
con un fruto muy aromático y de pulpa
cremosa; o Acrocarpus fraxinifolius (meluang), árbol
muy apreciado por su madera, idónea para la
fabricación de piraguas que se excavan en el propio
tronco. Dado su carácter eminentemente forestal,
estos árboles constituyen indicadores óptimos de la
apropiación de tierras en explotaciones agrícolas,
donde su presenciano puedepasarinadvertida.
Especies a las que la leyenda atribuye carácter u
origen antropomórfico. La carga simbólica de tales
especies deriva en general de sus numerosos usos
económicos o sociales. Los dos árboles más destacados en este sentido son la palmera de azúcar,
Arenga pinnata (enau / aren) y la areca o betel, Areca
catechu (pm).
Los bambús pueden entrar
asimismo en esta categoría de especies de gran
interés económico y social a las que vienen ligadas
ciertas leyendas.
Veamos a continuación un ejemplo de
interacción entre representacionessimbólicas, uso y
prácticas sociales. Hay un relato que atribuye origen
antropomórfico a la areca (m),
que según esa
tradición es producto de la transformación de un
joven en palmera a raís de un desengaño amoroso
(Aumeeruddy, 1993). La areca se utiliza para las
peticiones de mano: los jóvenes deben presentar un
fruto de esapalmera (p&a& a los padresde la futura
esposa.La palabra meminang, que deriva de pinan$
designa el acto mismo de pedir la mano. Aunque no
siempre se utilice ya el fruto de la palmera en tal
contexto, la influencia de esa costumbre ha marcado
el lenguaje, que recurre todavía a la palabra
meminang en tales circunstancias. El protagonismo
de esa palmera en las prácticas sociales (ofrendas,
nueces que se mastican con hojas de areca) le
confiere una gran importancia como jalón. Plantada
en hileras en las lindes de los jardines, constituye un
indicador tan discreto como eficaz, que hace
innecesarias las barreras y no dificulta la
comunicación entre habitantes de jardines vecinos.
l
l
Evolución de los usos
La evolución de los usos de los árboles refleja la
forma en que la sociedadva adaptandodichos USOSa
las circunstancias externas. La concepción
18
DOCUMENTOS DE TRABAJO DE PUEBLOS Y PLANTAS, NO 3, NOVIEMBRE DE 1998
Modos rurales de representación
y gestión de los sistemas agrosilvícolas en ta penteria
del Parque Nacional Kerinci Seblat, Sumatra, Indonesia. - YILDIZ AUMEERUDDY
polivalente del árbol (producción de fruta, corteza y
madera, usos medioambientales -sombra, abono de
la tierra-, etc.) denota una percepción global de la
planta que da lugar a una gran flexibilidad de
utilización a lo largo del tiempo (en contraste con la
tendencia más moderna consistente en asignar a los
árboles un solo cometido, básicamentela producción
frutera o maderera). El canelo brinda un buen
ejemplo de evolución de los usos: tradicionalmente
los habitantes autóctonos se servían sólo de sus hojas
y, en menor medida, de la corteza, que en el siglo
pasado se vendía en muy pequeñas cantidades. Los
circuitos comerciales han hecho de ese árbol el
producto estrella de Kerinci en términos de
mercado. La madera de canelo es ahora la principal
fuente de leña del valle. Los dos ejemplos siguientes
ilustran también la evolución que experimentan los
usos de los árboles:
Bischofia juvanica (pohon bintung): a principios de
siglo, este árbol de selva secundaria era protegido y
conservado en virtud del tanino que su corteza
contenía, utilizado para embadurnar canastos de
bambú, otros objetos de cestería o redes de pesca.
Aunque ya ha dejado de explotarse para la
producción de tanino, sus muchos usos medicinales
y su gran capacidad de rebrote, y por tanto de
producción de leña, explican que los campesinos
sigan protegiéndolo.
Toona sinensis (surian): según los más viejos del
lugar, este árbol, que brota espontáneamenteen los
claros de la selva, no era antaño más que una especie
residual cuya presencia en los ladang obedecía
únicamente a las cualidades culinarias de sus hojas.
Hoy su cultivo está en auge debido a las restricciones
que pesan sobre la obtención de maderas de
construcción dentro del parque. Su rápido
crecimiento y la buena calidad de su madera
confieren a esta especie un interés silvícola mayor
que el de otras maderas de construcción de mejor
calidad pero de crecimiento demasiado lento.
Actualmente la presencia de sus hojas en la dieta
resulta poco menos que testimonial.
l
l
Labiodiversidaddesdela
ópticadel campesino
La noción que de la diversidad biótica tienen los
científicos y naturalistas es deudora ante todo de la
clasificación de los seres vivos establecida por
Linneo. Los trabajos de muchos autores, entre ellos
Lévi-Strauss (1962), Conklin (1954), Berlin et al.
(1974), Revel (1990) y Friedberg (1990), demuestran
que las sociedades“tradicionales” poseensus propios
sistemas de clasificación. Estos sistemas emanan de
una “ciencia de lo concreto” (Lévi-Strauss, 1962)
forjada por las costumbres y por las relaciones que el
hombre ha establecido con el mundo de lo orgánico
durante largo tiempo en ámbitos tan diversos como
la religión, la organización social, las necesidadesde
subsistencia o las relaciones comerciales. Los
sistemasde clasificación se basan pues en el binomio
formado por la representación del mundo natural y
los usos cotidianos.
Entre los modos de clasificación que se observan
en Kerinci destacauna neta división de los vegetales
en plantas calientes y frías, ligada a las representaciones simbólicas generales del medio natural.
Este modo de clasificación atribuye igualmente a
todos los elementos del medio (orgánico o
inorgánico) una cualidad de caliente o frío.
El agua se asocia al frío. Los ríos, las fuentes y
las tierras de bajío inundadas son, por consiguiente,
elementos “fríos”, al igual que las plantas que los
acompañan (arroz, plantas adventicias de los
arrozales, vegetación ribereña, etc.). También se
consideran plantas frías aquellas cuyas raíces, hojas o
frutos son carnosos 0 acuosos. Un suelo será tanto
más caliente cuanto más seco se encuentre, 0 cuanto
más incapaz de retener la humedad sea su
estructura. Según esta clasificación, un suelo negro
(tanah hitam) rico en humus es un suelo “frío”,
mientras que un suelo laterítico lixiviado (&-&i
merah) es “caliente”. Tanah lembuk kering (kering
significa “seco”) designa un suelo “caliente”, sin
arcilla o limo y de estructura harinosa durante la
estación seca, por oposición a tanah lembuk basa
(lembuk significa “húmedo”), suelo “frío” que forma
pequeños grumos en la estación seca,indicio de que
contiene arcilla y retiene cierta humedad. Este
segundo tipo de suelo se supone más fértil. Las
representacionescrean así un nexo entre lo húmedo,
lo frío y lo fértil. Enriquecer un suelo abandonándolo
al rebrote de Eupatorium inulifolium, una de las
plantas “frías”, es una técnica destinada a enfriar el
suelo. En este mismo orden de ideas, la sombra de
los árboles es percibida como algo beneficioso para
los suelos.
Los vegetales con un sabor ácido se clasifican
asimismo como plantas “frías”, al igual que las
especies de perfume fuerte y duradero (numerosas
especies de albahaca, Ocimum spp. y de la familia
Zingiberaceae).
Por otra parte, la noción de frío y caliente es
relativa. Considerado individualmente, cada vegetal
tiene partes mas o menos frías: los retoños, las hojas
jóvenes y las hojas muertas son en general más
“frías” que las hojas que han completado su crecimiento. De ahí que para las mixturas medicinales o
la preparación de alimentos se recurra más a
menudo a los brotes y las hojas jóvenes. Las hojas
muertas de Areca catechu se utilizan en los rituales
de enfriamiento de los arrozales, y las de durian
(Durio zibethinus) son un ingrediente de los polvos
cosméticos (m)
destinados a “enfriar” la piel.
Aunque Dendrocnide stimulans (jm)
es
considerada una planta “caliente” por su naturaleza
urticante, la savia de sus raíces es “fría” y tiene
propiedadescurativas.
Las plantas calientes son aquellas que presentan
características urticantes (látex u hojas irritantes) o
un aroma muy picante como el del canelo o el árbol
del clavo. Son plantas que desprenden una esencia
caliente (zat oanas), rasgo que las distingue de otras
plantas perfumadas frías como Ocimum. Las plantas
espinosas, así como las que ejercen un efecto
desecante sobre el suelo (p.e. Imperata cglindrica,
alar& alar&, son también plantas calientes.
La clasificación de las plantas en frías y calientes
tiene implicaciones en ámbitos muy diversos, entre
ellos los siguientes:
l La medicina local y la alimentación. A las plantas
llamadas frías se atribuye valor terapéutico. Su
presencia en los jardines es bienvenida y protegida,
lo que se traduce en una gran abundancia de
variedades y especies utilizadas con fines muy
diversos. Así, por ejemplo, los limones están
presentes en la dieta (como condimento), la
medicina (en cuyas preparacionesse incluyen, ya sea
alternativa o simultáneamente, diversas especies o
variedades), los rituales de enfriamiento de las
nuevas viviendas o las mezclas de plantas medicinales destinadasa mantener los arrozales libres de
parásitos. La clasificación tradicional distingue doce
especies distintas de cítricos, entre ellas varias
especiesforestales (marcadas con un * en el cuadro
del Anexo III). También dentro de la familia
Zingiberaceaese observaun amplio abanico de usos,
habida cuenta del valor curativo y la versatilidad
alimentaria de muchas de las plantas que la integran
(Anexo III). Señalemosaquí la inexistencia de límites
claros entre medicina y alimentación. Es frecuente,
por ejemplo, que plantas frías como la cúrcuma
[azafrán de la India] (Curcuma longa) o el limón se
utilicen a la vez en la cocina y en el ejercicio de la
medicina tradicional.
9 Las técnicas agrícolas. A las plantas llamadas frías
se atribuyen propiedades fertilizantes. Las especies
de madera blanda, que contienen agua y se pudren
con rapidez, son tenidas por plantas frías y
fertilizantes. Entre tales especies se cuentan Ficus
alba (m),
eritrinas como Ergthrina
variegata y Erythrina subumbrans (&&
y
cengkring), el árbol capoc o Ceiba pentandra,
Aleurites moluccana (kemiri), los papayos y los
bananos. Las plantas de fruto acuoso, como las
cucurbitáceas Benincasa hispida (kundur), Cucumis
sativa (timun)
Luffa
> Cucurbita moschata (m),
acutangula (ti),
Sechium edule (labu Siam), etc.
recubren el suelo y ejercen sobre él un supuesto
efecto enfriador. Ciertas familias (las Asteraceae,por
ejemplo) son objeto de protección, especialmenteen
las primeras fases de creación de un ladang, por su
carácter de plantas “frías”. Tras el desbroce y la
Modos
DOCUMENTOS DE TRABAJO DE PUEBLOS Y PLANTAS, No 3, NOVIEMBRE DE 1998
ruralesde representación y gestión de los sistemas agrosilvícolas en la periferia
del Parque Nacional Kerinci Seblat, Sumatra, Indonesia. - YILDIZ AUMEERUDDY
19
20
quema de su parcela, el campesino permitirá de buen
grado que los rebrotes de Crassocephalum
crepidoides (ti),
Bidens pilosa (jambing oauh) o
Eupatorium inulifolium (bunga rinvu) revistan el
suelo. Despuésplantará especiesfrías como bananos,
papayos o eritrinas varias, que por su rápido
crecimiento se adueñarán pronto del terreno y
proyectarán en él su sombra.
aplican otros sistemas que ordenan las plantas con
arreglo a criterios funcionales 0 morfológicos
(Aumeeruddy, 1993). En todos los casos, tales
criterios se basan en las representacionesdel medio
natural propias del campesino y, sobre todo, en el
uso de las características vegetativas de la planta, y
sirven para poner de manifiesto la diversidad del
mundo vegetal. El abanico de criterios indígenas de
Un segundo tipo de clasificación basada en
representacionessimbólicas divide el mundo vegetal
en plantas macho y plantas hembra, según criterios
tales como el grosor del fruto, la longitud de los
entrenudos, el grado de pilosidad de las hojas, etc. El
campesino distingue así pequeñas variaciones
morfológicas entre especies o variedades emparentadas que crecen y son protegidas en los jardines.
Para una especie concreta, Michelia champaca por
ejemplo, el campesino distingue entre la variedad
macho (semulun tanduk), caracterizada por hojas
grandesy pilosas de jóvenes y por el fino jaspeadode
su madera, y la variedad hembra (semulun padi
p&i), con hojas pequeñas,lisas cuando son jóvenes,
y una madera de color beige uniforme. Las dos
variedades se destinan a usos distintos: dada la
superior dureza de su madera, la primera se emplea
preferentemente en construcciones de exterior. Otra
especie de madera de construcción, Actinodaphne
sesquipedahs,posee una variedad hembra con hojas
más pequeñasque la variedad macho y hojas jóvenes
rojas y lampiñas. En este segundo caso, los taxónomos distinguen igualmente una variedad lisa de
Actinodaphne sesquipedalis (que corresponde a la
variedad hembra), aunque tal cosa no ocurre con
otras especies que el campesino subdivide en
diversas variedades aún no catalogadas científicamente.
Los sistemas que clasifican las plantas en frías y
calientes, o en machos y hembras, no son los únicos
que utilizan los campesinos de Kerinci. También se
clasificación difiere pues de los principios morfológicos propios del sistema linneano, que concedeun
gran peso al aparato floral.
Tras examinar someramente algunas representaciones globales del medio natural, y más concretamente de la selva, así como algunos modos de
clasificación de las plantas, nos es más fácil entender
la forma en que se organiza la matriz de conocimientos en esta sociedad y aprehender las relaciones existentes entre representaciones y usos 0
costumbres. Las autoridades gestoras del parque no
deberán pues olvidar que los sistemas indígenas de
clasificación son elemento ineludible para el éxito de
toda iniciativa de ordenación de las zonas periféricas
del parque que entrañe algún tipo de colaboración
con la población local.
En el capítulo siguiente abordamos el estudio de
las zonas agrosilvícolas, que nos permitirá comprender cómo el campesino asocia en el tiempo y en
el espacio los diversos elementos que integran el
ecosistema, teniendo en cuenta factores ecológicos
tales como la luz 0 la competencia entre especies.
Los jardines agrosilvícolas son sistemas que aúnan, a
su papel productivo, una serie de funciones sociales.
Nuestra intención es la de estudiar cómo el
campesino aplica concretamente su conocimiento de
las plantas, la función que atribuye a éstas según su
contexto sociocultural y las respuestasy estrategias
que adopta ante factores externos fluCtuantes
(entorno natural, acceso a los recursos o vías de
.>
comercialización).
DOCUMENTOS DE TRABAJO DE PUEBLOS Y PLANTAS, N” 3. NOVIEMBRE DE 1998
Modos rurales de representación
y gestión de los sistemas agrosilvícolas en la periferia
del Parque Nacional Kerinci Seblat, Sumatra, Indonesia. - YILDIZ AUMEERUDDY
Sistemasagrosilvícolas
+ de Kerinci: fundamentos
y dinámicas
Elementosmetodológicos
parael estudiode los
sistemasagrosilvícolas
Para comprender la dinámica agroforestal es
esencial estudiar la relación entre cultivos agrícolas
(sobre todo el del arroz) y sistemas agrosilvícolas
(Stoler, 1978; Mary, 1987; Belsky, pronta
publicación). La elaboración de un esquema de los
usos del suelo, ya sea mediante una secuencia
topográfica 0 por simple cartografía, constituye un
recurso especialmente poderoso para situar el
sistema agrosilvícola en el seno de la explotación
agrícola. Ello permite visualizar los distintos
elementos que componen el sistema (Figura 3). A
partir del esquema será posible estudiar las
categorizaciones locales, el lugar que ocupa el
sistema agrosilvícola dentro de la explotación o su
relación con ciertas características del medio
natural (naturaleza del suelo, orientación y desnivel
de las pendientes, etc.). Un esquema como el
mencionado, en suma, resulta de gran utilidad para
efectuar una lectura del paisaje, elemento básico
para empezara trabajar.
Los sistemas agrosilvícolas constituyen uno de
los elementos del sistema agrario y del sistema
productivo. No cabe pues abordar su análisis
haciendo abstracción de este contexto general.
El análisis de la vegetación en cada
parcela se lleva a cabo con ayuda
de perfiles arquitectónicos. El
igoI
Aldea y arrozales. Altitud: 800 m
Figura 3. Esquema representativo
IIl
1
I
I
análisis arquitectónico forestal (Oldeman, 1974)
aplicado al estudio de los agroecosistemas (Michon
ef al., 1983) se ha demostrado en efecto muy útil
para comprender el funcionamiento ecológico de los
sistemas agrosilvícolas con estructura de tipo
forestal. La representación esquemática de cada
árbol, sumada a sus medidas (altura, diámetro y
altura de la primera rama principal) y a la proyección
cartográfica de la copa sobre el suelo, permite
reproducir en dos dimensiones la situación exacta de
cada árbol con respecto a los demás. Esta
herramienta visual posibilita un análisis espaciotemporal de los diversos conjuntos estructurales,
que no son otros que los distintos estratos de
vegetación, asimilados, cuando se trata de
sistemas agrosilvícolas, a conjuntos
&laJ. Altitud: 800 - 1.000 m
II
I
I
I
,
I
I
il
w.
Altitud: 1.000 - 1.200 m
1 Selva
I
I
del uso de la tierra en la aldea de Jujun.
Modos
DOCUMENTOS DE TRABAJO DE PUEBLOS Y PLANTAS, No 3. NOVIEMBRE DE 1998
rurales de representación
y gestión de los sistemas agrosilvícolas
en la periferia
del Parque Nacional Kerinci Seblat, Sumatra, Indonesia.
YILDIZ AUMEERUDDY
21
comprenden únicamente los árboles productivos,
que se determinan, en el momento de trazar el perfil,
encuestandoal campesino. Conociendo los modos de
crecimiento, es posible prever la evolución futura de
los árboles, así como el lugar que ocuparán dentro de
los diversos conjuntos productivos. Los árboles del
futuro, incluidos igualmente en el esquema, son
árboles jóvenes no productivos cuya posición en la
estructura agroforestal permite anticipar la
evolución del sistema agrosilvícola. A imagen de la
selva, donde un árbol viejo puede caer y crear una
calva, en los sistemas’agroforestales se corta un
ejemplar viejo y no productivo para crear un nuevo
espacio capaz de acoger a especies heliófilas o
simplemente favorecer el crecimiento de los árboles
del futuro (Michon, 1985). El uso del perfil facilita,
en definitiva, el estudio de la parcela agroforestal
desdeun punto de vista dinámico.
Sistemasagroforestales
básicamente
frutícolas.La
gestiónde un recursoraro
y frágil: el suelo
En la aldea de Semerap, junto a la orilla occidental
del lago Kerinci, la forma utilizada para conservar
accesoa la tierra es la plantación de árboles útiles en
sistemas agrosilvícolas de tipo p&&, lo que además
permite una gestión duradera de los suelos de colina,
que en esta parte del valle son frágiles (ultisoles e
inceptisoles muy sensibles a la erosión en zonas de
fuerte pendiente).
La Figura 4 presenta un diagrama del uso de la
tierra en la aldea de Semerap.
En Semerap, las tierras de colinas (que lindan al
oeste con la cordillera de Barisan) resultan escasas,
considerando sobre todo la elevada
densidad de población de la aldea
(332 hab/km2). (En 1990,
la población de
Sumatra ascendía a 37 millones de personas
[Anónimo, 19901, y el promedio de densidad de
población era de 80 hab/km2). Las tierras arroceras
quedan igualmente restringidas a una estrecha franja
situada entre el lago y las laderas del valle. Esas
tierras no gozan de la irrigación necesaria para
producir dos cosechas al año. Ante tal escasez de
tierras, la autoridad tradicional ha implantado un
sistema de gestión colectiva que se aplica al primer
tercio de las tierras de colina. Se trata de tierras
patrimoniales (tanah harta uusaka) de carácter
inalienable. Los campesinos a quienes se conceden
parcelas de la comunidad no gozan sobre ellas sino
del derecho de usufructo (hak uakai). Dicho de otro
modo: el campesino es propietario únicamente del
producto de los árboles que ha plantado en esas
tierras. Ese derecho puede transmitirse a los
descendientesa condición de que la parcela albergue
todavía árboles productivos, lo que supone un claro
incentivo para plantar árboles. Aunque las demás
tierras de colina son de propiedad privada, la
autoridad tradicional no deja de ejercer sobre ellas
una estricta supervisión, que abarca diversos
aspectos:está prohibido en ellas el uso del fuego, que
haría peligrar el patrimonio arbóreo; es el jefe
tradicional quien delimita las parcelas que se
otorgan a los habitantes, en función del sentido de la
pendiente y de los jardines aledaños; se definen
normas específicas que regulan la tala de nuevas
parcelasde selva, etc.
Según los ancianos de la aldea, el acto de plantar
árboles remite a un precepto de los antepasadospara
mitigar el problema de la escasez de tierras.
Teniendo en cuenta que la agricultura de rozas y
Figura 4. Esquema representativo
del uso
de la tierra en la aldea de Semerap.
&
I
l
Lago
22
l
1 Aldea y arrixales
/
i
1
p&k.
Altitud: 850 - 1.000 m
I
Viejos jardines en vías I
[ Selva protegida en
w.
/ de regeneración. I
’ 1.200 - 1.400 m 1 las líneas de cresta
I
1.000 - 1.200 m
DOCUMENTOS DE TRABAJO DE PUEBLOS Y PLANTAS, N” 3, NOVIEMBRE DE 1998
Modos rurales de representación
y gestión de los sistemas agrosilvícolas en la periferia
del Parque Nacional Kerinci Seblat, Sumatra, Indonesia. - YILDIZ AUMEERUDDY
I
I
(
I
Ladana
I
’
Selva
primaria
quema exige una larg
barbecho, y que en
cuencia no es viable
territorio pequeño col, ULLU
densidad de población tan
elevada, no sería de
extrañar que la necesidad
de crear jardines pluriestratificados se hubiera
dejado sentir ya antes del
periodo colonial holandés.
Plantar árboles es el
modo en que los campesinosse
apropian de las tierras: las
parcelas que la autoridad tradi-l.. -i: 4
cional asigna a un campesino,deben ‘,,,*,,+
contener árboles product&&; s$&
pena de ser desposeídode las tierras~~;<
por esa misma autoridad (v&nse las
,l
reglas del Recuadro 2).
Dado que la superficie total de i
tierras no basta para satisfacer las :
necesidadesde todos los habitantes
de la aldea, se anima
emigrar temporalmente. Según dictan las reglas
consuetudinarias relativas a la migración, el
campesino que parte en busca de trabajo no debe
temer la pérdida de su derecho de acceso a las
tierras, siempre y cuando se trate de cultivos
perennes que no precisan de un cuidado continuo
(Recuadro2).
Los perfiles siguientes (Figuras 5 y 6) muestran
la estructura y composición de dos jardines
agrosilvícolas situados en la zona de las tierras
patrimoniales de Semerap.
En la Figura 5 puede observarse una acusada
estratificación. Las especies que forman la bóveda
arbórea son básicamente grandes durian (Durio
zibethinus) y p&$ (Parkia speciosa), leguminosa
arbórea de semilla comestible. En el conjunto
productivo intermedio figuran numerosos árboles
frutales como Lansium domesticum (langsat),
Garcinia mangostana (manggis) o Baccaurea dulcis
(&).
En el sotobosque, por último, abundan los
árboles del clavo, aunque en la mayor parte de
Sumatra esta especie crezca en régimen de
monocultivo y en condiciones de plena iluminación.
Según afirman los campesinos,y aunque el árbol del
clavo resulta menos productivo a la sombra, los
riesgos de enfermedad disminuyen cuando se asocia
este árbol a otras especies. Las parcelas en fase de
regeneración son aquellas donde se han eliminado
los árboles que constituyen la bóveda y se está
procediendo a su sustitución (véasela Figura 6). El
campesino planta especies heliófilas como
Archidendron pauciflorum (jengkol), cafetos,
bananos y especies productoras de madera de
construcción como Alangium kurzii (melaku) o
Toona sinensis (surian). Estas dos últimas son
2. Regias consuetudinarias
relativas a la apropiación
de tierras
Kalau bambuh sudah bisa uenjemout ikan belut :
Cuando los bambús sean lo bastante
grandes como para atrapara las anguilas
de los arrozales,
Tandah belukar sudah tua : será el signo
de que esta selva secundaria envejeció
Tidak tuah tanah tersebut : y su usuario perderá entonces
sus derechos sobre el jardín.
Rantau jauh diulang : Partid tan lejos
y tan a menudo como queráis,
Tanah dekat masih dekat danau :
las tierras junto al lago
Hak milik orana yana menaendano :
pertenecen al que las hace fructificar.
especiestípicas de los claros forestales. Los árboles
sustitutos son jóvenes durian, que formarán los
futuros árboles de la bóveda.
El conocimiento de los distintos ritmos de
producción y maduración de las especies agrosilvícolas permite al campesino programar una
gestión espacio-temporal de su parcela, para la cual
tendrá en cuenta las exigencias ecológicas de cada
especie.
Estos jardines agrosilvícolas tienen una clara
vocación comercial: la fruta. la semilla de las
DOCUMENTOS DE TRABAJO DE PUEBLOS Y PLANTAS, No 3, NOVIEMBRE DE 1998
Modos rurales de representación
y gestión de tos sistemas agrosilvícolas en la periferia
del Parque Nacional Kerinci Seblat, Sumatra, Indonesia. - YILDIZ AUMEERUDDY
23
iom
Perfil de un jardín
agrosilvicolaque
construccióny árbolesdel clavo.
Semerap,Kerinci (2”lO S, lOl”30 E),
Alt. 900 m, Y. Aumeeruddyy Syamsul
Bahri, marzo 1991.
-C
Alangium kurzii (melaku):83 ; Claoxylonsp.: 4 ; Citrus
sp.: 65 ; Coffea canephoraw:
18, 19, 20, 22, 26, 29, 52, 70, 80, 81, 93, 96, 97, 98;
Durio zibethinus (durian): 38, 68, 101;
Syzygiumaromaticum (cengkeh):
1, 2, 3, 5, 6, 23, 24, 25, 27, 28, 35, 37,
47,48, 49, 50, 66, 67, 69, 77, 95 ;
arcinia mangostana(man@): 82, 94 ;
lansium domesticum(lanasat):7, 36, 39, 78,
Parkiaspeciosa(Detai):40, 51,79 ;
Toonasinensis(surian):21.
24
DOCUMENTOS DE TRABAJO DE PUEBLOS Y PLANTAS, Na 3, NOVIEMBRE DE 1998
Modos rurales de representación y gestión de los sistemas agrosilvícolas en la periferia
del Parque Nacional Kerinci Seblat, Sumatra, Indonesia. - YILDIZ AUMEERUDDY
Figura 6. Perfil de un jardín predominantemente frutícola en fase de regeneración. Semerap,
Kerinci, Sumatra (2”lO 5, lOI” E), Alt. 900 m, Y. Aumeeruddy y SyamsulBahri, marzo 1991.
Alangium kurzii (melaku): 63 ; Areca catechu (oinana): 91 ;
Baccaureadulcis (cuDak):B5,99 ;
Carallia brachiata w:
90 ;
Citrus sp.: 13 ; Coffea canephora (&$9,
10, ll,
12, 14, 16, 17, 30, 41, 42, 43, 44, 45, 53, 54, 55, 56,
57, 71, 72,84,86, 87, 88, 102 ;
Durio zibethinus (&j.&:
15, 60, 104 ;
Garcinia mangostana (manggis): 103 ;
lansium domesticum (lanasat): 32,46; 64 ;
Archidendron auciflorum (ienakol): 34, 59,
62, 63a, 74, 89, 92;
Toona sinensis(surian): 61. 73.
r
0
1
20
-fo
30
40m
DOCUMENTOSDE TRABAJO DE PUEBLOSY PLANTAS, No 3, NOVIEMBRE DE 1998
Modos
rurales de representación
y gestión de los sistemas agrosilvícolas
en la. periferia
del Parque Nacional Kerinci Seblat, Sumatra, Indonesia. - YILDIZ AUMEERUDDY
25
Figura 7. Esquemade la evolución de un ti:
1.
Años 1 y 2: cultivo de plantas anuales.
2.
Años 3 a 8: producción de cafe.
3.
Años 9 a 15: tala del canelo en la modalidad de ciclo de rotación
4.
Años 9 a 25: se mantienen los canelos en caso de ciclo largo
corto; se mantiene la producción de café.
de monocultivo.
5.
Introducción de otras especiesarbóreas; los canelos quedan relegados
al sotobosque; evolución hacia una estructura de tipo p&&.
leguminosas, el clavo y el café se destinan a la venta.
La madera de construcción se conserva para
satisfacer las necesidades familiares, aunque el
excedente puede ser adquirido por pequeñas
empresas comerciales. Las ramas muertas del
sotobosque se recogen y utilizan posteriormente
como leña. Las hojas de cafeto se utilizan para
fabricar una bebida muy popular, el kawa (véase la
Fotografía 10). Aunque un cafeto ya no sea
productivo, el uso de sus hojas justificará aquí su
conservación.
Un mecanismo de control ligado a los
procesos decisorios locales se erige aquí
en garante de la continuidad a largo
plazo de un recurso tan frágil como
esencial: el suelo.
Es probable que estosjardines agrosilvícolas con
predominio de árboles frutales sean los primeros
tipos de sistemas agrosilvícolas perennes y de
estructura pluriestratificada que se implantaron en
Kerinci. De la tradición oral se desprende que tales
jardines existían ya a principios de siglo, cuando los
holandeses llegaron a la región. Esos jardines
constituyen una respuesta de los campesinos a la
26
DOCUMENTOS DE TRABAJO DE PUEBLOS Y PLANTAS, No 3, NOVIEMBRE DE 1998
Modos rurales de representación
y gestión de los sistemas agrosilvícolas
en la periferia
del Parque Nacional Kerinci Seblat, Sumatra, Indonesia. - YILDIZ AUMEERUDDY
escasezde tierras y a las dificultades que entraña la
gestión de suelos especialmente frágiles.
Al igual que ocurre con la selva patrimonial de
Keluru, el buen funcionamiento de estos sistemas
agrosilvícolas depende de una gestión comunitaria
de la que es responsablela autoridad tradicional de la
aldea. Un mecanismo de control ligado a los procesos
decisorios locales se erige aquí en garante de la
continuidad a largo plazo de un recurso tan frágil
como esencial, el suelo.
En el resto del valle, la gestión de las tierras de
colinas no ha evolucionado en el mismo sentido que
en Semerap, debido sobre todo a la mayor superficie
de tierras de la que disponen las demás aldeas.Como
ya hemos señalado en el resumen de la historia
agrícola de Kerinci, los sistemas de cultivo de la
mayoría de las aldeas del valle han tendido a seguir
una evolución paralela, que ha transformado los
sistemas de rozas y quema de principios de siglo en
sistemas agrosilvícolas de dos tipos fundamentales:
Sistemas agrosilvícolas con ciclos alternos de
cultivos arbóreos y cultivos anuales, los la.&&.
Sistemas agrosilvícolas complejos, con una
marcada presencia de cafetos y canelos asociados a
numerosas especiesforestales, los &.
l
l
Flexibilidadde los
sistemasde cultivo que
contienencanelos
Fotografía
ll. Jardines agrosilvícalasn‘
Tras el desbroce de una parcela forestal, el
campesino dispone de varias opciones posibles
(Figura 7). Las fases 1 y 2 son comunes a los
sistemas 3, 4 y 5. Durante los dos primeros años, el
campesino produce cultivos anuales e introduce al
mismo tiempo cafetosy canelos en la parcela.
Los cafetos entran en ciclo productivo al cabo de
dos años y medio, y así seguirán hasta el octavo año
(2). Después,y debido a la sombra de los canelos, la
producción cafetera tiende a bajar. Durante esta fase
los cultivos anuales yacen a la sombra de las especies
arbóreasy dejan por ello de producir.
Una de las opciones del agricultor consiste en
cortar los canelos a partir del octavo o el noveno año
(3). Se somete entonces a los cafetos a una fuerte
poda que les confiere un renovado vigor. De nuevo
resulta posible una fase de cultivo anual, con lo que
el sistema regresa a la fase inicial 1.
La segundaalternativa para el campesino estriba
en dejar crecer los canelos durante aproximadamente
25 años (4). La producción cafetera queda en tal caso
completamente interrumpida. Cuando finalmente se
cosecha la canela, el sistema regresa a la fase 1 y el
campesinopuede producir de nuevo cultivos anuales.
DOCUMENTOS DE TRABAJO DE PUEBLOS Y PLANTAS, N” 3, NOVIEMBRE DE 1998
Wodos rurales de representación
y gestión de los sistemas agrosilvícolas
en la periferia
del Parque Nacional Kerinci Seblat, Sumatra, Indonesia. - YILDIZ AUMEERUDDY
27
28
DOCUMENTOS DE TRABAJO DE PUEBLOS Y PLANTAS, No 3, NOVIEMBRE DE 1998
Modos rurales de representación
y gestión de los sistemas agrosilvícolas en la periferia
del Parque Nacional Kerinci Seblat, Sumatra, Indonesia. - YILDIZ AUMEERUDDY
Figura 8. Perfil de un jardín agrosilvícola que contiene una asociaciónde maderasde
construcción, leguminosasarbóreas ycanelos.Jujun, Kerinci, Sumatra (2'10 S,
lOI"
-ws
E),Alt.900 m,Y.Aumeeruddyy B.Sansonnens,septiembre1990.
Alangium kurzii(melal-): 14, 45, 78, 92, 95, 132 ;
Aleuritesmoluccana (kemiri): 448, 55, 56,
74,107,117,118,175,177;
Archidendronpauciflorum (ienakol):3, 6, 7, 10, 13, 19, 21, 21,
23, 27, 33, 34, 36, 37, 38, 46, 47, 50, 54, 58, 59, 69, 71, 72,
77, 80, 81, 82, 83, 85, 87, 88, 90, 96, 98, 99, 101, 102, 108,
115,120,128,129,133,137,140,148,160,170,176;
Areca catechu (Dinanq):114;
Artocarpus heterophyllus (nanaka): 31;
Cinnamomum burmani(kulit manis): 2, 5, 9, 12,
16, 20, 24, 40, 42, 43, 44, 49, 57, 60, 76, 89, 93, 94,
103, 105, 109, 112, 116, 122, 124, 130, 136, 138,
141,142,153,154,155,157,158;
Citrus sp.: 159 ;
Coffea canephora m:18,
22, 25, 26, 29,
30, 32, 52, 62, 63, 65, 70, 75, 84, 91, 97, 100,
104,106,110,113,119,123,125,143,144,
145,146;
Durio zibethinus (Durban):168, 178;
Hevea brasiliensis(karet): 66 ;
lansium domesticum (lanasat):
131,150, 151;
Mangifera foetida (bacana):4, 35;
Nephelium /appaceum(rambutan): 139;
ferseaamericana (Dokat):73, 121;
Psidium guajava (jambu keras): 163, 167;
Toona sinensis(surian): 1, 8, 15, 17, 39, 41,51, 53,
64,67,68,79, 111, 127, 134, 147, 152, 156, 171, 172,
173, 180, 181.
Otra posibilidad, por último, es que el
campesino plante 0 favorezca la regeneración
espontánea de otras especies arbóreas durante las
fases 1 y 2. A la vez que se conserva el canelo, los
demás cultivos arbóreos entran en fase productiva.
El jenékol (Archidendron pauciflorum), por ejemplo,
empieza a producir al cabo de ocho a diez años. El
canelo se encontrará en tal caso en el sotobosque,
donde habrá que gestionarlo mediante un sistema de
monte bajo de rotación corta. El campesino tendrá
así una parcela de estructura pluriestratificada
perenne, con una elevada proporción de especiesde
origen forestal que regenerarán espontáneamente(5)
(Fotografías 11 y 12).
Los figuras 8 y 9 ilustran sendos sistemas
agroforestales de este tipo. Ambos perfiles ponen de
manifiesto la flexibilidad de gestión que ofrecen estos
sistemas, capacesde orientarse hacia distintos tipos
de producción según las necesidadesdel campesino.
La Figura 8 muestra el perfil de un jardín
agrosilvícola sito en la aldea de Jujun. Se trata de un
jardín relativamente reciente, de una edad cercana a
los cuarenta años. La bóveda está constituida
básicamente de jengkol (Archidendron pauciflorum)
y&
(Parkia speciosa), dos leguminosas arbóreas.
Hay asimismo una especie productora de madera de
construcción (AZangium kurzii, melaku) y algunos
frutales (Mangifera odorata, Mangifera foetida,
Modos
DOCUMENTOS DE TRABAJO DE PUEBLOS Y PLANTAS, No 3, NOVIEMBRE DE 1998
rurales de representación
y gestión de los sistemas agrosilvicolas
en la periferia
del Parque Nacional Kerinci Seblat, Sumatra, Indonesia. - YILDIZ AUMEERUDDY
29
Durio zibethinus).
El conjunto productivo
intermedio da cabida a una fuerte concentración de
canelos y algunos frutales (Garciniu mangostana,
Nephelium lappaceum); el conjunto productivo
inferior está ocupado por bananos y unos pocos
frutales de reducido tamaño, entre ellos varias
especiesy variedades de limonero y un guanábano
(Annona
muricata). En el sotobosque medran
numerosas plantas jóvenes que constituyen los
árboles del futuro, principalmente especies
productoras de madera de construcción (Alangium
kurzii, melaku; Toona sinensis, surian; y Michelia
champaca t-rsemulun) canelos jóvenes y algunos
jóvenes frutales.
Un segundo jardín situado también en Jujun
(Figura 9) exhibe una estructura dominada por
cuatro especiesprincipales: el jengkol, el canelo, el
surian y el kemiri. En el conjunto productivo
superior predominan los surian y los kemiri. El
conjunto intermedio se caracteriza por la abundancia de canelos y de jengkol. Los cafetos ocupan el
conjunto inferior. Entre los árboles que forman el
conjunto del futuro, los jengkol son los más
abundantes,seguidos de los canelos.
La zona de los p&& de Jujun presenta una
notable heterogeneidadde estructura y composición,
que ilustran aquí estos dos jardines. El gran número
de productos de esos sistemas agrosilvícolas hacen
DOCUMENTOS DE TRABAJO DE PUEBLOS Y PLANTAS, No 3, NOVIEMBRE DE 1998
Modos rurales de representación
y gestión de los sistemas agrosilvícolas en la periferia
del Parque Nacional Kerinci Seblat, Sumatra, Indonesia. - YILDIZ AUMEERUDDY
de ellos estructuras muy flexibles, que el campesino
va a modelar en función de sus necesidadesy de las
exigencias ecológicas de cada especie.El tiempo del
que disponga, el tamaño de su explotación, el
sistema de cultivo que aplique en sus arrozales
(variedad antigua, de ciclo largo y una cosecha
anual, o variedad nueva, de ciclo corto y dos
cosechas anuales) y sus ladan (plantación de
canelos y cafetos asociada a una rotación más o
menos larga con especiesanuales), son otros tantos
factores que influirán sobre la estructura y la
composición de sus jardines (Aumeeruddy, 1993). l :*
Fotografía 12.
Aldea al sur del lago
Kerinci rodeada por un
mosaico de jardines de tipo
ladang y pelak.
Figura 9. Perfil de un jardín agrosilvicola detipoDelak.con una asociacióndeárbolesfrutales,árboles productores
de madera de construcción, leguminosasarbóreasycanelos.Jujun, Kerinci,Sumatra (2'10 5, lOI"
E),Alt.900 m,
Y.Aumeeruddy y B.Sansonnens,septiembre 1990.
Alangium kurzii (melaku): 2, 7, 59, 63, 68, 72, 75, 92, 100, ll, 126, 136, 138;
Archidendronpauciflorum (ienakol):4, 20, 77, 78, 99, 109, 113, 120, 122, 151, 152, 155;
Cinnamomum burmani (kulit manis): 3, 5, 6, 8, 16, 17, 18, 19, 21, 22, 23, 24, 25, 26,
27, 28, 49, 50, 51, 52, 53, 54, 55, 57, 58, 60, 62, 64, 65, 66, 67, 69, 73, 74, 79, 80, 81,
83,88, 90, 101, 108, 112, 115, 121, 123, 124, 125, 139, 149, 150, 153, 154;
Durio zihethiflus (durian): 9 ;
Mangifera indica (amplam): 76 ;
Mangifera odorata (kueni): 61 ; '
Michelia champaca (semulu&56;
Nephelium lappaceum (rambutan): 1.89 ;
25
Parkia speciosa(@.@: 82, 110 ;
Toona siflensis(surian): 91, 93, 94, 102, 103.
Modos
DOCUMENTOS DE TRABAJO DE PUEBLOS Y PLANTAS, N”3, NOVIEMBRE DE 1998
rurales de representación
y gestión de los sistemas agrosilvícolas
en la periferia
del Parque Nacional Kerinci Seblat, Sumatra, Indonesia. - YILDIZ AUMEERUDDY
Dinámica agrosilvícola
en Kerinci
Disponibilidadde tierrasy
presióndemográfica
La disponibilidad de tierras desempeña un papel
capital en los procesos de intensificación agrosilvícola que se producen en Kerinci (Aumeeruddy y
Sansonnens, pronta publicación, 1994). Tanto en la
aldea de Semerap como en la de Jujun, las explotaciones de los campesinos son de reducido tamaño
(de 1,3 y 1,9 tia en promedio, respectivamente) y
puede observarse en ellas una evolución de los
sistemas !a&ng hacia sistemas agroforestales de tipo
p&&. El campesino busca con ello diversificar la
producción, lo que le permitirá afrontar los vaivenes
del mercado y disponer de cosechas regulares escalonadas en el tiempo gracias a la producción estacional de las distintas especies que integran los
jardines agrosilvícolas. La producción de las distintas
especies domésticas de mango (Mangifera indica,
Mangifera foetida y Mangifera odorata), por ejemplo, no es simultánea sino escalonada en el tiempo,
lo que a su vez diversifica los riesgos ligados a los
imponderables climatológicos. Los pt&& no
requieren una gran inversión en horas de trabajo; el
escalonamiento en el tiempo de los periodos de
. ..lu creación de xonus
de amortiguación
equivale a
favorecer las oportunas formas locales
de gestión, formas que incorporan
sus propias leyes pura limitar
la explotación de los recursos
y regular su gestión.
cosecha permite un uso flexible de la mano de obra
familiar. Transformando los m
en Q&&, el campesino puede mantener un nivel elevado de producción en las tierras de colinas y reducir a la vez el
tiempo de trabajo, menor para los Q&& que para los
w.
Ello le permite dedicar más tiempo a los
arrozales (donde aplicará un sistema de cultivo
32
DOCUMENTOS DE TRABAJO DE PUEBLOS Y PLANTAS, No 3, NOVIEMBRE DE 1998
Modos rurales de representación
y gestión de los sistemas agrosilvícolas
en la periferia
del Parque Nacional Kerinci Seblat, Sumatra, Indonesia. - YILDIZ AUMEERUDDY
intensivo con dos cosechas anuales de variedades
híbridas) o a otras actividades paralelas (pequeños
comercios, un trabajo en el sector público, ...).
De los otros dos tipos mencionados de sistemas
que integran al canelo, en uno (de tipo u)
se
alterna la producción cafetera y canelera con la de
plantas anuales. Este sistema es el que suelen
adoptar los campesinos con explotaciones de tamaño
medio, de entre 5 y 10 hectáreas. Aunque el canelo
moviliza la tierra durante unos diez años, la
producción cafetera permanece constante, excepto
durante los dos primeros años de cultivos anuales.
El segundo sistema de cultivo (también de tipo
ladang) entraña una larga fase de monocultivo del
canelo y un gran consumo de tierras, ya que el flujo
de producción es nulo o muy escaso(sólo contadas y
pequeñas talas de aclareo) durante quince a veinte
años. Este es el sistema adoptado por campesinos
que poseen grandes explotaciones (10 a 50 Ha). Se
trata de campesinos ricos que, aprovechando los
distintos periodos de expansión agrícola, han
adquirido nuevas tierras a expensasde la selva. Las
explotaciones de este tipo suelen hallarse en zonas
del valle donde las condiciones geomorfológicas
(buenas tierras volcánicas y ausencia de obstáculos
topográficos) han hecho posible la ampliación de las
tierras agrícolas, proceso regido por una estrategia
de ocupación del suelo y capitalización que ha
beneficiado a los más ricos. Al buscar la explotación
agrícola de nuevas tierras, el sistema de cultivo
adoptado en las colinas constituye un frente de
crecimiento agrícola que en modo alguno ha
favorecido la intensificación agrosilvícola.
Influenciadel tipo
de gestiónde los recursos
(privadao colectiva)
sobrela evoluciónde
lastécnicasagrosilvícolas
En Jujun, y aunque el sistema que rige la adquisición
de tierras altas atribuye a la persona que desbroce la
selva la propiedad privada de la parcela desbrozada,
el jefe tradicional responsable de la gestión de la
tierra se reserva el derecho de fiscalizar su utiliza-
ción. Este control puede traducirse incluso en la
expropiación de las tierras en el supuesto de que un
campesino las abandonara durante un tiempo
demasiado largo. Por otra parte, se distingue entre
las tierras de ladang, susceptibles de venta u otro
tipo de transacción de bienes raíces, y las de p&&,
cuyo carácter patrimonial dificulta ese tipo de
operaciones.
Esta imbricación entre gestión colectiva y
privada hace que determinados productos de la zona
de los p&& sean considerados bienes colectivos y
que toda la comunidad pueda beneficiarse de su
recolección. Se trata concretamente de los frutos
caídos, de los bambús, de la madera muerta y de
plantas medicinales silvestres. Ello favorece los
intercambios sociales (búsqueda de plantas medicinales en los jardines con ocasión de los festejos
relacionados con el arroz, búsqueda de frutos del
árbol del pan [Artocarpus heferophghs] para las
ceremonias nupciales, trueque de productos entre
los habitantes, etc.).
Las capas sociales más desfavorecidas tienen
accesoa esosrecursos, lo que les permite subvenir a
sus necesidadesmas básicas.También los niños tiene
derecho de acopio en los p&&, en cuyo interior se
nutren abundantementede frutos cultivados y silvestres y recogennuecesde kemiri y de arecaque después
venden a pequeños comerciantes de la aldea. Esta
libertad de acceso(con la prohibición no obstante de
saquear) hace de los pel& lugares de socialización y
aprendizajede la naturalezapara los niños.
En Semerap, la escasezde tierras y la fragilidad
de los suelos han alentado el fortalecimiento de la
gestión colectiva de los terrenos patrimoniales
(tanah nusaka). La apropiación de las tierras pasa
necesariamentepor la plantación de árboles dotados
de valor económico que garanticen a la vez una
productivida máxima y la reproducción ecológica del
sistema.
En las zonas agrícolas ganadasa la selva, donde
los campesinoscrean grandes explotacionesprivadas
con carácter de empresa agrícola, la situación es
diametralmente opuesta a las dos anteriores. Las
condiciones geomorfológicas e históricas han propiciado la implantación de vastos cultivos arbóreos
orientados a la venta. Como Watson (1987) dejó
dicho, el poder colonial holandés y ulteriormente el
poder central indonesio mantuvieron durante largo
tiempo relaciones muy tensas con los poderes
tradicionales de Kerinci, poco dispuestos a recibir
órdenes de instancias superiores. Esta circunstancia
ha venido manifestándose especialmente por una
fuerte reticencia a usar las variedades de arroz de
ciclo corto. El fomento de los cultivos de exportación
por parte de los holandeses,y después del gobierno
indonesio, recibió en cambio muy buena acogida, y
se tradujo en un notable incremento de la riqueza,
aunque ello no propiciara relaciones más fluidas con
el poder central. Las profundas transformaciones que
la
el territorio mediante
faeión masha de lanero
acompañaron la introducción
de cultivos
comerciales indujeron cambios sustanciales en los
modos de gestión de los bienes raíces, tendencia que
iba a forjar y alimentar una concepción muy radical
de la propiedad privada de tierras y recursos. El
origen de esta situación ha de buscarse en la
prohibición de tala y pastoreo en la selva que
promulgaron los holandeses en 1929, cortapisa a la
que respondió la población señalizando el territorio
mediante la plantación masiva de canelos. En cuanto
a las zonas agrícolas, la gestión colectiva de las
tierras y los recursos vegetales va cediendo terreno
progresivamente. Ello conduce a situaciones un
tanto rocambolescasen lo que respecta a la gestión
de ciertos recursos no destinadosa la venta, como la
tala de bambús y la recogida de frutos silvestres por
parte de los niños. En las nuevas zonas agrícolas, el
bambú, recurso colectivo dotado de un gran
contenido simbólico, se convierte en recurso privado
y fuente de numerosos conflictos. Siendo motivo de
suspicacias y vigilancia, no tarda en ser también
objeto de robos.
A raíz de la marcada estratificación social que ha
ido apareciendo en las nuevas zonas agrícolas, los
campesinosmás ricos han entrado en un proceso de
capitalización ligado a la economía de mercado y
rubricado por su visión de la selva como un recurso
gratuito del que pueden servirse para aumentar su
capital y rentabilizar las cuantiosas inversiones de
sus empresas agrícolas. Tales transformaciones
sociales dan lugar a un uso incontrolado y destructivo de los recursos forestales.
En tal contexto, la creación de zonas de
amortiguación equivale a favorecer determinadas
formas locales de gestión, formas que incorporan sus
propias leyes para limitar la explotación de los
recursos y regular su gestión. En este sentido, el
sistema utilizado en la aldea de Semerap parece lo
bastante eficaz para promover una intensificación de
la agrosilvicultura.
Weber y Reveret (1993) señalan que los recursos
de propiedad colectiva de los que la población
autóctona se ve privada a causa de una prohibición
de accesoa la selva dejan de ser consideradosbienes
colectivos, necesitados como tales de una gestión
local. Gadgil et al. (1988) evocan situaciones parecidas en selvas de la India sobre las que pesa una
prohibición de tala y pastoreo. Hay motivos para
DOCUMENTOS DE TRABAJO DE PUEBLOS Y PLANTAS, N” 3, NOVIEMBRE DE 1998
Modos rurales de representación
y gestión de los sistemas agrosilvicolas en la perlterla
del Parque Nacional Kerinci Seblat, Sumatra, Indonesia.
YILDIZ AUMEERUDDY
33
pensar que una situación como la descrita ha
provocado en Kerinci fuertes deforestaciones en las
nuevas zonas agrícolas ganadas a la selva. Para
resolver los conflictos entre los modos de apropiación típicos de una gestión centralizada y los
propios de una gestión local es necesario un
cuidadoso estudio de esos modos de apropiación, así
como de los procesosdecisorios que aplica cada parte
a la gestión de los recursos.
Relaciónentrevías
de comercialización
y dinámicaagrosilvícola
Tanto los antiguos jardines agroforestales frutícolas
(del estilo descrito en Semerap) como los más recientes (del tipo descrito en Jujun) poseen una marcada vocación comercial. Productos como el jengkol,
el kemiri o numerosos frutos (durian, mangoustan,
GUQ&,etc.) se ponen a la venta en circuitos de corta
distancia, esto es, en los distintos mercados del
propio valle. El sistema de mercados itinerantes
permite al campesino especializado en el comercio
de ciertos artículos (arroz, fruta, hortalizas) dar
salida a sus productos en los distintos mercados del
valle. Entre Kerinci y las regiones costeras median
circuitos comerciales de mayor escala. La gran
ventaja del valle estriba en la diferencia existente
entre sus periodos de cosechay los del litoral.
Tradicionalmente, productos como la leña, las
plantas medicinales o las maderas de construcción
han tenido poca presencia en el mercado. Pudimos
observar, sin embargo, la aparición de un nuevo
34
DOCUMENTOS DE TRABAJO DE PUEBLOS Y PLANTAS, NO 3, NOVIEMBRE DE 1998
Modos rurales de representación
y gestión de los sistemas agrosilvícolas en la periferia
del Parque Nacional Kerinci Seblat, Sumatra, Indonesia. - YILDIZ AUMEERUDDY
mercado de maderas de construcción ligado al
reciente desarrollo de una serie de pequeñas empresas. Estos cambios ejercen una influencia directa
sobre la diversificación agrosilvícola. En este sentido
se observa, especialmente en Jujun, una intensificación de las plantaciones de tres de las especies
productoras de maderas de construcción con mayor
salida al mercado: Toona sinensis (w),
Alangium
kurzii (melaku) y Michelia champaca (semulun).
En cuanto al mercado frutícola, la mejora de las
infraestructuras viarias del valle permite una distribución más eficaz de la mercancía tanto a corta
como a larga distancia. En otras palabras, existe
ahora la posibilidad de “exportar” fruta a las regiones
litorales. Los campesinos son muy sensibles a esta
nueva coyuntura, máxime cuando la estructura y la
variada composición de sus jardines agrosilvícolas
ofrecen la flexibilidad necesaria para favorecer la
producción de ciertos artículos cada vez más
solicitados por el mercado.
La mejora de los circuitos comerciales lleva a la
diversificación agroforestal. Sin embargo, esta
tendencia puede igualmente invertirse en la medida
en que la demanda del mercado no afecte sino a un
pequeño número de productos. En el caso de las
maderas de construcción, por ejemplo, se observa en
Jujun la eliminación progresiva de las especies
carentes de salida al mercado, reemplazadas ahora
por las tres especies más comerciales. El ejemplo
más evidente es el del monocultivo de canelos, que
coloca al campesino en situación de dependencia
absoluta con respecto a una economía de mercado.
En tales circunstancias, la lógica de la capitalización
individual se impone a la gestión a largo plazo de los
recursos colectivos, que tiende a desaparecer.Y ello
tendrá consecuenciasfunestas sobre la utilización de
la selva, que será talada para implantar en su lugar
.$
nuevos cultivos orientados a la venta.
Conclusiones
La población de Kerinci entiende la selva como un
territorio ancestral. El estudio de las representaciones, conocimientos y usos de los vegetalesdemuestra
que la gestión de1agua necesaria para alimentar los
arrozales constituye uno de los grandes ejes de la
gestión de los recursos naturales. En este sentido, la
población otorga una gran importancia a la conservación de las selvas situadas aguas arriba. Dicho
de otro modo, las razones que justifican la protección de la selva no son las mismas para los campesinos que para las autoridades públicas, centradas
éstasen conservar la biodiversidad y atentos aquéllos
a gestionar la cuenca hidrográfica para cubrir sus
necesidadesde subsistencia.Es probable, a la vista de
lo anterior, que una mejor orientación de los
discursos y los objetivos ligados a la protección de la
naturaleza contribuyera a lubricar las tensas
relaciones entre el campesinado y los responsables
públicos.
El estudio de las representacionessimbólicas de
las tierras forestales y agroforestales,combinado con
el de los diversos usos de las plantas y modos de
gestión indígenas, demuestra que para obtener un
conocimiento global y completo de los sistemas de
gestión es preciso tener en cuenta a la vez sus
aspectoseconómicos, simbólicos e institucionales.
Los sistemas de clasificación de los campesinos
derivan de una percepción del mundo orgánico e
inorgánico distinta en ciertos aspectos de las
clasificaciones científicas. La percepción de la
diversidad biótica y de los procesos ecológicos es
producto de la influencia recíproca entre las técnicas, los usos y las representaciones de lo vegetal
propios de cada sociedad. Para hacer posible una
colaboración fructífera entre responsablespúblicos y
campesinos sería necesario franquear un primer
umbral: la mutua aceptación de que existen multitud
de percepcionesposibles de la diversidad del mundo
natural, y de que cada uno de esos sistemas de
clasificación puede dar lugar a diversasaplicaciones.
Los terrenos forestales protegidos, y por lo tanto
inaccesibles para el campesino, pierden a sus ojos
todo interés económico o simbólico. Por añadidura,
las instituciones locales dejan de controlar la gestión
de los recursos en el interior de dichas tierras.
Paradójicamente, pues, y pese a la existencia de
medidas coercitivas, la prohibición de acceso a
tierras forestales allana el camino a la destrucción de
la selva.
La creación de una zona de amortiguación exige
definir la zona forestal a la que podría acceder la
población, que habría de amoldarse a un sistema de
control y explotación restringida de los recursos
dependiente de las autoridades comunitarias locales.
Para que los habitantes se reapropien de las tierras
forestales parece necesario, en efecto, que puedan
gestionar una parte de la selva y servirse de nuevo de
sus recursos. En este sentido, numerosos estudios
sobre la extracción de ratán en Kerinci parecen
confirmar que sería posible simultanear un cierto
grado de extracciones con el fomento de la plantación de ratanes en zonas periféricas del parque
(Siebert, 1989). En tal caso, un cinturón agrosilvícola alrededor de esa zona forestal de amortiguación podría funcionar como zona de producción
intensiva, con estatuto de propiedad privada o comunitaria según la aldea considerada. Los sistemas
agrosilvícolas de tipo p&&, notorios por su flexibilidad, su viabilidad ecológica y social y las posibilidades que ofrecen para controlar los recursos
comunitarios, podrían constituirse a largo plazo en
verdaderas zonas de amortiguación alrededor del
parque, siempre y cuando pudieran crearse otros
puestos de trabajo paralelos a la gestión de los
sistemas agroforestales. Considérense, por ejemplo,
los eventuales empleos generados por la comercialización de los productos agrosilvícolas. Habida
cuenta de los límites existentes al crecimiento de los
sistemas agroforestales, parece obvio que, a largo
plazo, la agricultura no bastará por sí sola para
cubrir todas las necesidades de la población. Será
necesario pues impulsar un proceso de desarrollo
progresivo, que incluya proyectos innovadores e
induzca una participación muy directa de los propios
habitantes.
DOCUMENTOS DE TRABAJO DE PUEBLOS Y PLANTAS, No 3, NOVIEMBRE DE 1998
Modos rurales de representación
y gestión de los sistemas agrosilvícolas en la periferia
del Parque Nacional Kerinci Seblat, Sumatra, Indonesia.
YILDIZ AUMEERUDDY
35
Los responsables públicos de la gestión de la
selva admiten muy rara vez la utilidad de las técnicas
agrícolas locales para la conservación in-situ de la
biodiversidad. Al margen de las selvas de propiedad
colectiva, los propios jardines agrosilvícolas dan
cabida, por razones prácticas, sociales o culturales, a
un gran número de especiesforestales. Sin embargo,
la función protectora de esos jardines -que para los
campesinos no es un objetivo en sí mismo sino un
simple resultado accidental de sus modos de cultivono carece de posibles efectos adversos.Por ejemplo:
la prohibición de tala maderera en el interior del
parque está causando ahora la desaparición de las
dos especies silvestres de frutales, Mungifera
applanata Kosterm. (pohon vauh) y Palaquium
macrocarpum (ti).
Ambas especies, destinadas
antaño a otros usos y protegidas en virtud de ellos,
son taladas hoy para la obtención de madera. Al
tratarse de especiesde crecimiento lento, tienden a
desaparecercon rapidez. Apoyando la plantación de
esas especies en zonas forestales periféricas bajo
control de la propia comunidad, los organismos de
protección contribuirían a restablecer un patrimonio
arbóreo útil desde el punto de vista de la población
autóctona. Los sistemas agrosilvícolas contienen
igualmente un amplio abanico de especies productoras de maderas de construcción, de crecimiento
relativamente lento. Abandonado a la presión de los
mecanismos de mercado, ese contingente tendería a
desaparecer. En las mencionadas zonas periféricas
podrían plantarse también especiesde ese tipo.
El análisis de los modos de gestión agrosilvícola,
y en especial el de la relación existente entre
desarrollo agroforestal y propiedad de las tierras,
demuestra que, a largo plazo, el control comunitario
garantiza la continuidad del sistema agrosilvícola,
especialmente en coyunturas de fuerte presión de
compraventa de tierras. En las nuevas zonas
agrícolas ganadasa la selva, el control colectivo de la
tierra tiende a desvanecerse para dar paso a un
proceso de capitalizaciones individuales, que se
realizan a expensas del patrimonio forestal. Sería
conveniente pues adoptar medidas específicas para
hacer de los campesinos ricos colaboradores
privilegiados de las tareas de conservación. Son
dichos campesinos, en efecto, quienes siempre se
han opuesto a los poderes externos. Establecer
36
DOCUMENTOS DE TRABAJO DE PUEBLOS Y PLANTAS, No 3, NOVIEMBRE DE 1998
Modos rurales de representación
y gestión de los sistemas agrosilvícolas en la periferia
del Parque Nacional Kerinci Seblat, Sumatra, Indonesia. - YILDIZ AUMEERUDDY
modos de gestión que no los excluyan es el único
medio posible para recuperar cierto control sobre el
desbrocede nuevas tierras forestales.
Por último, la transformación de los !a&& en
sistemas agrosilvícolas perennes viene a demostrar
que la intensificación de la agrosilvicultura es
posible en circunstancias de fuerte presión demográfica. Dicha intensificación debe ser progresiva y
observar las reglas de cultivo que el campesino conoce y utiliza, por ejemplo el uso de especiesheliófilas
“frías” en las primeras etapas de la creación de un
jardín agrosilvícola. No conviene olvidar tampoco la
gestión de las hierbas adventicias, pues la presencia
de un tapiz herbáceo en taludes de fuerte pendiente
permitirá en un primer momento evitar la erosión.
Igualmente necesarios, por lo demás, son los productos hortícolas anuales, cuya implantación habría
que prever, en forma de cultivos interlineares, en
zonas del valle donde las condiciones geomorfológicas y climáticas resultaran especialmentepropicias
(suelos volcánicos ricos y un clima más frío, ligado a
una mayor altitud).
Las políticas agrarias basadasen el fomento de
unos pocos productos de exportaciónno sólo provocan
directamente la destrucción de zonas forestales sino
que engendran una fuerte dependenciadel campesino
respecto del mercado internacional. En cambio, el
apoyo del gobierno y las organizacionesecologistasal
desarrollo de estructuras de comercializaciónpara los
productos de la agrosilvicultura estimularía sin duda
su diversificación.
Los resultados expuestos en este documento
demuestran que, reconociendo el valor de los
conocimientos y las técnicas agrícolas del campesinado, los gestores del parque contribuirían a limar
asperezasy apaciguar conflictos entre ambas partes.
Dadas las restricciones que la presencia del parque
impone a la ampliación de las tierras agrícolas, la
intensificación y la mejora de la producción agrosilvícola son no sólo posibles sino también deseables.
Sin embargo, condición previa para alcanzar tal
objetivo es que los habitantes participen real y activamente en los procesosdecisorios que les afecten o
guarden relación con cualquier cambio que hubiera
.>
de producirse en la región.
Agradecimientos
Este trabajo se inscribe en el marco de las actividades del Laboratorio de Botánica de la Universidad
de Montpellier II (URA CNRS 327), con cuyo
director, Francis Halle, que lo fue también de mi
tesis, estoy en deuda. Para la realización del trabajo
gocé del apoyo financiero del Ministerio de Investigación de Francia. Caluroso agradecimiento merecen también el Departamento de Conservación
Forestal (PHPA) indonesio y el WWF-Indonesia, en
especial Sutisna Wartaputra y Russell Betts,
iniciadores y valedores de este trabajo. El programa
MAB de la UNESCO financió igualmente este trabajo
con la concesión de una beca para jóvenes investigadores; en este sentido quisiera expresar la especial gratitud que debo a Malcolm Hadley, de la
División de Ciencias Ecológicas. Agradezco a Laiya
Sitasi, de la Oficina Regional de la UNESCO en
Jakarta, y a Y. Hewindati que se hicieran cargo de la
traducción del resumen al indonesio. El Instituto de
Ciencias de Indonesia (LIPI) merece igualmente mi
gratitud, al igual que Annick Fédensieu, Bertrand
Sansonnens y Philippe Savouré, con quienes trabajé
en Kerinci. Agradezco a Meriem Bouamrane
(UNESCO), Laure Emperaire (ORSTOM), Francias
Hallé (Universidad de Montpellier II), Annette Hladik
(CNRS) y Gary Martin (Pueblos y Plantas) el tiempo
que dedicaron a leer y comentarme el texto. Sin
embargo, cualquier error que subsistiera es de mi
entera responsabilidad. Vaya por último mi agradecimiento a los habitantes de Kerinci por su gran
paciencia y su calurosa acogida, con la esperanza de
que este trabajo contribuya al justo reconocimiento
.:*
de todo su saber.
Modos
DOCUMENTOS DE TRABAJO DE PUEBLOS Y PLANTAS, ~03, NOVIEMBRE DE 1998
rurales de representación
y gestión de los sistemas agrosilvícolas
en la periferia
del Parque Nacional Kerinci Seblat, Sumatra, Indonesia. - YILDIZ AUMEERUDDY
37
Referencias
bibliográficas
Aken, van A. P. V. 1915. “Nota
betreffende de afdeling Koerintji”.
En : Mededeelingen van het
Encyclopaedisch Bureau,
Aflevering VIII, pp. l-86. Batavia,
Papyrus.
Alcorn, J. B. 1984. “Development policy,
forests, and peasant farms:
reflections on Huastec-managed
forests’contributions to
commercial production and
resource conservation”. Economic
Botany : 38(4), 389-406.
Alexandre, D. Y. 1989. “L’arbre et le
maintien des potentialités
agricoles”. En: Eldin, M.; Milleville,
P. (eds). Le risque en agriculture,
pp. 115-130. Colección «A travers
champs», París, ORSTOM.
AItieri, M. ; Merrick, L. C. 1987. “In situ
conservation of crep genetic
resources through maintenance of
traditional farming system”.
Economic Botany : 41(l), 86-96.
Ampt-Riksen, V. ; Ven, J. van de. 1992.
“A crooked balance. Agricultura1
production and nature
conservation: an Indonesian and a
Dutch area compared”. En : von
Benda-Beckmann, F. ; van der
Velde, M. (eds).Law as a resource
in agrarian struggles, pp. 391-218.
Wageningen, Universidad de
Agricultura.
Anonyme, 1991. Statistik, Indonesia.
Jakarta, Biro Pusat Statistik.
Ardha, 1. N. 1974. Village leve1case
study on small marketing
problems: the case of cassia vera.
Padang, Indonesia. Bureau of
Planning, Ministry of Agriculture.
Aumeeruddy, Y. 1992.Agroforestry in
the Kerinci valley: a support fo
buffer zone management for
Kerinci Seblat National Par-k,
Sumatra, Indonesia. Preliminary
Report. Laboratoire de Botanique
Tropicale, Institut de Botanique,
Montpellier y PHPA Sungai
Penuh/Kerinci, 43 p. (mimeogr.).
38
Aumeeruddy, Y. 1993.Agroforêts et
aires de forêfs protégées représentations et pratiques
agroforestières paysannes en
périphérie du Pare National
Kerinci Seblat, Sumatra,
Zndonésie.Tesis doctoral,
Universidad de Montpellier II,
Francia.
Aumeeruddy, Y. ; Bakels, J. 1994.
“Management of a sacred forest in
the Kerinci valley, Central
Sumatra: an example of
conservation of biological diversity
and its cultural basis”. J.A.T.B.A.,
36 (2).
Aumeeruddy, Y. ; Sansonnens, B.
“Shifting from simple to complex
agroforestry systems: an example
for buffer zone management from
Kerinci (Sumatra, Indonesia)“.
Agroforestry Systems.
BAKOSURTANAL; BAPPEDA. 1990.
Laporan Survey Taman Nasional
Kerinci Seblat, Propinsi Daerah
Tingkat I, Jambi. Jambi,
Kerjamasama Bakosurtanal dan
BappedaTingkat 1.
Batisse, M. 1982. “The biosphere
reserve: a tool for environmental
conservation and management”.
Environmental Conservation: 9,
101-110.
Belsky, J. M. 1991. “Food selfsufficiency and land use in the
Kerinci uplands of Sumatra:
implications for conservation
farming”. Tesis doctoral,
Universidad de Cornell, EE.UU.
Belsky, J. M. “Household food security,
farm trees and agroforestry: A
comparative study in Indonesia and
the Philippines”. Human
Organization.
Bergeret, A. 1977. Vers une plus large
autonomie alimentaire du tiersmonde. Tesis doctoral, Universidad
de París 1, Francia.
DOCUMENTOS DE TRABAJO DE PUEBLOS Y PLANTAS, N” 3, NOVIEMBRE DE 1998
Modos rurales de representación
y gestión de los sistemas agrosilvícolas
en la periferia
del Parque Nacional Kerinci Seblat, Sumatra, Indonesia. - YILDIZ AUMEERUDDY
Berlin, B. ; Breedlove, D. E. ; Raven, P.
H. 1974. Principies of Tzeltal plant
classification: an introduction to
the botanical ethnography ofa
Mayan speaking people of
highland Chiapas. Nueva York,
Academic Press.
Blouch, R. A. ; Siregar, S. 1985.A
proposal for buffer zone
development in the Kerinci
enclave, Kerinci-Seblat National
Park. Bogor, Directorate General
for Forest Protection and Nature
Conservation, Department of
Forestry, 22 pp. (mimeogr.).
Clemens, A. H. P. 1992. “Regional
patterns in the foreign trade of the
Outer Provinces 1911”. En:
Changing economy in Indonesia .
A selection of statistical source
material from the early 19th
century up to 1940. Val. 2:
Regional patterns in foreign trade
1911-1940, pp. 32-41. Amsterdam,
Roya1Tropical Institute.
Conklin, H. C. 1954. The relation of
Hanunoo culture to the plant
world, 252 pp. Tesis doctoral,
Universidad de Yale, EE.UU.
Descola, P. 1986. La Nature
domestique. Symbolisme et praxis
dans lécologie desAchuar, 450 pp.,
París, Fondation Singer-Polignac,
Editions de la Maison des Sciences
de 1’Homme.
FAO. 1982. National conservation plan
for Indonesia Val. II, Sumatra,
Informe de PNUD/Proyecto de
desarrollo de parques nacionales de
la FAO INS/78/061, Vol. II. Bogor,
FAO.
Fedensieu,A. 1992. “Occupation,
perception et représentations de
l’espaceau Kerinci”. En:
Aumeeruddy, Y. ; Fedensieu A. ;
Savouré, P. (eds).L’agroforesterie
traditionnelle dans la vallée du
Kerinci : un support à la gestion
des zones tampons pour le Pare
National Kerinci Seblat, Sumatra,
Zndonésie.Informe de investigación
para el Ministère de la Recherche et
de I’Espacede Francia, Laboratoire
de Botanique, Universidad de
Montpellier II, 181 pp.(mimeogr.),
Francia.
Foresta, H. de; Michon, G. 1991.
“CompIex agroforestry systems and
conservation of biological diversity
(II)“. En: Proceedings of the
International Conference on
Tropical Biodiversity « In
Harmony with Nature » 12-16
June 1990, Kuala Lumpur,
Malaysia, pp. 488-500, Kuala
Lumpur, United Selangor Press.
Friedberg, C. 1990.Le savoir botanique
des Bunaq, MCmoiresdu Muséum
National d’Histoire Naturelle
Botanique, Volumen 32.303 pp.
París, Editions du Muséum.
Friedberg, C. 1992. “Représentations,
classifications : comment l’homme
pense ses rapports au milieu
naturel”. En: Jollivet, M. (ed.),
Science de la nature, science de la
société. Les passeurs de frontières,
pp. 357-391. París, CNRS.
Gadgil, M. ; Subash Chandran. 1988.
“On the history of Uttara Kannada
forests”. En: Dargavel, J. ; Dixon, K.
; Semple, N. (eds), Workshop
Meeting - Changing tropical
forests. Historical perspectiveson
today’s challenges in Asia,
Australasia and Oceania, Canberra,
1618 Muy 1988, pp. 47-58.
Canberra, Centre for Resourceand
Environmental Studies.
Hadisepoetro,S. 1991. “Kebijaksanaan
pengelolaantaman nasional di
Indonesia dalam hubunganna
dengan pengembangandaerah
penyangga”.Ponencia en el
«Symposium on Rain forest
protection and national park buffer
zones»,Manggala Wanabakti,
Jakarta, Indonesia, 7 de febrero de
1991.10 pp. DHV-RIN (mimeogr.).
Hallé, F. 1985. “Un système
d’exploitation ancien, mais une
interface scientifique nouvelle:
l’agroforesterie dans les régions
tropicales humides”. En: Chatelin,
Y. ; Riou, G. (eds)Milieux et
Paysages,pp. 46-65. París, Masson.
Harwood, R. R. 1979. Small farm
development - understanding and
improving farming systems in the
humid tropics. Boulder, Westview
Press.
Haudricourt, A. G.; Hédin, L. 1987.
L’Homme et les plantes cultivées.
281 pp. París, A.M. Métailié.
Heyne, K. 1922.Nuttige Planten van
Nederlandsch Indie. Traducción al
inglés anónima (1”ed.: 1913-1917),
Kuala Lumpur.
Janzen, D. H. 1973. “Tropical
agroecosystems.These habitats are
misunderstood by the temperate
zones, mismanaged by the tropics”.
Science : 182,1212-1219.
Kathirithamby-Wells, J. 1986. Thomas
Barnes expedition to Kerinà in
1818. Occasionalpaper N”. 7.88 pp.
Canterbury, Center of South-Ea&
Asian studies.
Kerinci Dalam Angka (KDA). 1988.
Badan perencanaan pembangunan
daerah tk II Kerinci, Sungai
Penuh.
Lévi-Strauss, C. 1962. La pensée
sauvage. 389 pp. París, Plon.
Machlis, G. E. ; Trichnell, D. L. 1985.
The state of the worlds parks: an
intemational assessmentfor
resource management, policy and
research. 125 pp. Boulder,
Westview Press.
MacKinnon, J. 1981. “Cuidelines for the
development of conservation buffer
zones and enclaves”.En: Nature
Conservation Workshop, Bogar,
1981. Bogor, PPAAQWFIFAO.
Marsden,W. (ed.). 1975. 3”edición (1”
éd. 1811,2” ed. 1966). The history
of Sumatra,Otiord in Asia,
Historical reprints. 479 pp. Kuala
Lumpur, Nueva York, Londres,
Oxford University Press.
Mary, F. 1987.Agroforêts et sociétés.
Analyse socio-économique de
systèmesagroforestiers
indonésiens. Colección Notes et
Documents no 81. Economie et
Sociologie rurales. 96 pp.
Montpellier, ENSA-INRA.
Mar-y,F. 1989. “La panoplie des
stratégies antirisques dans les
exploitations rizicoles et
agroforestièresde Maninjau.
Actions individuelles et garanties
collectives”. En: Eldin, M. ;
Milleville, P. (eds)Le risque en
agriculture, pp. 269-276. Colección
«A travers champs», París,
ORSTOM.
McNeely, J. A. ; Miller, K. R. 1982.
“National parks, Conservation and
Development”. Proceedingsof the
World Congresson National Parks.
Bali, Indonesia, ll-22 octobre
1982. Smithsonian Institution
Press.
Michon, G. 1985.De l’homme de la
forêt au paysan de l’arbre.
Agroforesteries indonésiennes.273
pp. Tesis doctoral, Universidad de
Montpellier II, Francia.
Michon, G. ; Bompard, J. 1987.
“Agroforesteries indonésiennes:
contributions paysannesà la
conservation des forêts naturelles
et de leurs ressources”.Revue
dI?cologie (La Terre et la Vie) : 42,
3-37.
Michon, G. ; Bompard, J. M. ;
Hecketsweiler, P. ; Ducatillion, C.
1983. “Tropical forest analysis as
applied to agroforests in the humid
tropics: the example of village
agroforests in West Java”.
Agroforestry systems, 1, 117-129.
Michon, G. ; Mary, F. ; Bompard, J. M.
1989. “Multistoried agroforestry
garden system in West Sumatra,
Indonesia”. En: Nair, P. K. R. (ed.)
Agroforestry systems in the tropics,
pp. 243-268. Dordrecht, Boston,
Londres, Kluwer Academic
Publisher.
Michon, G.; Foresta, H. de. 1991.
“Complex agroforestry systemsand
the conservation of biological
diversity. (1)Agroforests in
Indonesia: the link between two
worlds”. En: Proceedings of the
International Conferenceon
Tropical Biodiversity « In
Harmony with Nature » 12-16
June 1990, Kuala Lumpur,
Malaysia, Kuala Lumpur, United
Selangor Press.
Morley, R.J. 1982. “A palaeoecological
interpretation of a 10 000 year
pollen record from Danau Padang,
Central Sumatra”. Journal of
Biogeography : 9,151-190.
Nair, P. K. K. 1989.Agroforestry
systems in the tropics. Dordrecht,
Boston, Londres, Kluwer Academic
Publishers/ICRAF.
Oldeman, L. R. 1977. “Climate of
Indonesia”. En: Sixth conference of
the Asian-Pacific weed Science
Society, 1977. pp. 14-30.
Oldeman, L. R.; Las, 1.; Darwiss, S. N.
1979. “An agroclimatic map of
Sumatra”. Contr. Centr. Res.Inst.
Agrie. Bogor, 52, l-35.
Oldeman, R. A. A. 1974.L’architecture
de la forêt guyanaise. Mémoire
ORSTOMn” 73. 204 pp. París,
ORSTOM.
Oldfield, S. 1988.Bufir zone
management in tropical moist
forests. Casestudies and
guidelines. Gland, Suiza y
Cambridge, Reino Unido, Programa
“Selva Tropical” de la UICN.
Revel, N. 1990. Fleurs de Paroles Histoires Naturelles Palawan,
Philippines. 314 pp. París, Ed.
Peteers/Selaf.
Rice, R. C. 1991. “Riau and Jambi: rapid
growth in dualistic natural
resource-intensive economies”. En:
Ha1Hill (ed.) Unity and diversity.
Regional economic development in
Indonesia, pp. 127-150. Oxford,
Oxford University Press.
Rismunandar,. 1989. Kayu manis. 101
pp. Jakarta, Penebar Swadaya.
Sansonnens,B. 1992.Agroforestry in
the Kerinci valley: a support to
buffw zone management for
Kerinci Seblat National Park
(Sumatra, Indonesia); structural
analysis of agroforestry gardens,
IBSG, Universidad de Lausana,
Suiza. PHPA, Sungai Penuy,
Kerinci, Indonesia. (mimeogr.).
Sansonnens,B. 1994. Structure et
dynamique agroforestières en Asie
tropicale humide. Analyse
comparée de deux études de cas à
Sumatra (Indonése) et au Sri
Lanka. Tesis doctoral, Universidad
de Lausana.
.
DOCUMENTOS DE TRABAJO DE PUEBLOS Y PLANTAS, No 3. NOVIEMBRE DE 1998
Modos rurales de representación
y gestión de los sistemas agrosilvícolas
en la periferia
del Parque Nacional Kerinci Seblat, Sumatra, Indonesia. - YILDIZ AUMEERUDDY
39
Santiapillai, C. 1991. “Human
encroachment in Sumatra’s
conservation areas”. En: Collins, N.
M. ; Sayer,J. A. ; Whitmore, T. C.
(eds) The ConservationAtlas of
Tropical Forests:Asia and the
Pacifìc, Londres y Basingstoke,
Macmillan Press.
Savouré,P. 1990. Comparaison des
systèmesde culture intégrant le
cannelier dans la région du Kerinci
(Sumatra, Indonésie). Informe
E.S.A.T.,C.N.E.A.R.C.66 pp.
Montpellier, Francia.
Sayer,J. 1991.Rainforest buffer zone:
guidelines for protected urea
managers. 94 pp. Newbury, Reino
Unido, UICN, The Nature
Conservation Bureau Ltd.
Schnitger, F. M. 1989. 3”Edición (1”
ed.: 1939,2” ed.: 1964).Forgotten
kingdoms in Sumatra. 175 pp.
Singapur, Oxford University Press.
Scholz, U. 1983. The natural regions of
Sumatra and their agricultura1
production pattern. Vol. 1: A
regional analysis. 257 pp.
Bogor/Padang,Central Institute for
Food Crops (CRIFC)/Sukarami
ResearchInstitute for Food Crops
(SARIF).
Schrieke, B. 1955.Zndonesian
Sociological Studies. Part 1. La
Haya, Van Hoeve.
Siebert, S. F. 1989. “The dilemma of a
dwindling resource: rattan in
Kerinci, Sumatra”.
Principes 33(2), 79-87.
40
Steppler, H. A.; Raintree, J. B. 1983.
“The ICRAF researchstrategy in
relation to plant science research
in agroforestry”. En: Huxley,
P. A. (ed.) Plant research in
agroforestry, pp. 297-321. Nairobi,
Kenya, ICRAF.
Stoler, A. 1978. “Carden use and
household economy in rural Java”.
Bulletin of Indonesian Economic
studies 14(2), 85-101.
Tiollier, V. 1984.Pourquoi tant d’échecs
dans les projets de développement
en milieu tropical ? Comment
pourrait intervenir l’écologie ?
Curso de doctorado (DEA) de
Ecología general y aplicada,
Universidad de Montpellier II,
Francia.
Verstappen,H. T. 1973.A
geomorphological reconnaissance
of Sumatra and adjacent islands
(Indonesia). 182 pp.
Verhandelingen of the Roya1Dutch
GeographicalSociety (K.N.A.G.).
Groningen, Wolters-Noordhoff.
Watson, C. W. 1984. Kerinci. Two
historical studies. Occasionalpaper
No. 3, Centre of South-East Asian
Studies. 62 pp. Canterbury, Reino
Unido, Universidad de Kent.
Watson, C. W. 1987. State andsociety
in Indonesia. Three papers.
Occasionalpaper No 8, Centre of
South-East Asian Studies. 74 pp.
Canterbury, Reino Unido,
Universidad de Kent.
DOCUMENTOS DE TRABAJO DE PUEBLOS Y PLANTAS, No 3, NOVIEMBRE DE 1998
Modos rurales de representación
y gestión de los sistemas agrosilvícolas en la periferia
del Parque Nacional Kerinci Seblat Sumatra, Indonesia. - YILDIZ AUMEERUDDY
Watson, C. W. 1991. “Cognatic or
matrilineal: Kerinci social
organization in Esther
perspective”.En: Hüsken, F. ;
Kemp, J. (eds) Cognation and
social organization in Southeast
Asia, pp. 55-70. Leiden, KITLV
Press.
Watson, C. W. 1992.Kinship, property
and inheritance in Kerinci, Central
Sumatra. CSACMonographs No. 4,
South-East Asia Series, Centre for
Social Anthropology and
Computing and the Centre of
South-East Asian Studies. 255 pp.
Canterbury, Reino Unido,
Universidad de Kent.
Weber, J. ; Reveret,J. P. 1993. “Biens
communs : les leurres de la
privatisation”. En: Une ten-e en
reconnaissance,les semencesdu
développementdurable, 71-73.
París, Le Monde Diplomatique,
Colección “Savoirs”, no 2.
Wells, M. ; Brandon, K. ; Hannah, L.
1992.People and parks. Linking
protected urea management with
local communities. 99 pp.
Washington, D.C., Banco
Internacional de Reconstrucción y
FomentoBanco Mundial.
Wind, J. ; Prins, H. T. T. 1989.National
buffer zone and research
management: inception report.
Bogor, Indonesia, Proyecto de
creación de parques nacionales del
Banco Mundial, DHV-RIN
Consultancies,39 pp.
Zube, E. H. 1986. “Local and extra-local
perceptions of national parks and
protected areas”.Landscape and
urban planning, 13, 11-17.
Anexos
Anexo1.Plantasútiles de la selvapatrimonial
de Temedak,en Keluru,
NOMBRE
CIENTIFICO
NOMBRE
INDIGENA
Garchia sp. CLUSIACEAE
Homalomena sp. ARACEAE
asam kandis
Artocarpus sp. MORACEAE
CaraKa brachiata RHIZOPHORACEAE
CNlnamomum sintok LAURACEAE
Dendrocalamus asper POACEAE
Dysoxyhm / Aglaia sp. MELIACEAE
Endospermum sp. EUPHORBIACEAE
Eugenia sp 1. MYRTACEAE
Eugenia sp. 2
Mangifera applanata ANACARDIACEAE
no identificado
Palaquium macrocarpum SAPOTACEAE
Persea sp. LAURACEAE
Popowia sp. ANNONACEAE
fterospermum javanicum STERCULIACEAE
Schizostachyum irraten POACEAE
Microcos laurifolia TILIACEAE
N
TIPO
COLECCION’ BIOLOGICO
nzai
medana kavu manis
bamboo betunq
letuna nasi
pohon telap
kavu kelat beringin
kavu kelat jambu
pohon oauh
kayu musun
m
medana durian
kayu menit
&
buluh temiang
kavu uho - uho
Bauhinía sp. CAESALPINIACEAE
Schizostachyum pleianthemum POACEAE
akar ianakat
buluh tanakal
Amorphophallus sp. ARACEAE
Caesalpinia cf. majar CAESALPINIACEAEA
Costus speciosus ZINGIBERACEAE
Dioscorea cf bulbifera DIOSCOREACEAE
Ficus hispida MORACEAE
Ficus parietalis
Ficus sp.
Luvunga sp. RUTACEAE
MENISPERMACEAE
Micromelum sp. RUTACEAE
MYRTACEAE
Pandanus sp. PANDANACEAE
Piper cf. chaba PIPERACEAE
batana kerubut
buah kaliang
setawar
aaduna babi
serbukoeremouan
serbuk laki laki
kavu si anak
limau bunian
akar oenang oenang
kay semaman
kavu bal angqin
pandan
sirih hantu
Y.A. 359
Y.A. 400
Y.A. 208
Y.A.
Y.A.
Y.A.
Y.A.
Y.A.
Y.A.
Y.A.
Y.A.
Y.A.
Y.A.
Y.A.
462
407
305
494
490
344
378
218
166
484
488
Y.A. 133
Y.A. 561
Y.A.
Y.A.
Y.A.
Y.A.
Y.A.
Y.A.
Y.A.
Y.A.
552
352
547
519
349
551
501
280
Y.A. 132
árbol ‘i ?,-:i-: :
bambú” ‘,
árbol
.:
herbácea
liana
herbácea
herbácea
árbol
árbol
hemiepífito
liana
liana
arbusto
árbol
arbusto
liana
3”
,
; _jlp : - <,
i =e
* Y.A.: Coleccióndel herbario de Yildiz Aumeeruddy
Modos
DOCUMENTOS DE TRABAJO DE PUEBLOS Y PLANTAS, N”3, hi&iEMBfiE
DE 1998
rurales de representación
y gestión de los sistemas agrosilvícolas
en la periferia
del Parque Nacional Kerinci Seblat, Sumatra, Indonesia.
YILDIZ AUMEERUDDY
41
42
Piper sp. PIPERACEAE
Canthium horridum RUBIACEAE
Smilax sp. LILIACEAE
Zingiber sp. ZINGIBERACEAE
Piper sp. PIPERACEAE
sirih kakap
kayu kemuninq
akar kawat
ngelan merah
sirih bunian
Y.A.
Y.A.
Y.A.
Y.A.
ANNONACEAE
Cordyline sp. LILIACEAE
menit seluang
batana tawar
Y.A. 358
árbol
arbusto
Artocarpus elasticus MORACEAE
Bambusa vu/garis var. vulgaris POACEAE
Cayota mitis ARECACEAE
ficus benjamina MORACEAE
Fícus drupacea MORACEAE
Ficus sumatrana MORACEAE
MENISPERMACEAE
Styrax benzoin STYRACACEAE
pohon terok
aur minvak
lencjsi/ miang isi
kay aro kecil daun
kayu aro lebar daun
kayu aro
daun suduh suduh
keminian
Y.A.
Y.A.
Y.A.
Y.A.
Y.A.
Y.A.
Y.A.
Y.A.
413
234
274
546
548
262
525
167
árbol
bambú
arbusto
árbol
árbol
árbol
liana
árbol
Bambusa multiplex POACEAE
Bambusa vulgaris POACEAE
Caryota sp. ARECACEAE
Curculigo sp. HYPOXIDACEAE
Daemonorops depressicula ARECACEAE
Daemonorops melano chaetes ARECACEAE
Eugenia sp. 3 MYRTACEAE
Eugenia sp. 4. MYRTACEAE
ficus ampelas MORACEAE
Ficus sp. MORACEAE
Ficus sp. MORACEAE
Gigantochloa robusta POACEAE
Gigantochloa sp. 1 POACEAE
Gigantochloa sp. 2 POACEAE
Knema sp. MYRISTICACEAE
Lygodium circinnatum
Mallotus sp. EUPHORBIACEAE
no identificado
Sapindus rarak SAPINDACEAE
Schyzostachyumbrachycladum POACEAE
aur cina
aur bihasa
pohon samoul
daun aerek
rotan udang
rotan aetah
kay terneras
kay terneras betina
ag.Ql&s
kavu ketaii
kayu sekedin
bambu mavan
buluh kapal
buluh srik
kayu sedarah
paku akar
masiho
akar Iulo
kelikir
buluh telang
Y.A. 206
Y.A. 205
bambú
bambú
Y.A.
Y.A.
Y.A.
Y.A.
herbácea
liana
liana
arbusto
arbusto
arbusto
árbol
árbol
bambú
bambú
bambú
árbol
liana
árbol
liana
DOCUMENTOS DE TRABAJO DE PUEBLOS Y PLANTAS, No 3, NOVIEMBRE DE 1998
Modos rurales de representación
y gestión de los sistemas agrosilvícolas en la periferia
del Parque Nacional Kerinci Seblat, Sumatra, Indonesia. - YILDIZ AUMEERUDDY
246
172
549
493
367
491
492
279
Y.A. 117
Y.A. 281
Y.A. 520
Y.A.
Y.A.
Y.A.
Y.A.
Y.A.
Y.A.
Y.A.
Y.A.
236
235
223
529
178
550
184
144
liana
arbusto
liana
herbácea
liana
bambú
Ex :
N:
c:
0:
F:
Y.A. :
especiesexóticas o nativas de otras regiones de Indonesia que regeneran espontáneamente;
especiesde la vegetación natural que regeneran espontáneamente;
especie cultivada;
ocasional;
frecuente;
colección del herbario de Yilmiz Aumeeruddy.
NOMBRECIENTIFICO
N/C/
EX/
Aleurites moluccana EUPHORBIACEAE
Ex,C
kemintanlkemiri
árbol
Alpinia galanga ZINGIBERACEAE
C
langkuas
herbácea
Baccaurealanceolata EUPHORBIACEAE
N
memoaung
Curcuma longa ZINGIBERACEAE
C
lgy&t
Eugenia caryophy//ata MYRTACEAE
C
cengkeh
Eugenia polyantha
Garcinia sp. CLUSIACEAE
Kaempferia galanga ZINGIBERACEAE
Pandanus amaryilifolius
(sinón. Pandanus odorus) PANDANACEAE
Ex,C
N
C
daun salam
asam kandis
cekur
C
daun pandan
herbácea
Zingiber officinale ZINGIBERACEAE
C
padi padi/sempede
herbácea
Artocarpus heterophy//us MORACEAE
Ex, C
F
nanaka
árbol
Averrhoa carambola OXALIDACEAE
Ex, C
F
belimbinq
arbusto
Baccaureadulcis EUPHORBIACEAE
Baccaurea sp.
Chus reticulata RUTACEAE
Citrus grandis
Durio zibethinus BOMBACACEAE
Ex, C
N,C
C
C
Ex,C
F
F
F
F
F
119
&
lisaut
345
limau manís
limau besar
durian var. aadja /
var.teruna ou terutung
árbol
árbol
arbusto
arbusto
FIO
NOMBRE
INDIGENA
Y.A. TIPO
USO SECUNDARIOY
BIOLOGICOCOMENTARIOS
155 árbol
herbácea
166 árbol
263 árbol
herbácea
árbol
Syzygium aqueum MYRTACEAE
Garcinia mangostana CLUSIACEAE
Lansium domesticum MELIACEAE
Mangifera foetida ANACARDIACEAE
Mangifera foetida
Mangifera indica
Mangifera odorata
Musa sp. MUSACEAE
Ex, C
Ex, C
Ex, C
N,C
N,C
Ex, C
Ex, C
C
F
F
0
F
F
F
F
F
jambu air
manggis
lanasat
&.@!y
bacang var. tayeh
amplam
kueni
m
árbol
árbol
árbol
145 árbol
135 árbol
138 árbol
árbol
árbol
Nephelium lappaceum SAPINDACEAE
Nephelium sp.
Palaquium macrocarpum SAPOTACEAE
Ex, C
N
Ex,N
F
0
0
rambutan
rambutan
@ql&i
arbusto
339 árbol
344 árbol
Perseaamericana LAURACEAE
Ex, C
F
m
árbol
semilla: especia y aceite
cosmético y medicinal
rizoma:
uso condimentario y medicinal
fruto: acidulante
para las salsas
rizoma: colorante
alimentario amarillo ; ritual /
hoja: aromatizante alimentario
botones florales:
condimento / hojas
medicinales
hoja: condimento
acidulante
función mágica
hoja: colorante y
arbmatizante alimentario
rizoma: uso condimentario
y medicinal
hoja: forraje / madera:
muebles, construcción
fruto: consumido
básicamente por los niños
madera: construcción
madera: construcción
madera: construcción I
hojas cosméticas
corteza medicinal
corteza medicinal
madera: construcción
madera: construcción
madera: construcción
hoja: embalaje /
botón floral: verdura
madera: construcción
madera: construcción / árbol
de gran valor toponímico
hojas medicinales
DOCUMENTOS DE TRABAIO DE PUEBLOS Y PLANTAS, No 3, NOVIEMBRE DE 1998
Modos rurales de representación
y gestión de los sistemas agrosilvícolas en la periferia
del Parque Nacional Kerinci Seblat, Sumatra, Indonesia. - YILDIZ AUMEERUDDY
43
Psidium guajava MYRTACEAE
Syzygium malaccense MYRTACEAE
44
Ex, C
N,C
F
F
jambu keras
iambak
arbusto
123 árbol
Archidendron pauciflorum
(sinón. Pithecellobium jiringa) MIMOSACEAEN, C
Archidendron microcarpum
(sinón Pithecellobium microcarpum)
C
Parkia singularis MIMOSACEAE
N,C
F
jirina/ ienakol
0
0
kabau
petai alai
Parkia speciosa
C
F
a
Homalomena sp. ARACEAE
N,C
0
sanda
Manihot esculenta EUPHORBIACEAE
C
F
ubi kayu
arbusto
Colocasiaesculenta ARACEAE
C
F
lgJ&i
herbácea
Bridelia sp. EUPHORBIACEAE
N
F
kenidai
283 árbol
Omalanthus populneus EUPHORBIACEAE
Ecus ampelas MORACEAE
N
N
F
0
&
amr>las
225 árbol
177 arbusto
Ficus sp.
N
0
&3j
564 árbol
Acrocarpus fraxinifolius CAESALPINIACEAE
Actinodaphne sesquipedalis LAURACEAE
Actinodaphne sesquipedalis var. glabra
N,C
N,C
N
F
F
F
159 árbol
137 árbol
Aglaia sp. MELIACEAE
Alangium kurzii ALANGIACEAE
Alstonia scholaris APOCYNACEAE
Alstonia sp.
Carallia brachiata RHIZOPHORACEAE
Endospermum malaccense EUPHORBIACEAE
Dehaasia sp. MELIACEAE
Dysoxylum sp MELIACEAE
Eugenia sp. 1 MYRTACEAE
Eugenia sp. 2
Horsfieldia sucosa MYRISTICACEAE
Melia azedarach MELIACEAE
Prunus sp. ROSACEAE
Payena sp. SAPOTACEAE
Perseasp. SAPOTACEAE
Symplocossp. SYMPLOCACEAE
Toona sinensis MELIACEAE
Toona sureni
Turpinia sp. EUPHORBIACEAE
N
N,C
N
N
N
N
N
N
N
N
N
Ex, C
N
N
N
N
N,C
N
N
0
F
F
0
F
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
F
F
F
F
meluang
medana bukit
medana bukit
peremouan
kayu tonq
melaku
pu&
pulai aading
nzai
kayu tela?
medana kuning
surjan putih
kayu kelat
kavu kelat
Ficus benjamina MORACEAE
Hibiscus tiliaceus MALVACEAE
N
Ex,C
F
F
beringin
daun baru
Baccaureacf. javanica EUPHORBIACEAE
N
0
p&&t
árbol
arbusto
154 árbol
árbol
156 herbácea
146
394
118
440
142
212
386
120
121
128
129
148
kayu min
390
medana oeniahit
382
395
medana mas
kayu balam belukar 130
surian (bawang)
127
surian hambar
221
jaJ&
DOCUMENTOS DE TRABAJO DE PUEBLOS Y PLANTAS, No 3, NOVIEMBRE DE 1998
Modos rurales de representación
y gestión de los sistemas agrosilvicolas en la periferia
del Parque Nacional Kerinci Seblat, Sumatra, Indonesia. - YILDIZ AUMEERUDDY
árbol
árbol
árbol
árbol
árbol
árbol
árbol
árbol
árbol
árbol
árbol
árbol
árbol
árbol
árbol
árbol
árbol
árbol
árbol
árbol
162 árbol
árbol
hojas medicinales
hojas medicinales
semillas comestibles cocidas,
no comestibles crudas
semillas comestibles crudas
y cocidas
se consumen tallos
y rizomas
tubérculos y
hojas comestibles
hojas medicinales /
buena leña
leña
hoja: utilizada
como papel de lija
fruto: consumido por los niños
señalizador de límites
corteza medicinal
hojas medicinales
látex medicinal
hoja: condimento
cebo para los pájaros
corteza: fibras /
hoja: envolturas
medicinales
señalizador de límites I
gran valor simbólico
Amorphophallus cf. campanulatus ARACEAE
Areca catechu ARECACEAE
Areca sp.
Arenga pinnata ARECACEAE
N
C
C
Boesenbergia sp. ZINGIBERACEAE
Caesalpiniasappan CAESALPINIACEAE
Cordyline fruticosa LILIACEAE
Dioscorea hispida DIOSCOREACEAE
Dracaena sp. LILIACEAE
Flacourtia rukam FLACOURTIACEAE
N, C
0
F
0
F
batano kerubut
Dinana
pinana dewa
enau
N, C
C
C
C
0
0
F
0
kunvet kunci
teraspang
je&lncJ
gadung
C
N
0
F
Melastoma malabathricum MELASTOMACEAE N
F
daun seduduk
Morinda citrifolia RUBIACEAE
Nauclea sp. RUBIACEAE
Ormosia sp. PAPILIONACEAE
Oroxylon indicum BIGNONIACEAE
Pangium edule FLACOURTIACEAE
C
N
N
N
N.C
0
0
0
0
0
menakudu
kavu karmunting
pohon debai
pohon rebung
kepayanq
Piper betle PIPERACEAE
C
F
sirih
N
0
sirih hantu
Archidendron clipearia MIMOSACEAE
Potomorphe subpeltata PIPERACEAE
N
Ex, N
0
F
jirina tunai
gumbu
Uncaria gambir RUBIACEAE
Curcuma xanthorrhiza ZINGIBERACEAE
Zingiber purpureum ZINGIBERACEAE
C
C
C
0
gambir
kunvet temu
kunyet bolai
Artocarpus elasticus MORACEAE
160 árbol
563 árbol
arbusto
liana
herbácea
arbusto
arbusto
árbol
392 árbol
árbol
árbol
liana
herbácea
162 liana
herbácea
198 árbol
herbácea
herbácea
herbácea
herbácea
413 árbol
C
C
N, P
Caryota sp. ARECACEAE
Ceiba pentandra BOMBACACEAE
Dendrocalamus asper POACEAE
Donax canniformis MARANTACEAE
Erythrina subumbrans PAPILIONACEAE
N
C
N, C
N
C
Erythrina variegata
C
Fortunella sp. RUTACEAE
Gigantochloa robusta POACEAE
C
Gigantochloa sp. 1
Halopegia blumei MARANTACEAE
Kaempferia elegans ZINGIBERACEAE
Pandanus sp. PANDANACEAE
Pandanus tectorius
Sapindus rarak SAPINDACEAE
Schizostachyumbrachycladum var 1 POACEAE
157 árbol
árbol
151 árbol
Piper cf. chaba
Bambusa vulgaris POACEAE
Bambusa vulgaris var vulgaris
Bischofia javanica EUPHORBIACEAE
133 árbol
aur cina
aur minvak
bintung /
pohon uba
sampul
kapok / kapas
k&LlrJg
m ’ban
dadar,
N, C
N,C
C
C
N, C
C
N, C
N, C
Modos
206
234
árbol
árbol
árbol
208
188
árbol
limau kunci
mavan
209
arbusto
buluh srik
daun liri
segundo
sinakuang
pandan
kelikir
talang kuning
143
287 herbácea
565 herbácea
herbácea
árbol
184 árbol
144
mágico
señalizador de límites
fruto mágico
fruto: manjar típico
de celebraciones
rizoma medicinal
mágico-medicinal
señalizador de límites
tubérculo: veneno ;
medicinal del arroz
señalizador de límites
madera: mágico-medicinal 7
fruto: consumido por los
niños y las ardillas
hojas medicinales / fruto:
consumido por los niños
fruto medicinal
hojas medicinales
mágico-medicinal
medicinal
fruto: aceite alimentario
y medicinal
hoja masticatoria,
ritual y medicinal
mágico-medicinal
semillas medicinales
hoja: envoltura de la
placenta tras el parto
hoja: masticatoria
rizoma: medicinal
mágico-medicinal
corteza: fibra / látex:
trampas para pájaros / hoja:
mágico-medicinal del arroz
tallo: caña de pescar
tallo: construcciones livianas
corteza: tintura /
hojas medicinales /
madera: combustible
fibras y hojas: cuerdas
hojas: cuidado de los cabellos
caña: construcción
caña: cestería
árbol de sombra:
efecto refrescante
árbol de sombra:
efecto refrescante
función mágica
tallo: cestería, útiles
de cocción
idem
hoja: envoltura
rizoma: cola para madera
hoja: esteras
hoja: esteras
fruto: jabón
tallo: útil de cocción
DOCUMENTOS DE TRABAJO DE PUEBLOS Y PLANTAS, No 3. NOVIEMBRE DE 1998
rurales de representación
y gestión de los sistemas agrosilvícolas en la periferia
del Parque Nacional Kerinci Seblat, Sumatra, Indonesia. - YILDIZ AUMEERUDDY
45
Schizostachyumbrachycladum var 2
Schizostachyumirraten
MALVACEAEno identificada
Ziziphus sp. RHAMNACEAE
N,C
N,C
C
N
F
F
0
0
talana bihasa
temianq
pohon sais
kayu uho - uho
488
270 arbusto
158 arbusto
idem.
material de construcción
corteza: cordajes
madera muy dura: ruedas
dentadas y ejes de
molino y carreta
AnexoIII. Algunosejemplosde la diversidad
de Rutaceae
y Zingiberaceae
utilizadasen Kerinci
A
M
T
=
=
=
alimentario;
medicinal;
técnico;
especie forestal;
colección del herbario de Yildiz Aumeeruddy.
NOMBRE
INDIGENA
NOMBRE
CIENTIFICO
N
COLECCION
usos
limau
limau
limau
limau
limau
limau
limau
limau
limau
limau
limau
Luvunga sp.
Citrus sp. 1
Citrus sp.. 2
Citrus sp.. 3
Citrus cf. microcarpa
Citrus sp.. 4
Fortunella sp.
Citrus reticulata
Citrus aurantifolia
Citrus medica
Citrus hystrix
Y.A.
Y.A.
Y.A.
Y.A.
M
M
AIM
AIM
AIM
AIM
M
AJM
A/M
M
AIM
bunian
aunjob
hantyt
kaDas
kasturi / kambinq
keling%
kunci
manis
niois
Dadang
oerut
Q&r
j&
kardamunqa
jgJy&t
kunyet bolai
kunvet kunci
temulawak
46
q
t
Y.A. =
Kaempferia galanga
Zingiber officinale
Amomum compactum
Curcuma longa
Zingiber purpureum
Boesenbergia sp..
Alpinia galanga
Nicolaia sp..
Kaempferia elegans
Costus speciosus
Hedychium coronarium
Curcuma xanrhorrhiza
DOCUMENTOS DE TRABAJO DE PUEBLOS Y PLANTAS, N” 3, NOVIEMBRE DE 1998
Modos rurales de representación
y gestión de los sistemas agrosilvícolas en la periferia
del Parque Nacional Kerinci Seblat, Sumatra, Indonesia. - YILDIZ AUMEERUDDY
349
483
435
122
Y.A. 399
Y.A. 152
Y.A. 339
Y.A. 161
Y.A. 280
Y.A. 129
Y.A. 565
Y.A. 376
AIM
AIM
A
A/M
M
M
AJM
AIM
T
M
M
M
Títulos publicados en esta colección:
1. Cunningham, A.B. 1993.Plantas medicinales africanas : orientaciones prioritarias en la intersección
entre protección de la naturaleza y atención médica primaria. (En inglés y español).
2.
Cunningham, A.B. 1993. Sustainability ofHarvesting Prunus africana Bark in Cameroon :
A Medicinal Plant in International íVade. (En inglés).
La Iniciativa
Pueblos y
Plantas vio la luz en julio de 1992, impulsada
conjuntamente por el WWW, la UNESCOy los Roya1
Botanic Gardens,Kew. Tiene por objeto fomentar un
uso sostenible y equitativo de los recursos vegetales
prestando apoyo a la labor de los etnobotánicos de los
paísesen desarrollo.
Esta iniciativa parte de la convicción y el
reconocimiento de que los habitantes de las
comunidadesrurales poseencon frecuencia un saber
detalladoy profundo sobre las propiedadesy la ecología
de las plantas que crecenen su entorno y de las que
dependenpara nutrirse, curarse y obtener combutible,
materiales de construcción y otros productos. Pero
gran parte de esesaberestá desapareciendo,engullido
por la transformación de los ecosistemasy las culturas
locales.Debido a la pérdida de hábitats silvestres,a la
intensificación del uso local de las plantas y al
aumento de la demanday la presión que ejerce el
mercado,asistimos con alarmante y creciente
frecuencia a la sobreexplotaciónde plantas no
cultivadas.El bienestar de las poblacionesautóctonasy
la eventual aplicación de los productos de origen
vegetal en otros ámbitos y lugares hacen de la
conservacibnalargo plazo de esosproductos y del
sabera ellos vinculado un imperativo irrenunciable.
Los modos tradicionales de gestión de los recursos
vegetalesconfiguran un repertorio muy variado, que
abarcadesdeel «cultivo* de ciertas especieshasta la
recolección de plantas «silvestres».Los
planteamientos que preconiza y aplica Pueblos y
Plantas intentan tomar en cuenta todas las
posibilidades que caben en tan amplio espectro.
La colaboración entre etnobotánicos y poblaciones
autóctonas permite estudiar y censar los usos de las
plantas, detectar los casosde sobreexplotaciónde
especiesno cultivadas, proponer métodos sostenibles
de explotación e investigar posiblesalternativas, por
ejemplo el cultivo.
La Iniciativa Pueblos y Plantas está creando
estructuras de apoyo a los etnobotánicos de paísesen
desarrollo que colaboran con las poblaciones
antdctonas para proteger tanto los recursos vegetales
como los conocimientos ecológicostradicionales. Los
cordinadores del programa organizan talleres, brindan
apoyo tecnico y científico a los proyectos sobre el
terreno, alientan debatesy suministran o elaboran
bibliografía sobre etnobutanica, saber ecológico
tradicional y uso sostenible de los recursos vegetales.
Cabeesperarque al amparo de esta iniciativa llegue a
consolidarseuna red de etnobotánicos de distintos
paíseso regiones interesadosen el tema, una red
capazde propiciar el intercambio de información y
experienciasy encauzarproyectos de colaboración
sobre el terreno.
Señas de contacto:
Biodiversity Unit
Conservation Policy Division,
WWF International,
World Conservation Centre,
Avenue du Mont-Blanc,
1196 Gland,
SUIZA
Fax: 4122 364 8219
bi
l
‘9
D
WWF”
Division of Ecological Sciences
Man and the Biosphere Programme
UNESCO, 7 Place de Fontenoy
75352 Paris
CEDEX 07 SP,
FRANCIA
Fax: 33 140659897
The Director
Roya1 Botanic Gardens, Kew
Richmond,
Surey TW9 3AB
REINO UNIDO
Fax: 44 81332 5197
IN&
CARDENS
KEW
Descargar